NU dan Kewalian Para Pendirinya

 
NU dan Kewalian Para Pendirinya

LADUNI.ID, Jakarta - Semakin banyak yang memusuhi Nahdlatul Uluma (NU), maka ia akan semakin besar dan pihak-pihak yang memusuhinya pasti akan hancur. Demikian perjalanan sejarah membuktikan. Pada era 1950-an, NU menjadi bulan-bulanan Masyumi. Sikap su’ul adab Masyumi ini berujung pada mufaraqah-nya (memisahkan diri) NU dari Masyumi. Apa yang terjadi setelah itu? NU semakin besar dengan raihan 45 kursi di parlemen pada pemilu 1955. Padahal sebelumnya hanya mendapat jatah 8 kursi saat NU masih bersama Masyumi. Beberapa tahun kemudian, Masyumi dibubarkan oleh pemerintah (Orla) karena keterlibatannya dalam aksi makar di beberapa daerah di Indonesia.

Hal yang sama juga dialami oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) dengan ideologi komunisnya dan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dengan ideologi khilafahnya. Sikap permusuhan keduanya atas NU telah jamak diketahui. Nasib keduanya pun tidak jauh berbeda dengan Masyumi, dibubarkan dan dicatat sebagai organisasi terlarang di Indonesia.

Apa yang membuat NU demikian sakti? Banyak faktor. Salah satunya adalah kualitas ketakwaan para pendirinya hingga mencapai derajat kewalian. Sederhananya, NU itu didirikan oleh para wali Allah. Para pendiri NU seperti Kyai Hasyim, Kyai Wahab, Kyai Bisyri, semuanya adalah wali-wali Allah.

Pernyataan ini bukanlah klaim tanpa dalil. Wali Allah, sebagaimana disebutkan dalam berbagai kitab pesantren, adalah seorang mukmin yang senantiasa istiqamah dalam menjalankan ketaatan pada Allah (al-mu’min-ul mustaqimu fi ta’atillah).

Mu’min artinya orang yang percaya adanya Allah. Meyakini bahwa Allah adalah Tuhannya, Pencipta alam semesta (al-Khaliq). Dia tidak serupa dengan makhluk-makhluk-Nya (mukhalafah li-l hawadits). Ada tanpa permulaan (al-qidam), dan ada tanpa akhiran (al-baqa’). Dia Esa (al-ahad), dan tiada sekutu bagi-Nya (al-wahid). Juga percaya bahwa Muhammad bin Abdullah adalah hamba Allah dan rasul-Nya yang diutus untuk manusia dan jin, serta membawa rahmat atas seluruh alam. Orang yang memegang teguh kepercayaan ini hingga akhir hayatnya, itulah yang disebut mukmin.

Adapun Istiqamah dalam menjalankan ketaatan pada Allah maknanya adalah ia senantiasa menjalankan perkara-perkara fardhu yang diwajibkan atas dirinya, lalu melengkapinya dengan memperbanyak melakukan perkara-perkara sunnah (an-nawafil). Ketika seseorang mampu menjalankan semua itu, maka Allah mengangkatnya sebagai seorang wali. Dan orang yang memusuhi wali, berarti memusuhi Allah. Dan orang yang memusuhi Allah, kelak pasti akan binasa. Dalam hadis qudsy riwayat al-Bukhari, disebutkan: “man ‘ada lii waliyya faqad adzantuhu bi-l harbi”, barangsiapa yang memusuhi waliku, niscaya ia akan hancur (HR. Al-Bukhari).

Jadi, seorang wali minimal memiliki dua kriteria: [1] beriman hingga akhir hayatnya; dan [2] istiqamah dalam menjalankan ketaatan, yang fardhu dan sunnah. Dua kriteria di atas, tidak diragukan lagi, ada pada diri ketiga pendiri NU; Kyai Hasyim, Kyai Wahab, dan Kyai Bisyri. Kyai Hasyim adalah yang paling senior di antara ketiganya.

Zamakhsari Dhofier dalam bukunya Tradisi Pesantren menyebut pesantren Tebuireng yang didirikan Kyai Hasyim sebagai sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga keislaman (pesantren) di Jawa-Madura. Karenaya gelar kehormatan ‘Hadratus Syaikh’ (Maha Guru) disematkan pada beliau, Kyai Hasyim. Keberhasilannya dalam mencetak banyak ulama berpengaruh, penjaga tradisi Islam Aswaja di Nusantara, adalah prestasi mengagumkan yang rasa-rasanya mustahil diraih kecuali oleh orang yang memiliki maqam spiritual tingkat tinggi. Bergurunya Kyai Kholil, ulama Madura yang masyhur akan kewaliannya, ke Pesantren Tebuireng asuhan Kyai Hasyim, secara tersirat, adalah bukti pengakuan Kyai Kholil atas ketinggian maqam spiritual yang dimiliki oleh muridnya, Kyai Hasyim. Oleh sebab itu, NU baru berdiri setelah mendapat restu dari keduanya.

Bagaimana dengan Kyai Wahab dan Kyai Bisyri? Diceritakan dalam buku Mengenang KH. M. Aly Ubaid bahwa pernah suatu ketika Kyai Wahab meminang Kyai Aly Ubaid, putra Kyai Abdullah Ubaid (Pendiri Ansor NU), untuk menjadi menantunya. Kyai Aly yang waktu itu masih nyantri di Ummul Quro, Makkah, menjadi gamang, antara menerima dan menolak. Akhirnya, Kyai Aly dengan ditemani Zaky Ubaid, kakaknya, sowan kepada Kyai Hamid Pasuruan, sepupunya, untuk mengutarakan permasalahannya. Di luar dugaan, Kyai Hamid menjawab, “kalau Kyai Wahab yang menginginkan saya tidak berani. Kyai Wahab itu adalah wali terbesar di Indonesia. Seandainya seluruh wali di tanah Jawa memohon hujan dan Kyai Wahab tak setuju, maka tak jadi hujan”, ujar Kyai Hamid. Padahal Kyai Ali sendiri sebenarnya akan dijodohkan dengan adik ipar Kyai Hamid. Tapi tidak jadi, setelah Kyai Hamid mengetahui niatan Kyai Wahab untuk mengambil Kyai Aly sebagai menantunya (Musthafa Helmy: 2002, hal. 24). Alhasil, Kyai Aly pun menikah dengan Mahfudhah, putri Kyai Wahab.

Mengenai kewalian Kyai Bisyri, salah seorang guruku yang tsiqah (terpercaya), alumni Pesantren Denanyar, pernah menulis catatan di akun facebooknya tentang pengalaman mistis yang menimpa salah seorang karibnya:

“Kejadian tersebut bermula dari kebiasaan nderes al-Qur'an yang dilakukan para santri di Makam Mbah Bisri pada malam Bulan Ramadlan. Pada waktu itu, jam menunjukkan pukul 00.30 dini hari. Seperti biasa, banyak santri membaca al-Qur'an di seputar makam. Tiba-tiba salah seorang dari mereka melihat ada sesosok orang yang memancarkan cahaya berdiri di atas makam. Tidak diketahui secara pasti dari mana ia datang. Teman saya yang melihat sosok tersebut menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi tidak seorangpun di sekitarnya yang mengarahkan pandangan matanya pada sosok tersebut. Kepala mereka tetap menunduk membaca ayat-ayat suci al-Qur'an yang ada di tangan mereka. Rupanya hanya dia yang melihat sosok bercahaya itu. Spontan ia bangkit dari tempat duduknya. Lalu meraih tangan kanan sosok tersebut dan menciumnya. Belum sempat melihat wajahnya, sejurus kemudian, sosok itu hilang entah kemana. Beberapa tahun berikutnya, teman saya ini berkesempatan menimba ilmu di Beirut, Lebanon. Ia mendapatkan kesempatan emas belajar ilmu agama pada seorang ulama besar abad ini, seorang pakar hadits dan berbagai disiplin ilmu yang lain, seorang wali yang sangat masyhur karamah-karamahnya : Syekh Abdullah al-Harari (wafat 2 Ramadhan 1429 H). Ketika teringat kejadian aneh di Makam Mbah Bisri, ia langsung tanya kepada Syekh Abdullah. Beliau menjawab : "Sosok yang bercahaya itu adalah wali (Mbah Bisri) yang sedang keluar dari dalam makamnya." Karena mendengar cerita tersebut, beberapa murid Syekh Abdullah al-Harari ketika berada di Jawa Timur menyempatkan diri untuk berziarah ke makam beliau dan berdoa di sana”, demikian tulis guruku.

***

Pelajaran yang bisa kita ambil dari beliau, para pendiri NU, adalah bahwa kepemimpinan tidak hanya sekedar mengandalkan kualitas intelektual ataupun modal harta yang melimpah. Lebih dari itu, kepemimpinan harus diimbangi dengan semangat juang, keikhlasan dalam mengabdi serta kualitas ketakwaan pada Allah ta’ala.

Selama NU dipimpin oleh orang-orang yang mukhlis dan tetap konsisten dengan tujuan didirikannya, insyaa Allah NU akan selamanya menjadi ormas terbesar di Indonesia dan akan tetap berjaya ila yaum-il qiyamah. Rabbi fanfa’na bi barkatihim wahdina-l husna bi hurmatihim wa amitna fii thariqatihim wa mu‘afatin min-al fitani. Aamin.(*)

***

Penulis: Miftakhul Arif, M.H.I, Pengajar di MA Unggulan Wahab Hasbullah Tambakberas, kandidat Doktor UIN Sunan Ampel Surabaya.
Editor: Muhammad Mihrob