Riset Kiai Wahab tentang Fenomena Pesantren dan Santri Hilang

 
Riset Kiai Wahab tentang Fenomena Pesantren dan Santri Hilang

LADUNI.ID, Jakarta - Kiai Wahab Chasbullah melakukan riset tentang santri dalam kurun 40 tahun terakhir dari tahun dilakukannya riset (1887-1927). Riset  lapangan ini dilakukan sekitar tahun 1926-1927. Area riset adalah kota Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto dan Jombang. Hasil risetnya menunjukkan grafik menurun jumlah santri yang totalnya turun menjadi 3.993.

Tentu riset ini menarik, zaman segitu jaringan NU baru dibentuk tapi sudah melakukan riset relatif  detail di area yang luas serta dengan data ditampilkan apa adanya. Paparan data riset Kiai Wahab juga bisa diambil beberapa poin-poin  menarik:

Pertama, pada tahun 1926 (lihat  data riset di  bagian  akhir tulisan ini) pesantren Tebuireng jumlah santrinya sudah ratusan (300 murid). Dalam waktu tidak lama yakni semenjak KH. Hasyim Asy'ari memimpin NU ada kenaikan signifikan jumlah santri Tebuireng. Data dari riset penjajah Jepang pada tahun 1942 menunjukkan bahwa alumni santri pondok Tebuireng yang berdiri tahun 1899 ini telah menyebar di Nusantara sebanyak 20 ribuan santri (pendataan oleh Jepang ini saya nukil dari buku karya Akarhanaf alias KH. Abdul Karim bin KH Hasyim Asy'ari dalam karyanya  "Kiai Hasjim Asj'ari, Bapak Ummat Islam Indonesia"). Lonjakan kenaikan santrinya begitu luar biasa dahsyat.

Kedua, pondok  Gedang atau ngGedang (tempat kelahiran Hadlaratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari) masih dalam nukilan buku karya Akarhanaf dijelaskan bahwa ngGedang seabad lalu disebut pondok terkenal dan  saat itu hanya pondok itu satu satunya yang boleh dibanggakan.

Penjelasan Akarhanaf di buku yang beliau tulis pada tahun 1959 ini bersesuaian dengan riset Mbah Kiai Wahab bahwa sebelum tahun 1926-1927,  pondok Gedang (lebih tepatnya namanya ngGedang nJobo seperti yang juga ditulis di buku sejarah Tambakberas) santrinya berjumlah 500. Tapi saat riset  dilakukan, jumlahnya tinggal 5 santri setelah wafatnya KH. Usman (menantu pendiri pondok Tambakberas dan mertua KH. Asy'ari).

Ketiga, alkisah sisa santri yang  ada di Gedang diboyong  ke Pondok Tambakeras (jarak lokasi pondok Gedang dengan Pondok Tambakberas sekitar 200 meter, hanya dipisah sungai Tambakberas yang pas di timur rumah saya. Sungai Tambakberas ini  mempunyai nilai historis karena terdapat kisah perang Ranggalawe yang  menurut beberapa masyarakat Tambakberas terjadi di sungai itu, bahkan di makam Mbah Kiai Usman juga ada makam yang menurut kisah adalah makam istri Ranggalawe).

Keempat, ternyata di Tambakberas pada tahun 1926/1927 sudah banyak  pondok kecil. Ada pondok Tambakberas Kiai Chasbullah, pondok Tambakberas Kiai Syafii, pondok Tambakberas Kiai Baidhowi,  pondok Tambakberas Kiai  Abdur Rauf, dan Tambakberas Kiai Imam. Sayang sampai sekarang jejak pondok atau musholla  banyak tidak diketahui.

Demikian pula di Denanyar ada pondok Denanyar Kiai Bisri dan  pondok Denanyar Kiai Thoyyib. Adapun Rejoso yang tercatat pondok Rejoso Kiai Syafawi.

Kelima, berangkat dari riset KH. Wahab, proyek madrasah Mubdil Fann yang didirikan Mbah Wahab pada tahun 1912 di Tambakberas tidak disebut (kisah bagaimana Mbah Wahab mendirikan madrasah lalu dilempari batu bata oleh Mbah Kiai Chasbullah bisa dibaca di Buku Tambakberas). Sebagai informasi, setelah mendirikan Mubdil Fann, beliau lebih banyak di Surabaya  dan pada tahun 1914/1916 mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan di Surabaya bersama beberapa kolega lain.

Sekalipun tidak disebut dalam riset itu,  bisa disimpulkan nama Madrasah Tambakberas yang dalam riset ada di urut 43 yang dimaksud adalah madrsah Mubdil Fann. Hal ini berangkat dari Majalah Suara NU edisi tahun yang sama (1346/1927) diberitakan ada seorang guru Madrsah Mubdil Fann mengirim pertanyaan keagamaan pada redaksi Majalah Suara NU. Logikanya kalau ada gurunya berarti muridnya juga ada. Maka madrasah Tambakberas kadang disebut madrasah mubdil fann, kadang disebut madrasah Tambakberas. Sama seperti Pondok Tambakberas kadang disebut Bahrul Ulum kadang disebut pondok Tambakberas.

Keenam, dalam buku karya Ali Yahya "Sama Tapi Berbeda" dijelaskan bahwa  di  Tebuireng dikenal ada Madrasah Nizamiyyah yang didirikan pada tahun 1935 oleh  KH. Wahid Hasyim atas restu KH. Hasyim Asy'ari. Nampaknya madrasah ini adalah pengembangan dan inovasi  lanjut dari madrasah di Tebuireng yang telah ada. Di situs Tebuireng online dijelaskan pada tahun 1916, KH. Ma’shum Ali, menantu pertama KH. Hasyim Asyari mengenalkan sistem klasikal (madrasah).

Dalam riset Mbah Wahab,  jumlah murid di madrasah Tebuireng adalah 350, sedang jumlah santri di pondok Tebuireng adalah 300. Perbedaan jumlah ini menunjukkan saat itu sudah ada kesadaran masyarakat sekitar untuk menyekolahkan anaknya ke madrasah, sekaligus menunjukkan yang namanya santri kalong sudah ada sejak dahulu.

***

Di bawah ini adalah data riset Mbah Kiai Wahab atas pondok, kiai, madrasah dengan fluktuasi  jumlah santri di area Jombang. Dalam rentang waktu 1887-1927, jumlah santri di Jombang dari total  2.450 menurun menjadi 1.607.

  1. Brangkal (Bandar Kedungmulyo, pen.) dulu muridnya 150 sekarang kosong dan rusak.
  2. Balungrejo (Sumobito, pen.) dulu tidak ada murid, sekarang muridnya 60.
  3. Rejoso Kiai Syafawi dulu  muridnya sejumlah 120, sekarang 10.
  4. Wonokoyo (Mayangan Jogoroto, pen.) dulu muridnya 50, sekarang tinggal 7.
  5. Ploso Peterongan Pondok Kaleh (mungkin yang dimaksud Ploso Kerep Sumobito karena berbatasan dengan Rejoso Peterongan, pen.) dulu muridnya sebanyak 60, sekarang 15.
  6. Gayam (Mojowarno, pen.) dulu muridnya 50, sekarang 15.
  7. Ngasem (Jombok, Ngoro, pen.) Kiai Ahmadi dulu muridnya kosong, sekarang 50.
  8. Sukotirto (Badang Ngoro, pen.) dulu muridnya 20, sekarang 10.
  9. Keras Kiai Asy'ari dulu muridnya  berjumlah 70, sekarang 15.
  10. Seblak (Kwaron Diwek, pen.) dulu muridnya kosong, sekarang 30.
  11. Tebuireng Kiai Hasyim Asy'ari dulu muridnya  kosong sekarang 300.
  12. Paculgowang dulu 25, sekarang 15.
  13. Kwaringan (Ngoro, pen.) dulu  kosong, sekarang 15.
  14. Watugaluh (Diwek, pen.) Kiai Qasim dulu 50, sekarang kosong.
  15. Bandung Wetan dan Kulon (Diwek, pen.) dulu 50, sekarang 20.
  16. Kencong Kyai Nur Daim dulu berjumlah 100, sekarang 40.
  17. Mojo Songo Kiai Muridan dulu muridnya 200, sekarang rusak bangunannya.
  18. Sambong dulu 150, sekarang 3.
  19. Denanyar Kiai Thoyyib dulu 40, sekarang rusak.
  20. Denanyar Kiai Bisri, dulu tidak ada muridnya, sekarang 40.
  21. Semelo dulu 80 sekarang 90.
  22. Jambu kiai Subki dulu 50, sekarang kosong.
  23. Ploso Gerang Kiai Moh Arif,  dulu 50, sekarang 20.
  24. Dempok Kiai Syamsuddin dulu muridnya 100, sekarang kosong rusak.
  25. Melik dulu 50, sekarang kosong rusak.
  26. Kapas, dulu muridnya  60, sekarang kosong.
  27. Banggle dulu muridnya 50, sekarang rusak.
  28. Padar (Ngoro) dulu muridnya sebanyak 50, sekarang rusak.
  29. Nglungu kiai Abdur Rauf dulu muridnya  100, sekarang rusak.
  30. Gedang nJero Kiai Nushah dulu muridnya  70, sekarang pondok dan masjidnya rusak.
  31. Gedang nJobo kiai Guru Usman dulu muridnya 500, sekarang tinggal 5.
  32. Karang Asem Lor dulu 50, sekarang kosong tinggal langgar.
  33. Tambakberas Kiai Chasbullah dulu muridnya 50, sekarang 90.
  34. Tambakberas Kiai Syafii dulu muridnya 40, sekarang 2.
  35. Tambakberas Kiai Baidhowi dulu 40, sekarang rusak.
  36. Tambakberas Kiai  Abdur Rauf dulu tidak ada murid, sekarang 10.
  37. Tambakberas Kiai Imam dulu tidak ada, sekarang 20.
  38. Madrasah Mojo Agung dulu tidak ada, sekarang 150.
  39. Madrasah Kalak dulu tidak ada, sekarang 80.
  40. Madrasah Ploso Peterongan dulu tidak ada, sekarang 40.
  41. Madrasah Belimbing, dulu kosong sekarang 50.
  42. Madrasah Tebuireng dulu tidak ada, sekarang 350.
  43. Madrasah Tambakberas dulu tidak ada, sekarang 75.
  44. Madrasah Denanyar dulu tidak ada, sekarang 125.
  45. Madrasah Kapas dulu tidak ada, sekarang 50.
  46. Madrasah Melik dulu tidak ada, sekarang 30.
  47. Madrasah Kauman Ler, dulu kosong sekarang sudah bubar.
  48. Madrasah Pengulun, dulu kosong sekarang bubar.

***

Terima kasih kepada Mas Arif yang telah memberikan data majalah NU berhuruf Pegon  tentang riset Mbah Wahab. Terima kasih pula kepada Gok Din, pendekar Ya Latif  sebagai orang lapangan di Jombang yang ikut membantu "ngiro-ngiro" nama desa  yang ada di Jombang pada tulisan pegon yang kabur. Tentu  kepada istri saya yang juga ikut memperkirakan tulisan yang kabur.


*) Oleh Ainur Rofiq Al Amin