Memahami ‘Amar Ma’ruf Nahi Munkar Secara Benar

 
Memahami ‘Amar Ma’ruf Nahi Munkar Secara Benar

LADUNI.ID, Jakarta - Kita tahu bahwa Islam telah mengajarkan ‘amar ma’ruf nahi munkar, yakni sebuah frasa dalam bahasa Arab yang berisi tentang perintah untuk menegakkan yang benar dan melarang hal yang salah. Frasa ini kemudian menjadi motivasi bahkan merupakan kewajiban agar umat Islam senantiasa melakukan hal yang benar dan melarang hal yang salah.

Namun demikian, sebagian umat Islam (terutama mereka yang baru mempelajari Islam) seringkali salah paham dengan frasa ini. Sebab, persepsi benar dan salah terkadang memiliki perbedaan bagi mereka yang punya madzhab yang pula berbeda. Akibatnya, mereka kemudian melakukan klaim-klaim pribadi atas apa yang dikatakan kebenaran dan apa yang dimaksud kesalahan.

Dalam hal ini, KH Buya Syakur Yasin menegaskan bahwa frasa bahasa Arab itu tidak boleh hanya dimengerti secara mentah-mentah, karena itu hanya akan mengakibatkan terjadinya hukum rimba. Semua yang dikatakan benar dan salah harus mengikuti aturan yang ada.

Jika dalam dalam istilah ‘amar ma’ruf, lebih cenderung pada wilayah kita sendiri untuk melakukan hal yang benar, semisal menolong orang. Dalam contoh ini, menolong tidak perlu minta izin orang lain apakah boleh menolong atau tidak. Sebab, wilayah ‘amar ma’ruf memang dalam rangka berbuat kebaikan seperti menolong orang.

Tetapi berbeda halnya dengan istilah nahi munkar yang harus diatur dengan undang-undang yang sudah disepakati. Pertama, harus disepakati terlebih dahulu apa yang disebut dengan kemunkaran (kesalahan). Jangan dikira kemunkaran yang dimaksud adalah kemunkaran dalam hal ideologi atau kemunkaran dalam bahasa agama.

Salah satu yang sering disalahpahami adalah dalam hal agama disebut kemungkaran. Semisal orang yang bangun gereja kemudian dianggap kemunkaran orang orang Islam. Hal ini jelas sangat keliru dalam mengartikan apa itu kemunkaran. Sebab, tidak mungkin orang membangun tempat ibadah kemudian disebut dengan kemungkaran.

Oleh karena itu, yang disebut kemunkaran itu misalnya adalah tindakan-tindakan kriminal. Jika sudah terjadi kemunkaran semacam tindakan kriminal, maka harus diserahkan kepada kepolisian. Tidak bisa kita menangani sendiri tindakan kriminal tersebut dengan berbalik memukul orang yang bertindak kriminal. Hal ini bukan lagi yang disebut kemunkaran, melainkan sudah terjadi hukum rimba.

Dalam bahasa agama, memang terdapat banyak contoh kemunkaran semisal berjudi, melacur, tetapi bukan kemudian kita yang menghukum mereka yang berbuat kemunkaran tersebut. Tetapi, harus ada cara yang benar, tidak ujuk-ujuk melaksanakan sendiri. Sehingga, dalam pandangan Buya Syakur, dalam hal ‘amar ma’ruf nahi munkar harus ada pembagian. Kiai sebagai ‘amar ma’ruf dan polisi sebagai nahi munkar-nya.

Jika tidak ada wilayah pembagian seperti itu, maka nanti akan terjadi hukum rimba. Semisal, ada maling motor kemudian dibakar hidup-hidup oleh massa, maka cara itu adalah salah. Kalau sudah begini, maka besar mana dosa maling motor dengan membunuh orang? Jelas besar dosa orang yang membunuh orang. Sebab, mereka sudah tidak memakai logika lagi tetapi hanya menggunakan kemarahan belaka.

Bagaimana pun semuanya harus didasarkan pada peraturan yang sudah disepakati. Sehingga, memahami frasa ‘amar ma’ruf nahi munkar tidak ditafsirkan secara keliru yang pada akhirnya hanya akan menciptakan hukum rimba yang tidak diinginkan. Begitulah cara memahaminya sebagaimana penjelasan ceramah dari KH Buya Syakur Yasin. Semoga bermanfaat…