Besan KH Said Aqil adalah Lawan PKI yang Asli, Bukan Kayak Pendemo Abal-Abal

 
Besan KH Said Aqil adalah Lawan PKI yang Asli, Bukan Kayak Pendemo Abal-Abal

LADUNI.ID, Jakarta - Selasa lalu (23/6/20), saya diantar Gus Yayak ke ndalem KH. Raden Ahid Sambas di Nganjuk. Jalur nasabnya sambung ke Syarif Hidayatullah urutan yang ke-16, dan sambung Rasulullah pada urutan ke-39. Tentu beliau adalah habib, tapi tidak menunjukkan kehabibnya. Beliau "njawani" yakni bisa bahasa Jawa walau logatnya masih ala Ceribon Jawa Barat. Saat berkisah tentang PKI, beliau bersemangat sekali dan ingatannya masih bagus.

Kisahnya dimulai pertama kali dari diselenggarakannya kesenian oleh Lekra (badan kesenian PKI) yang akan mementaskan ludruk dengan lakon "Pernikahannya Gusti Allah sampai melahirkannya Nabi Isa" di pasar Watudandang, Prambon Nganjuk. Nampaknya memang instruksi lakon yang demikian ini tidak hanya di satu kecamatan, tapi juga di kecamatan dan kabupaten lain.

Maka teman-teman Banser lapor kepada Kiai Ahid tentang lakonnya yang menyinggung umat Islam. Lalu Kiai Ahid melapor ke Koramil, oleh Koramil dikatakan polisi yang punya wewenang sebagai keamanan daerah, lalu ke polisi dan diberitahu kalau yang berwenang adalah camat, selanjutnya Kiai Ahid ke camat dan dikatakan bahwa itu wewenang lurah. Begitulah Kiai Ahid tanpa putus asa melangkah demi agama walau kayak dipingpong.

Selanjutnya KH. Ahid yang memegang jabatan sebagai ketua Ansor Anak Cabang Prambon plus merangkap ketua Banser kabupaten Nganjuk mendatangi lurah Watudandang, Pak Muhajir yang nampaknya dulunya berafiliasi dengan Masyumi.

Pak Muhajir bertanya apa sudah lapor atasan, dijawab oleh Kiai Ahid, sudah. Lalu Lurah Muhajir berkata silakan dilakukan. Maka saat semakin dekat dengan hari akan dimulainya acara ludruk, Lekra diingatkan agar membatalkan, tapi ternyata kepala pasar membolehkan, dan Lekra pun tidak mau membatalkan, maka tanpa banyak ucap, Banser sewaktu hari H bergerak membakar pasar desa Watundang, Prambon tempat dimana diselenggarakannya ludruk. Mereka kocar kacir.

Dalam sekian hari, ada oknum angkatan laut yang pro PKI atau malah PKI bernama Sagicen (Yai Ahid agak lupa) yang marah dengan meletuskan senapan serbu AK-47 mulai dari Prambon ke barat menuju desa Bandung hingga Tunggurejo, Baleturi dengan tujuan menakut-nakuti para pembakar pasar Watudandang. Dia sering mondar mandir di dekat rumahnya Lurah Imron Bandung, Prambon.

Tentu banyak masyarakat yang takut, dan lari ke pondok yang ada di sekitar Prambon untuk bersembunyi. Kiai Ahid mendatangi komandan Koramil bernama Pak Kholiq Abdi yang kebetulan bisa ngaji dan melaporkan kondisi yang terjadi.

Lalu si Sagicen pun tertangkap. Ternyata tokoh PKI Prambon mengecam dan mengancam atas penangkapan itu. Tokoh itu bernama Suprapto yang sekaligus menjabat sekretaris Cabang PKI Nganjuk. Lalu dia diundang diajak musyawarah, tapi tidak datang. Diajak komunikasi antar organisasi juga tidak memperhatikan. Selanjutnya diperingatkan, ternyata tidak tidak merespon juga, tapi tetap mengadakan intimidasi dan provokasi warga, sampai akhirnya terjadilah pembakaran rumahnya di timur desa Gading, Prambon.

***

Kiai Ahid juga berkisah sekitar tahun 1964 Ansor/Banser Prambon sering mengadakan pencak melawan PKI di Ngompak dan di tempat lain. Saat itu Prambon memang basis Banser yang kekuatan pasukan pencaknya sekitar 2000-an. Kata Kiai Ahid, mereka sudah ahli tarung.

Hal yang menarik dari penjelasan Kiai Ahid terkait PKI di Prambon adalah setelah banyak tokoh PKI ditangkap pada tahun 1966, ternyata ditemukan dokumen di rumah PKI. Dokumen itu berada di belakang kaca besar yang isinya daftar kiai yang akan diculik dan dibunuh. Semisal Kiai Ahid akan diculik oleh si A dan dibunuh di tempat ini. Demikian pula Kiai Ghozali pondok Tegalrejo, Prambon dan KH. Hisyam pondok Sanggrahan, Prambon juga termasuk ada di dalam daftar penculikan.

***

Pengalaman lain Kiai Ahid di desa Sumberejo, Gringging, Kediri. Sekitar awal tahun 1965 lurah Sumberejo, Gringging Kediri memberi bengkok tiga hektar untuk Ansor agar diolah dan digunakan untuk memperbaiki masjid, musholla dan madrasah. PKI tidak terima dan menghadap lurah sambil menggugat kenapa PKI tidak diberi jatah bengkok. Lurah menjawab pemberian itu untuk memperbaiki masjid, musholla dan madrasah. Ternyata PKI masih menjawab bahwa dia juga Islam tapi tidak sholat. Akhirnya PKI tetap tidak terima. Debat terjadi, selanjutnya lurah memberi solusi agar bergantian memanfaatkan sawah bengkok. PKI tetap tidak terima, maka lurah mengatakan, terserah anda mau melakukan aksi apa. Saat dijawab begitu, PKI malah merasa diberi peluang dan bergerak menulisi sawah bengkok yang dikelola Ansor yang padinya telah menguning dengan tulisan bahwa sawah ini mau kami "luku" (bajak). Kalau Ansor tidak terima, silakan datang ke lokasi sawah dan akan kami buat pupuk.Tentu akhirnya terjadi perang mulut di desa itu antara BTI/PKI dan Ansor. Muncul acaman ancaman. Kata Kiai Ahid, "Pendekar kok diancam demikian".

Saat semakin panas, Kiai Ahid mendapat surat dari Pak Toyib, kepala anak cabang Ansor/Banser Gringging, Kediri yang meminta bantuan bila sewaktu-waktu ada masalah dengan PKI. Lalu tepat pada tanggal 10 bulan Ramadhan (Kiai Ahid masih hafal), Beliau mendapat surat dari Kiai Muhtar yang merupakan karib Kiai Ahid serta qori' juara Jawa Timur. Isi surat agar Kiai Ahid datang sebelum jam 12, karena kalau tidak datang, Kiai Mukhtar akan mati. Kiai Ahid tanpa katokan dan tanpa baju, hanya memakai sarung dan kaos oblong berangkat jalan kaki dan ada yang naik sepeda pancal dari Prambon bersama 11 santri termasuk Pak Nahrowi, Sanggrahan. Berdasar telik sandi dari Pak Nahrowi, kekuatan PKI di Sumberejo ada sekitar 180. Orang sebanyak itu karena mereka mengundang PKI dari anak cabang lain bahkan hingga dari Blitar. Informasi dari Pak Nahrowi, dalam dua hari, mereka menghabiskan kambing sebanyak 5 ekor sebagai lauk pauk, yang hal itu terlihat dari 5 kulit kambing di markasnya.

Sesampai di tengah sawah di desa Gambyok (belum tiba di markas PKI di Sumberejo), ternyata Kiai Ahid sudah dicegat banyak PKI dengan dikalungi clurit di leher dan tombak sudah ditempelkan di dada oleh 4 orang. Mereka bertanya mau kemana? Kiai Ahid menjawab mau mencari Pak Muhtar. PKI menyahuti bahwa Pak Muhtar sudah tidak ada. Maka secara refleks Kiai Ahid bergerak sambil bertakbir, clurit ganti pindah tangan dan sisanya yang pegang tombak jatuh terkulai saat terdengar teriakan takbir yang berenergi karena diriyadlohi, bukan takbir ala kelompok yang sedikit-sedikit takbir.

Selepas dari kepungan itu, Kiai Ahid menuju markas PKI di Sumberejo dan mengepung kampung itu dengan 11 orang. Sekali lagi mereka bergerak dengan takbir menuju markas para PKI yang dijaga sekitar 180 orang. Terjadi perdebatan di markas itu entah bagaimana akhirnya Kiai Ahid melemparkan 24 orang PKI yang kekar-kekar dengan satu tangan dari rumah sampai terlontar hingga jalan. 24 orang semuanya langsung pingsan setelah jatuh di jalan dan lainnya semburat. Kiai Ahid berkata, rasanya sangat ringan saat melempar mereka.

***

Tidak hanya di Sumberejo, Kediri, Kiai Ahid juga diminta mengatasi masalah penyerobotan tanah milik Haji Said Mojokendil, Ngronggot, Nganjuk. Beliau mempunyai tanah seluas 60 hektar. Pria yang beristri empat ini punya menantu bernama Gus Imam dari Pondok Gedongsari Prambon. Suatu saat di tengah malam setelah selesai ngisi ngaji sorogan, Gus Imam menuju ke desa Sanggrahan Prambon sebagai markas Ansor untuk melaporkan ke Kiai Ahid. Gus Imam menjelaskan bahwa tanah mertuanya dipatoki oleh BTI/PKI sambil menuduh Haji Said sebagai rentenir, padahal Haji Said adalah santri yang banyak menyumbang ke pesantren di Prambon.

Lalu Kiai Ahid berkata agar semua dokumen tanah dikumpulkan supaya nanti saat melabrak PKI mempunyai bukti.

Sebelumnya, Kiai Ahid meminta kepada Pak Mahfudz Labib ketua Ansor kecamatan Ngronggot untuk menyelidiki kejelasan masalah tanah dengan melobi anak cabang BTI/PKI Ngronggot. Saat dilobi, malah dituduh membela lintah darat. Pak Mahfud bertanya kalau ada yang mau mengganti patokan bagaimana? Jawab tokoh BTI, "Itu akan ditukar dengan nyawa." Maka akhirnya Pak Mahfud melapor ke Kiai Ahid, dan Kiai Ahid berkata agar Pak Mahfudz agar memberitahu kepada BTI bahwa tanah itu milik Ansor anak cabang Prambon. Kiai Ahid juga berpesan kepada Pak Mahfud "Sampean meneng ae, mosok Sampean arep musuhan karo tonggone (BTI)."

Lalu dilakukan operasi pencabutan patok merah milik PKI (yang sudah diberi identitas pemiliknya dari para anggota BTI) dengan diganti patok hijau kepunyaan Ansor Prambon serta ditulisi kalau tidak terima silakan datang ke markas Ansor Prambon, ditunggu seminggu dua Minggu tidak datang. Kiai Ahid berkata sambil tertawa "Kadung siap bertarung, lha kok mboten sios."

***

Kisah lain di Tanggul, Jember. Suatu waktu GP Ansor mengundang drumband terbaik se-Jawa Timur yang berasal dari Muncar Banyuwangi untuk unjuk penampilan dalam rangka hari ulang tahun.

Anehnya, nambor ranting-ranting BTI/PKI diganti oleh PKI sendiri menjadi nambor atas nama Ansor dengan tujuan agar peserta drumband mampir makan karena memang telah disediakan piring-piring yang diisi racun. Benar, informasinya banyak yang mampir dan akhirnya banyak yang meninggal.

Mendengar hal demikian, Kiai Ahid bersama Bansernya diundang untuk datang ke Jember. Setelah pasi 1 atau Intel Banser memberikan informasi siapa saja orang PKI, maka mereka semua disergap dan diangkut truk entah dibawa kemana oleh militer.

***

Mobilitas pasukan Banser Kiai Ahid memang aktif. Beliau juga ikut operasi di Madrasah Tsanawiyah Kunir Kediri karena Alquran diinjak injak. Juga operasi Gorang Gareng di Madiun, juga operasi di Blitar selatan.

***

Kiai Ahid berkata bahwa setiap mau operasi, pasukannya digembleng dengan diijazahi doa hizib peninggalan Sunan Syarif Hidayatullah. Itulah satu-satunya hizib yang digunakan dalam melawan PKI. Alhamdulillah kami juga mendapatkan ijazah dengan penjelasan yang detail.

***

Kisah di atas diolah dari wawancara dengan Raden KH. Ahid Sambas.Tentu masukan koreksi sangat kami terima.

Bila ada anak turun PKI tidak perlu merasa minder. Karena kalau sudah tidak PKI dan malah menjadi warga NU atau yang lain, tentu sudah tidak menanggung beban sejarah, apalagi beban dosa.

 


*) Oleh Gus Ainul Rofiq Al Amin. Ket.gambar penulis dan narasumber