Biografi KH. Syarifuddin Lumajang

 
Biografi KH. Syarifuddin Lumajang

Daftar Isi Profil KH. Syarifuddin Lumajang

  1. Kelahiran
  2. Wafat
  3. Pendidikan
  4. Pengasuh Pesantren
  5. Sosok Pengajar
  6. Melawan Penjajah
  7. Pencinta Seni

Kelahiran

KH. Syarifuddin atau yang kerap disapa dengan panggilan Kiai Syarif lahir pada tahun 1890 di Desa Lawean, Kabupaten Probolinggo. Beliau merupakan putra dari pasangan Kiai Sekarsari dan Nyai Sekarsari.

Wafat

Di usianya yang senja, KH. Syarifuddin masih terus mendarmabaktikan ilmunya dengan mengajar dan  mengajar.

Akhirnya Allah memanggil Kiai Syarif  untuk kembali kepada Sang Pencipta. Sore itu (1972), ia masih mengajar kitab Fathul Qorib. Kamis malam ketika mau shalat tahajjud, Kiai Syarif terpeleset di kamar mandi, lalu tak sadarkan diri sampai akhirnya Ahad dini hari, ajal menjemputnya.

Kiai Syarif meninggalkan 4 orang putera. Mereka telah dikarunianya 14 anak. Dua diantaranya adalah KH Syuhada Syarif, pernah menjadi Ketua PCNU Kencong (almarhum). Dan KH. Adenan Syarif, pengasuh Pesantren Syarifuddin yang sampai saat ini berkembang cukup pesat.

Pendidikan

Sejak masih muda, KH. Syarifuddin menghabiskan pendidikannya dengan belajar pesantren, di antanya di Pesantren Zainul Hasan, Genggong, Probolinggo.

Setelah dewasa, Kiai Syarif –sapaan akrabnya--  diambil menantu oleh Kiai Somber di Dusun Selok Besuki, Desa Wonorejo, Lumajang untuk dinikahkan dengan putrinya, Khosyi’ah.  Di situlah Kiai Syarif bersama mertuanya merintis berdirinya Pesantren “Tahsinul Mubtadi’in” dengan santri awal hanya 3 orang.

Pengasuh Pesantren

KH. Syarifuddin adalah pengasuh Pondok Pesantren Tashilul Mubtadi’in di Desa Wonorejo, Kabupaten Lumajang. Namun setelah beliau wafat, para ahli waris Kiai Syarif mengubah nama Pesantren “Tashilul Mubtadi’in” menjadi Pesantren “KH. Syarifuddin”.

Sosok Pengajar

Kiai Syarif sangat mencintai ilmu sehingga nyaris semua waktunya tersita untuk mengajar. Baginya, mengajar sangat penting untuk memapah langkah masyarakat agar tidak keliru arah. “Selama saya masih punya akal, saya akan teus mengajar,” tekadnya.

Pernah suatu ketika, Kiai Syarif menegur santrinya yang kedapatan berpuasa tirakat. Bukan benci kepada tirakat, tapi ia ingin menunjukkan bahwa yang lebih penting dari tirakat adalah belajar, apalagi masih muda. “Jangan puasa macam-macam, kecuali yang fardlu. Yang penting ngajinya dulu,” ucapnya.

Melawan Penjajah

Selain ngopeni santri, Kiai Syarif juga mengobarkan semangat patriotisme melawan penjajah. Untuk menghadapi kemungkaran dan penjajah itu, Kiai Syarif membekali para pejuang dan santrinya dengan “ilmu kekebalan”.

Sebenarnya Kiai Syarif tidak suka masyarakat terjebak dengan ilmu kekebalan, tirakat atau hal-hal lain sejenisnya. Tapi karena sudah terpaksa, maka itupun dilakukan. Kepada anak-anaknya sendiri ia malah menganjurkan untuk tidak menggunakan kekebalan. “Kalau kamu cukup baca shalawat saja, akhlaknya yang baik, insyaallah selamat,” ujar Kiai Syarif seperti ditirukan cucunya, KH. Adnan Syarif.

Pencinta Seni

Di luar itu, Kiai Syarif juga pecinta seni islami. Ini dibuktikan dengan didirikannya kelompok Burdah di pesantren yang dikelolanya. Burdah adalah membaca puji-pujian dan pengagungan asma Allah yang diiringi dengan musik bedug. Ia juga pengagum berat Umi Kulsum, sang legenda gambus asal Mesir.  Saking begitu sukanya kepada Umi Kulsum, sampai-sampai ia mengimpikan keturunannya bisa belajar di Mesir. Dan ternyata kelak, impian itu jadi kenyataan. KH. Adnan Syairf, cucunya belajar di sana selama beberapa tahun.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya