Khutbah Jumat: Corona sebagai Sarana untuk Mengistirahatkan dari Urusan Dunia

 
Khutbah Jumat: Corona sebagai Sarana untuk Mengistirahatkan dari Urusan Dunia

LADUNI.ID, Jakarta - Allah 'Azza wa Jalla berfirman, "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (QS. Al-A'raf : 172)

 Hidup memang sebuah pengorbanan dan perjuangan. Berjuang dan berkorban adalah sesuatu yang melelahkan dan memberatkan, dan ketika lelah tentu butuh ketenangan dan istirahat. Namun tidak semua orang bisa dengan mudah mendapatkan ini semua. Ada yang hanya bisa beristirahat satu atau dua jam saja setiap harinya. Hidupnya dipenuhi dengan aktivitas dan kesibukan yang luar biasa. Sehingga, kesempatan beristirahat merupakan sebuah kenikmatan dan kasih sayang Allah SWT yang mesti kita syukuri.

Namun di masa kini, manusia dihadapkan pada pola hidup yang menuhankan materi. Hidup di dunia seolah-olah hanya untuk mencari uang atau materi. Manusia diposisikan sebagai alat produksi yang senantiasa dituntut produktif. Dengan kata lain, segala aktivitas harus ada timbal baliknya secara materi. Pekerjaan adalah nomor satu, sementara keharmonisan keluarga, interaksi sosial dengan masyarakat, adalah nomor kesekian walhasil, manusia pun tak ubahnya seperti robot. Ini jelas menyelisihi fitrah manusia Allah SWT.

Dunia telah banyak membuat manusia sibuk dengannya. Dari pagi, bahkan dini hari sampai petang, bahkan larut malam, orang sibuk mencari harta dunia hingga lupa dengan sesuatu yang sesungguhnya jauh lebih penting dan berharga dalam hidup, yaitu akhirat dan Allah.
Orang begitu sibuk dengan dunia nyaris tanpa jeda dan istirahat. Pikiran dan fisik dipaksa bekerja keras dan lebih keras lagi, dari waktu ke waktu, demi menghasilkan sesuatu yang sifatnya fana dan sementara.
Sesuatu yang sifatnya material, yang suatu saat rusak, habis, dan lenyap. Materi mungkin berhasil didapatkan, tetapi ruhani kosong. Allah sejatinya tak melarang seseorang mencari dunia, justru orang beriman mesti berikhtiar semaksimal mungkin mendapatkannya. Orang beriman dilarang bersikap malas-malasan atau menjadi beban orang lain. Nabi bahkan pernah berdoa kepada Allah agar dilindungi dari kemalasan,

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, rasa malas, rasa takut, kejelekan di waktu tua, dan sifat kikir. Dan aku juga berlindung kepada-Mu dari siksa kubur serta bencana kehidupan dan kematian).” (HR. Bukhari no. 6367 dan Muslim no. 2706)

Nabi juga mengatakan, "Salah seorang di antara kalian mencari (mengambil) seikat kayu bakar di atas punggungnya, itu lebih baik baginya daripada meminta-minta kepada orang lain, lalu orang itu memberinya atau (mungkin) tidak memberinya." (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, dan an-Nasa'i).

Allah tidak melarang orang beriman berusaha dan bekerja keras mencari rezeki, bahkan menganjurkan untuk itu. Allah hanya mengingatkan agar seseorang tidak terlalu tenggelam dalam aktivitas keduniaan sehingga lupa akhirat dan Allah.

Apalagi, jika aktivitas keduniaan itu justru mengandung hal-hal yang diharamkan. Misalnya, mencari materi dunia dengan jalan yang tidak halal, seperti mencuri, merampok, membegal, mencopet, menipu, korupsi, suap-menyuap, dan sejenisnya. Materi yang didapat dari hal-hal semacam ini tidak ada berkahnya dan justru merugikan diri sendiri dan orang lain. Ia melawan hukum, juga melanggar larangan Allah. Dalam kesibukan seseorang mencari dunia, Allah meng ingat kan selain agar berhati-hati jangan sampai menerabas yang dilarang oleh-Nya, juga mengingatkan agar ia berhenti sejenak, beristirahat, mengambil waktu sesaat untuk mengingat Allah.

Allah lah yang memberi dan mengatur rezeki manusia. Allah lah yang memberi, Dia juga yang menahan. Sepanjang seseorang mengingat Allah, berharap penuh kepada-Nya dalam hal rezeki, Allah tidak akan mengecewakannya. Allah justru mendekatinya dan memberinya, bahkan lebih dari yang ia minta, bahkan dari jalan yang tidak ia sangka-sangka. Selalu ada keajaiban ketika seseorang mendekatkan diri kepada Allah dan memohon kepada-Nya.

Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab al-Hikam pasal 4 mengatakan,
"Istirahatkan dirimu dari tadbiir (melakukan pengaturan-pengaturan) Maka apa-apa yang selainmu (Allah) telah melakukannya untukmu, janganlah engkau (turut) mengurusinya untuk dirimu."

Artinya, "Istirahatkan dirimu dari kesibukan mengurusi duniamu. Urusan yang telah diatur Allah tak perlu kau sibuk ikut campur."
Dengan tegas, Allah mengingatkan,

"Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Ankabut: 60).

Materi dunia mesti dicari untuk dimanfaatkan di jalan Allah, yakni jalan kebaikan. Namun, ia tak perlu dicari dengan penuh ambisius hingga lupa daratan, lupa Allah. Kerja keras tanpa jeda untuk mengingat Allah akan membuat jiwanya jauh dari Allah. Jika jiwa sudah jauh dari-Nya, kerja kerasnya bisa jadi sia-sia dan tak ada berkahnya. Materi dunia yang baik adalah yang didapat dengan cara halal dan mengandung berkah.

Tahukah kita bahwa jauh-jauh hari sebelum terlahir ke dunia manusia sudah terikat perjanjian dengan Allah? Dan tidak ada satu rasul pun kecuali mengingatkan janji itu, sebagaimana dibenarkan dalam Al-Quran, Dan mengapa kamu tidak beriman kepada Allah padahal Rasul menyerumu supaya kamu beriman kepada Tuhanmu. Dan sesungguhnya Dia (Allah) telah mengambil perjanjianmu, jika kamu adalah orang yang beriman, (QS. Al Hadid [57]:8). 

 Kapan perjanjian itu dilakukan? Setelah kakek moyang manusia Nabi Adam ‘alaihissalam diciptakan. Demikian yang tersurat dalam hadis riwayat Abu Hurairah.

"Sewaktu menciptakan Nabi Adam, Allah mengusap punggungnya. Maka berjatuhanlah dari punggungnya setiap jiwa keturunan yang akan diciptakan Allah dari Adam hingga hari Kiamat. Kemudian, di antara kedua mata setiap manusia dari keturunannya Allah menjadikan cahaya yang bersinar. Selanjutnya, mereka disodorkan kepadanya. Adam pun bertanya, “Wahai Tuhan, siapakah mereka?” Allah menjawab, “Mereka adalah keturunanmu,” (HR. Al-Tirmidzi).  

Pada saat seluruh calon keturunan Adam ‘alaihissalam dikeluarkan dari punggungnya Allah mengambil janji dan sumpah setia mereka,  

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka, (QS. Al-A‘raf [7]: 172).

Sehingga tidak akan berdiri Kiamat sebelum semua keturunan yang telah diambil sumpah, kesaksian, dan janjinya itu terlahir ke dunia. (Lihat: Abu Muhammad Sahl, Tafsir al-Tasturi, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah] 1423, jilid 13, 222).

Lantas apa isi perjanjiannya? Dan apa tujuannya? Lanjutan ayat tersebut mengatakan, 
(Allah berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar pada hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan),” (QS. Al-A’raf [7] : 172). 

 Sumpah serupa juga diambil Allah dari para nabi. Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi, dari kamu (sendiri) dan dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh, (Q.S. al-Ahzab [33]: 7).

Namun, perjanjian Allah dengan para nabi bukan soal menuhankan-Nya, melainkan soal saling meneguhkan antara satu nabi dengan yang lain, soal penyampaian risalah, dan tugas-tugas kenabian lainnya. Riwayat lain menyatakan, janji itu tentang pertama kalinya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diciptakan, namun yang paling terakhir diutus. (Lihat: Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari, [tanpa cat. kota: Risalah al-Muassasah] 2000, jilid 20, hal. 213.  

Lantas, mengapa kemudian manusia ingkar janji, menyimpang, dan kufur?   Itulah sifat manusia. Mereka lupa atas janjinya sendiri di hadapan rabb mereka. Makanya Allah mengutus para rasul untuk mengingatkan janji itu. Sehingga tidak ada hujjah bagi mereka untuk tidak beriman saat ditagih janji pada hari Kiamat kelak. Tak lagi ada alasan, Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (ke-Esaan Tuhan), (QS. Al-A’raf [7] : 172).

Di balik setiap musibah pasti ada hikmah yang bisa diambil. Ada beberapa hikmah yang bisa dipetik dari musibah virus corona ini.
Pertama, Allah menegur dan mengingatkan kita bahwa manusia adalah makhluk yang lemah. Ketika virus corona muncul dan menyebar ke mana-mana banyak orang yang tidak berdaya. Mereka akhirnya terinfeksi dan banyak pula yang kehilangan nyawa.

Manusia bukanlah makhluk yang super kuat tetapi Allah-lah Zat Yang Maha Kuat. Kita tidak berdaya ketika Allah menurunkan penyakit yang bernama covid 19. Maka berserah dirilah hanya kepada Allah semata diiringi ikhtiar dan doa.

Kedua, musibah covid 19 menyadarkan (kembali) kepada kita  akan pentingnya menjaga kesehatan dan kebersihan diri dan lingkungan. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan soal kebersihan, baik jasmani maupun rohani. Allah SWT berfirman,

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah : 222).

Ketiga, meningkatnya solidaritas sosial di kalangan masyarakat. Pandemi virus corona yang menimbulkan banyak korban yang langsung maupun tidak langsung menyita perhatian masyarakat. Warga masyarakat pun bersimpati dan bahu-membahu membantu mereka yang terdampak virus ini. Sebagian warga membagikan masker dan hand sanitizer kepada warga yang kurang mampu. Sebagian yang lain menyumbang dana dan APD (Alat Pelindung Diri) untuk rumah sakit dan tenaga medis yang sangat membutukan. Ada juga yang menyumbang konsumsi untuk tenaga medis, driver ojol dan taksi yang terkena imbas dari aturan work from home (WFH).

Saat ini, relakan rutinitas kita diinterupsi oleh Corona. Tidak usah frustrasi, mari beristirahat dan tetap penuh pengharapan, sembari mengevaluasi diri, apakah kita sudah bersikap adil terhadap sesama dan bumi yang kita tinggali. Anggaplah momen ini adalah kesempatan untuk beristirahat dari kebisingan rutinitas kita dan ruang istirahat bagi bumi kita, semoga wabah virus corona ini segera berlalu tanpa menyisakan luka yang mendalam. Denyut kehidupan masyarakat pun bisa kembali berjalan normal dan insyaa Allah kita bisa menjadi hamba yang selalu bersabar menghadapi musibah dan bersyukur atas segala nikmat-Nya. Wallahu a'lam

Oleh: Ust. Asimun Mas’ud