Kisah Ketika Abu Nawas Mau Menjual Matahari

 
Kisah Ketika Abu Nawas Mau Menjual Matahari

LADUNI.ID, Jakarta - Sejumlah penduduk Baghdad berkumpul di depan istana Khalifah Harun Al-Rasyid. Sebagian kasak-kusuk tak jelas, sebagian lagi berteriak-teriak menuntut Abu Nuwas ditangkap. Mereka protes baliho raksasa milik Abu Nuwas yang dipasang di depan rumahnya: “Dijual Cepat: Matahari Baghdad; Siapa Cepat Dapat Bonus Anak Onta”.

Penduduk yang kasak-kusuk di depan istana itu rata-rata panik jika Matahari Baghdad jadi dijual. Bagaimana mungkin mereka bisa hidup berlama-lama di kolong langit Baghdad tanpa Matahari? Jika pindah ke Zakhu, mereka khawatir daerah in tertinggal, infrastruktur di sana kurang canggih dibanding infrastruktur di Baghdad. Pindah ke Bakhtaran enak, tak jauh dari Baghdad, tapi bahasa penduduk di sana sulit dipelajari. Pokoknya pindah ke luar Baghdad adalah problem, bertahan di Baghdad tanpa Matahari juga bukan perkara gampang.

“Abu Nuwas, antum serius mau menjual Matahari?’’ tanya khalifah sambil mengamati massa yang terus membludak di depan istananya.

“Benar baginda, supaya kita bisa ikut cara mereka menggunakan otak.’’

“Maksud antum?” tanya khalifah kaget.

“Begini baginda, apakah antum senang infrastruktur di Baghdad terbangun hebat di zaman baginda? Baginda bangga bisa menjadi teladan buat rakyat bahwa selama menjabat jadi khalifah bagida tidak korupsi? Baginda senang tidak mempertontonkan keserakahan dengan menguasai ratusan ribu hektar padang pasir, padahal baginda bisa melakukannya dengan kekuasaan yang sekarang baginda genggam?’’

“Abu Nuwas, coba ke inti masalah!”

“Jika baginda turun dan tanya massa yang sekarang berdemonstrasi itu, ketahuilah bahwa mereka akan menjawab buat apa bangun infrastruktur, infrastruktur tidak bisa dimakan! Jadi, jalan-jalan mulus yang baginda bangun selama ini, puluhan bendungan yang baginda banggakan, lapangan terbang, rel kereta api di Khorramabad, pasar-pasar di Kirkuk, itu semua percuma, tak bisa dimakan!’’

Khalifah Harun Al-Rasyid terdiam.

‘’Baginda bangga tidak korupsi? Anak baginda jual pisang goreng? Itu malah membuat mereka marah dan cemburu. Buat mereka baginda mestinya korupsi agar mereka tak repot-repot lagi bikin isu tak masuk akal, misalnya baginda keturunan Mongolia, baginda memusuhi ulama, baginda membiarkan partai Ba’ts yang sudah dilarang tumbuh lagi, wah pokoknya banyak baginda …’’

 “Lalu apa hubungannya dengan menjual Matahari?’’

Dengan pelan-pelan Abu Nuwas kemudian menjelaskan bahwa apa yang dianggap Khalifah Harun sebagai prestasi nasional tapi justru dianggap pemborosan dan membebani negara adalah karena mereka terbiasa melihat semua prestasi yang ada di ruang gelap. Di ruang gelap, gadis cantik tak terlihat, sebatang emas bisa dianggap besi. Apalagi jika cara melihatnya sambil bergelantungan.

“Tapi, kalau pun mata mereka tak melihat di ruang gelap, bukankah telinga mereka mendengar, hati mereka terbuka? Bagaimana mungkin mereka menuduhku memusuhi ulama padahal wakilku sekarang adalah ulama besar? Jika pun mereka tak suka aku, bukankah kepada mereka sekarang aku sodorkan ulama yang dulu mereka klaim mereka bela? Mengapa sekarang mereka tinggalkan?’’

“Baginda, itulah enaknya melihat dunia di ruang gelap sambil terbalik. Kita bisa menikmati apa yang mereka nikmati selama ini. Baginda tidak capek berpikir rasional?”

Khalifah terdiam.

‘’Percayalah baginda, hanya dengan melihat segala sesuatu di kegelapan, baginda akan paham mengapa selama ini mereka melihat infrastruktur megah, pemerataan pembangunan di daerah tertinggal, … semuanya sama sekali tak berguna karena tak bisa dimakan. Mohon jangan katakan ‘’infrastruktur memang tak bisa dimakan, tapi dengan infrastruktur kita semakin mudah cari makan’’ itu cara berpikir rasional dan normal, paduka … ’’

Massa di luar istana makin membludak, tapi Khalifah kali ini diam saja. Dia memberi isyarat membenarkan Abu Nuwas.

“Jadi, boleh saya jual Matahari?”

Besok Baghdad gelap. Banyak rakyat bergelantungan. Aspal di jalan terlihat ketan.


*) Oleh KH Helmi Hidayat, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta