Menyimak Prinsip Gus Baha ketika Membahas Soal Politik

 
Menyimak Prinsip Gus Baha ketika Membahas Soal Politik
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - KH. Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang biasa disapa Gus Baha merupakan tokoh ulama yang dikenal karena kealimannya. Beliau selalu memberikan ceramah-ceramah dengan materi yang menyejukkan dan mencerahkan berbagai kalangan.

Begitu pula ketika Gus Baha berbicara tentang politik. Mungkin jarang, akan tetapi dalam beberapa pengajian, Gus Baha pernah memberikan penjelasan bagaimana seharusnya masyarakat memberikan pandangan yang baik terhadap politik, yakni dengan mencerna sejarah politik tanah air .

Gus Baha menceritakan bahwa banyak kalangan umat sekarang yang mereduksi politik, terutama ketika berkaitan dengan isu nasionalisme dan partai Islam. Seolah-olah dua isu tersebut merupakan dua hal yang bertentangan. Padahal ketika melihat sejarah tidaklah demikian.

Pada kenyataannya sekarang, orang yang pro terhadap Megawati biasanya begitu "menagungkan" Soekarno. Seolah-olah Indonesia dimulai sejak adanya Soekarno, bahkan sampai ada paham Soekarnoisme. Padahal, embrio Indonesia itu sebenarnya adalah dimulai dari tahun 1908, di mana pada saat itu belum ada partai nasionalis. Pada tahun itu, melalui para kyai, akhirnya partai-partai Islam kemudian berani melawan kolonialisme Belanda. Sebagaimana saat itu berdiri Serikat Dagang Islam yang kemudian berubah menjadi Serikat Islam, sehingga kemudian berubah menjadi partai Islam yang mula-mula digagas oleh HOS. Cokroaminoto. Oleh sebab itu, Indonesia sebanarnya tidak bisa meninggalkan dan terlepas dari partai Islam.

Pandangan tentang Nasionalisme dan Keagamaan

Selama ini, dalam pandangan Gus Baha, kita seolah-olah "dininabobokkan" dengan melihat bahwa ketika orang tidak membela Soekarno, maka ia dianggap anti Indonesia. Meskipun sebenarnya tidak mungkin kita tidak menghormati Soekarno, karena beliau merupakan pahlawan besar yang memang harus dihormati.

Akan tetapi, kebesaran Soekarno demi bangsa Indonesia tidak boleh direduksi atau disederhanakan dengan hanya melewati partai. Hal itu, menurut Gus Baha, merupakan sebuah agenda pengkerdilan atau penyempitan pandangan. Sebab, Soekarno mendirikan bangsa Indonesia ini, tentunya adalah untuk semua bangsa. Bukan untuk partai-partai Marhaenisme saja, juga bukan hanya untuk partai yang berpaham Soekarnoisme saja.

Begitupula ketika HOS. Cokroaminoto mendirikan partai Islam dan munculnya gerakan Budi Utomo serta Serikat Islam yang lain, tidak lain adalah untuk mengusir Belanda dari bumi Indonesia, yang nanti juga adalah untuk kepentingan semua bangsa Indonesia. Tidak hanya yang untuk orang Islam saja.

Oleh karena itu, sudah seharusnya kita berpandangan adil dalam melihat kenyataan yang ada di Indonesia. Adil tersebut dalam pandangan Gus Baha adalah ketika pandangan nasionalisme tidak mengurangi keagamaan, begitupun sebaliknya, pandangan keagamaan tidak mengurangi nasionalisme.

Persoalannya, nasionalisme dan keagamaan kini telah dikerdilkan secara politik. Banyak orang yang kini telah membedakan kalau tidak nasionalis ya agamis, kalau tidak agamis ya nasionalis. Gus Baha sangat meragukan kebenaran pandangan itu.

Opo nek nasionalis terus ra wajib shalat? Opo nek religius terus ra wajib nasionalis? (Apa kalau sudah nasionalis tidak wajib shalat? Apa kalau sudah religius tidak wajib nasionalis?),” sentil Gus Baha. Hal itulah yang disebut Gus Baha sebagai pengkerdilan secara publik.

Berangkat dari itu, Gus Baha sangat bangga ketika pada ada peringatan Hari Kebangkitan Nasional, selalu digaungkan di televisi dan di berbagai kesempatan bahwa kebangkitan Indonesia dimulai pada tahun 1908. Hal itu sangat penting, karena agar mereka yang sok Soekarnoisme tidak mereduksi Bung Karno hanya milik mereka sendiri.

Dengan demikian, hal yang penting diingat juga adalah bahwa Islam merupakan suatu agama yang paling sensitif terhadap penjajahan atau kolonialisme. Sehingga perlawanannya tak pernah berhenti demi menghapuskan penjajahan di muka bumi ini. Sampai saat ini komitmen Islam tidak pernah berhenti, bahkan di dalam Al-Qur'an, Allah SWT menegaskan sendiri bahwa sungguh anak Adam itu dimuliakan. Lalu jika Allah SWT memuliakannya, bagaimana mungkin sesama manusia lantas saling menegasikan dengan penjajahan? []


Sumber: Tulisan ini merupakan catatan yang diolah dan dikembangkan dari pengajian KH. Bahauddin Nursalim. Tim redaksi bertanggungjawab sepenuhnya atas uraian dan narasi di dalam tulisan ini.

Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 29 Juni 2020. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Editor: Hakim

 

 

Tags