Biografi Syekh Abdul Malik Kedung Paruk, Banyumas

 
Biografi Syekh Abdul Malik Kedung Paruk, Banyumas
Sumber Gambar: foto istimewa

Daftar Isi:

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru-Guru

3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Menjadi Mursydi Thoriqoh
3.2  Amalan Syekh Abdul Malik
3.3  Dekat dengan Habaib
3.4  Masa Penjajahan

4.    Teladan
5.    Pesan Syekh Abdul Malik
6.    Karya-Karya
7.    Chart Silsilah Sanad
8.    Referensi

1. Riwayat Keluarga

1.1 Lahir
Syekh Muhammad Ash’ad bin Muhammad Ilyas atau yang akrab dengan sapaan Syekh Abdul Malik Kedung Paruk lahir pada hari Jum’at, 3 Rajab tahun 1294 H atau bertepatan pada tahun 29 April 1877 M (jika dikonversikan), di Purwekerto, kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Secara nasab beliau merupakan keturunan Pangeran Diponegoro berdasarkan “Surat Kekancingan” (semacam surat pernyataan kelahiran) dari pustaka Kraton Yogyakarta dengan rincian Muhammad Ash’ad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas bin Raden Mas Haji Ali Dipowongso bin HPA. Diponegoro II bin HPA. Diponegoro I (Abdul Hamid) bin Kanjeng Sultan Hamengku Buwono III Yogyakarta. Nama Abdul Malik diperoleh dari sang ayah ketika mengajaknya menunaikan ibadah haji bersama.

1.2 Keluarga
Syekh Muhammad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas menikahi tiga orang istri, istri kedua beliau tidak dikaruniai keturunan. Istri pertamanya adalah Nyai Hajjah Warsiti binti Abu Bakar yang lebih dikenal dengan nama Mbah Johar. Seorang wanita terpandang, putri gurunya, Kyai Abu Bakar bin KH. Yahya Kelewedi Ngasinan, Kebasen. Istri pertama ini kemudian dicerai setelah dikaruniai seorang anak lelaki bernama Kyai Ahmad Busyairi (wafat tahun 1953, pada usia sekitar 30 tahun).

Ada sebuah cerita unik tentang Putra pertamanya ini. Ahmad Busyairi adalah seorang pemuda yang meninggal dunia sebelum sempat menikah. Suatu hari Syekh Abdul Malik berkata padanya, “Nak, besok kamu menikah di surga saja ya?” Mendengar ayahnya bertutur demikian, muka Busyairi terlihat ceria dan hatinya merasa sangat gembira. Beberapa waktu kemudian, ia meninggal sebelum berkesempatan menikah.

Istri kedua Syekh Abdul Malik adalah Mbah Mrenek, seorang janda kaya raya dari Desa Mrenek, Maos Cilacap. Pernikahan ini tidak dikaruniai anak.

Istimewanya, suatu hari Syekh Abdul Malik hendak menceraikannya, namun Mbah Mrenek berkata, “Pak Kyai, meskipun Panjenengan (Anda) tidak lagi menyukai saya, tapi tolong jangan ceraikan saya. Yang penting saya diakui menjadi istri Anda, dunia dan akhirat.”

Mendengar permintaan ini, Syekh Abdul Malik pun tidak jadi menceraikannya. Sedangkan istri ketiganya adalah Nyai Hj. Siti Khasanah, seorang wanita cantik dan shalihah, tetangganya sendiri. Pernikahan ini, dikaruniai seorang anak perempuan bernama Nyai Hj. Siti Khairiyyah yang wafat empat tahun sepeninggal Syekh Abdul Malik. Dari putrinya inilah nasab Syekh Abdul Malik diteruskan.

1.3 Wafat
Syekh Abdul Malik wafat pada hari Kamis, 21 Jumadil Akhir 1400 H atau yang bertepatan dengan 17 April 1980 M, sekitar pukul 18.30 WIB (malam Jum’at). Jenazah beliau dimakamkan pada hari Jum’at, selepas shalat Ashar di belakang Masjid Bahaul Haq wa Dhiyauddin Kedung Paruk, Purwokerto.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1 Pendidikan
Syekh Abdul Malik memulai pendidikannya dengan belajar Al-Qur’an langsung kepada ayahnya. Setelah selesai belajar Al-Qur’an dengan ayahnya, Syekh Abdul Malik kemudian mendalami kembali Al-Qur’an kepada KH. Abu Bakar bin H Yahya Ngasinan (Kebasen, Banyumas).

Ketika menginjak usia 18 tahun, Syekh Abdul Malik dikirim oleh sang ayah ke Tanah Suci untuk menimba ilmu agama. Di sana beliau mempelajari berbagai disiplin ilmu agama, seperti Tafsir, Ulumul Qur’an, Hadis, Fiqih, Tasawuf dan lain-lain. Pada tahun 1327 Sykeh Abdul Malik pulang ke kampung halaman setelah kurang lebih 15 tahun belajar di Tanah Haram.

Sebelum berangkat ke tanah Suci, Syekh Abdul Malik sempat berguru kepada KH. Muhammad Sholeh bin Umar Darat Semarang, Sayyid Habib Ahmad Fad’aq (seorang ulama besar yang berusia cukup panjang, wafat dalam usia 141 tahun), Habib Atthas Abu Bakar Al-Atthas, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, Surabaya, Sayyid Habib Abdullah bin Muhsin Al-Atthas Bogor.

Selama bermukim di Makkah, Syekh Abdul Malik diangkat oleh pemerintah Arab Saudi sebagai Wakil Mufti Madzhab Syafi’i, diberi kesempatan untuk mengajar berbagai ilmu agama termasuk, tafsir dan qira’ah sab’ah. Sempat menerima kehormatan berupa rumah tinggal yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes.

Menurut beberapa santrinya, Syekh Abdul Malik sebenarnya tinggal di Makkah selama kurang lebih 35 tahun, tetapi tidak dalam satu waktu.

Disamping belajar di tanah Suci selama 15 tahun, beliau juga seringkali membimbing jamaah haji Indonesia asal Banyumas, bekerjasama dengan Syekh Mathar Makkah. Aktivitas ini dilakukan dalam waktu yang relatif lama, jadi sebenarnya, masa 35 tahun itu tidaklah mutlak.

Dalam ilmu Al-Qur’an, khususnya ilmu Tafsir dan Ulumul Qur’an, beliau berguru kepada Sayyid Umar Syatha dan Sayyid Muhammad Syatha (putra penulis kitab I’anatuth Thalibin hasyiyah Fathul Mu’in).

Dalam ilmu hadis, beliau berguru kepada Sayyid Thoha bin Yahya Al-Magribi (ulama Hadhramaut yang tinggal di Makkah), Sayyid Alwi bin Shalih bin Aqil bin Yahya, Sayyid Muhsin Al-Musawwa, Syekh Muhammad Mahfudz bin Abdullah At-Tirmisi.

Dalam bidang ilmu syariah dan thariqah alawiyah beliau berguru pada Habib Ahmad Fad’aq, Habib Aththas Abu Bakar Al-Atthas, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya), Habib Abdullah bin Muhsin Al-Atthas (Bogor), KH. Soleh Darat (Semarang).

Sementara itu, guru-gurunya di Madinah adalah Sayyid Ahmad bin Muhammad Amin Ridhwan, Sayyid Abbas bin Muhammad Amin Raidwan, Sayyid Abbas Al-Maliki Al-Hasani (kakek Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani), Sayyid Ahmad An-Nahrawi Al-Makki, Sayyid Ali Ridha.

Setelah sekian tahun menimba ilmu di Tanah Suci, sekitar tahun 1327 H, Syekh Abdul Malik pulang ke kampung halaman untuk berkhidmat kepada keduaorang tuanya yang saat itu sudah sepuh (berusia lanjut).

Kemudian pada tahun 1333 H, sang ayah, Syekh Muhammad Ilyas berpulang ke Rahmatullah. Sesudah sang ayah wafat, Syekh Abdul Malik kemudian mengembara ke berbagai daerah di Pulau Jawa guna menambah wawasan dan pengetahuan dengan berjalan kaki. beliau pulang ke rumah tepat pada hari ke-100 dari hari wafat sang ayah, dan saat itu umur Syekh berusia tiga puluh tahun.

2.2 Guru-Guru
1. KH. Muhammad Ilyas,
2. KH. Abu Bakar bin H. Yahya,
3. Syekh Muhammad Mahfudz bin Abdullah At-Tirmisi Al-Jawi,
4. Sayyid Umar As-Syatha,
5. Sayyid Muhammad Syatha,
6. Sayyid Alwi Syihab bin Shalih bin Aqil bin Yahya,
7. KH. Muhammad Sholeh bin Umar Darat Semarang,
8. Sayyid Habib Ahmad Fad’aq,
9. Habib Atthas Abu Bakar Al-Atthas,
10. Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, Surabaya,
11. Sayyid Habib Abdullah bin Muhsin Al-Atthas, Bogor.
12. Sayyid Thoha bin Yahya Al-Magribi,
13. Sayyid Muhsin Al-Musawwa,
14. Sayyid Ahmad bin Muhammad Amin Ridhwan,
15. Sayyid Abbas bin Muhammad Amin Raidwan,
16. Sayyid Abbas Al-Maliki Al-Hasani,
17. Sayyid Ahmad An-Nahrawi Al-Makki,
18. Sayyid Ali Ridha,

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1 Menjadi Mursyid Thoriqoh

Sanad Thoriqoh Naqsabandiyah Kholidiyah diperolehnya secara langsung dari sang ayah, Syekh Muhammad Ilyas, sedangkan sanad Thoriqoh Sadzaliyah didapatkannya dari Sayyid Ahmad Nahrawi Al-Makki (Makkah).

3.2 Amalan Syekh Abdul Malik
Dalam hidupnya, Syekh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu membaca Al-Qur’an dan Shalawat. Beliau tak kurang membaca shalawat sebanyak 16.000 kali dalam setiap harinya dan sekali menghatamkan Al-Qur’an.

Adapun shalawat yang diamalkan adalah shalawat Nabi Khidir a.s atau lebih sering disebut shalawat rahmat, yakni “Shallallah ala Muhammad.” Dan itu adalah shalawat yang sering beliau ijazahkan kepada para tamu dan murid beliau. Adapun shalawat-shalawat yang lain, seperti shalawat Al-Fatih, Al-Anwar dan lain-lain.

3.3 Dekat dengan Habaib
Beliau disamping dikenal memiliki hubungan yang baik dengan para ulama besar umumnya, Syekh Abdul Malik mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ulama dan habaib yang dianggap oleh banyak orang telah mencapai derajat waliyullah, seperti Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bilfaqih (Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Probolinggo), KH. Hasan Mangli (Magelang), Habib Hamid bin Yahya (Sokaraja, Banyumas) dan lain-lain.

Diceritakan, saat Habib Soleh Tanggul pergi ke Pekalongan untuk menghadiri sebuah haul. Selesai acara haul, Habib Sholeh berkata kepada para jamaah, ”Apakah kalian tahu, siapakah gerangan orang yang akan datang kemari? Dia adalah salah seorang pembesar kaum ‘arifin di tanah Jawa.”

Tidak lama kemudian datanglah Syekh Abdul Malik dan jamaah pun terkejut melihatnya. Hal yang sama juga dikatakan oleh Habib Husein bin Hadi al-Hamid (Brani, Kraksaan, Probolinggo) bahwa ketika Syekh Abdul Malik berkunjung ke rumahnya bersama rombongan, Habib Husein berkata, ”Aku harus di pintu karena aku mau menyambut salah satu pembesar Wali Allah.”

3.4 Wakil Mufti di Makkah
Berkat keluasan dan kedalaman ilmunya, Syekh Abdul Malik pernah memperoleh dua anugrah yakni pernah diangkat menjadi Wakil Mufti Madzab Syafi’i di Makkah dan juga diberi kesempatan untuk mengajar.

Pemerintah Saudi sendiri sempat memberikan hadiah berupa sebuah rumah tinggal yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes. Anugrah yang sangat agung ini diberikan oleh Pemerintah Saudi hanya kepada para ulama yang telah memperoleh gelar Al-Allamah.

Syekh Ma’shum (Lasem, Rembang) setiap berkunjung ke Purwokerto, seringkali menyempatkan diri singgah di rumah Syekh Abdul Malik dan mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik secara tabarrukan (meminta barakah) kepada Syekh Abdul Malik. Demikian pula dengan Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), KH. Khalil (Sirampog, Brebes), KH. Anshori (Linggapura, Brebes), KH. Nuh (Pageraji, Banyumas) yang merupakan kyai-kyai yang hafal Al-Qur’an, mereka kerap sekali belajar ilmu Al-Qur’an kepada Syekh Abdul Malik.

3.5 Masa Penjajahan
Pada masa-masa sulit zaman penjajahan Belanda dan Jepang, Syekh Abdul Malik senantiasa gigih berdakwah. Karena aktivitasnya ini, maka beliau pun menjadi salah satu target penangkapan tentara-tentara kolonial.

Mereka sangat khawatir pada pengaruh dakwahnya yang mempengaruhi rakyat Indonesia untuk memberontak terhadap penjajah. Menghadapi situasi seperti ini, beliau justru meleburkan diri dalam laskar-laskar rakyat. Sebagaimana Pangeran Diponegoro, leluhurnya yang berbaur bersama rakyat untuk menentang penjajahan Belanda, maka beliau pun senantiasa menyuntikkan semangat perjuangan terhadap para gerilyawan di perbukitan Gunung Slamet.

Pada masa Gestapu, Syekh Abdul Malik juga sempat ditahan oleh PKI. Bersamanya, ditangkap pula Habib Hasyim Al-Quthban Yogyakarta, ketika sedang bepergian menuju Daerah Bumiayu, Brebes untuk memberikan ilmu kekebalan atau kesaktian kepada para laskar pemuda Islam. Dalam tahanan ini, Habib Hasyim Al-Quthban mengalami shock dan akhirnya meninggal, sedangkan Syekh Abdul Malik masih hidup dan akhirnya dibebaskan.

4. Teladan
Syekh Abdul Malik adalah pribadi yang sangat sederhana, santun dan ramah kepada siapa saja. Beliau juga gemar sekali melakukan silaturrahim kepada murid-muridnya, terutama kepada mereka yang miskin atau sedang mengalami kesulitan hidup. Santri-santri yang biasa dikunjunginya ini, selain mereka yang tinggal di Kedung Paruk maupun di desa-desa sekitarnya seperti Ledug, Pliken, Sokaraja, Dukuh Waluh, Bojong, juga sanri-santri lain yang tinggal di tempat jauh.

Hampir setiap hari Selasa pagi, dengan kendaraan sepeda, naik becak atau dokar, Syekh Abdul Malik mengunjungi murid-muridnya untuk membagi-bagikan beras, uang dan terkadang pakaian sambil mengingatkan kepada mereka untuk datang pada acara pengajian Selasanan (Forum silaturrahim para pengikut Thoriqoh An-Naqsyabandiyah Al-Khalidiyah Kedung paruk yang diadakan setiap hari Selasa dan diisi dengan pengajian dan tawajjuhan).

5. Pesan Syekh Abdul Malik
Salah seorang cucu Syekh Abdul Malik mengatakan, ada tiga pesan dan wasiat yang disampaikan beliau kepada cucu-cucunya. Pertama, jangan meninggalkan shalat. Tegakkan shalat sebagaimana telah dicontohkan Rasululah SAW. Lakukan shalat fardhu pada waktunya secara berjama’ah. Perbanyak shalat sunnah serta ajarkan kepada para generasi penerus sedini mungkin.

Kedua, jangan tinggalkan membaca Al-Qur’an. Baca dan pelajari setiap hari serta ajarkan sendiri sedini mungkin kepada anak-anak. Sebarkan Al-Qur’an di manapun berada. Jadikan sebagai pedoman hidup dan lantunkan dengan suara merdu. Hormati orang-orang yang hafal Al-Qur’an dan qari’-qari’ah serta muliakan tempat-tempat pelestariannya.

Ketiga, jangan tinggalkan membaca shalawat, baca dan amalkan setiap hari. Contoh dan teladani kehidupan Rasulullah SAW serta tegakkanlah sunnah-sunnahnya. Sebarkan bacaan shalawat Rasulullah, selamatkan dan sebarluaskan ajarannya.

6. Karya-Karya
Sebagaimana diungkapkan oleh murid beliau, yakni Habib Luthfi bin Yahya, Syekh Abdul Malik tidak pernah menulis satu karya pun. Karya-karya Al-Alamah Syekh Abdul Malik adalah karya-karya yang dapat berjalan, yakni murid-murid beliau, baik dari kalangan Kyai, ulama maupun shalihin.

Di antara warisan beliau yang sampai sekarang masih menjadi amalan yang dibaca bagi para pengikut thoriqoh adalah buku kumpulan shalawat yang beliau himpun sendiri, yaitu: Al-Miftah Al-Maqashid li-ahli At-Tauhid fi Ash-Shalah ‘ala babillah Al-Hamid Al-majid Sayyidina Muhammad Al-Fatih li-jami’i asy-Syada’id.” Shalawat ini diperolehnya di Madinah dari Sayyid Ahmad bin Muhammad Ridhwani al-Madani.

Konon, shalawat ini memiliki manfaat yang sangat banyak, diantaranya bila dibaca, maka pahalanya sama seperti membaca kitab Dala’ilu al-Khairat sebanyak seratus sepuluh kali, dapat digunakan untuk menolak bencana dan dijauhkan dari siksa neraka.

Selain menularkan ilmunya kepada santri-santrinya, yang kemudian menjadi ulama dan pemimpin umat, Syekh Abdul Malik juga memiliki santri-santri dari berbagai kalangan, seperti Haji Hambali Kudus, seorang pedagang yang dermawan dan tidak pernah rugi dalam aktivitas dagangnya dan Kiai Abdul Hadi Klaten, seorang penjudi yang kemudian bertaubat dan menjadi hamba Allah yang shaleh dan gemar beribadah.

7. Chart SIlsilah Sanad
Berikut ini chart silsilah sanad guru Syekh Abdul Malik Kedung Paruk Banyumas dapat dilihat DI SINIdan chart silsilah sanad murid beliau dapat dilihat DI SINI.

8. Referensi
Diolah dan dikembangkan dari data-data yang dimuat di situs: jatman.or.id


Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 01 April 2021, dan terakhir diedit tanggal 06 September 2022.

 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya