Kenapa JAD Sedemikian Ngawurnya?

 
Kenapa JAD Sedemikian Ngawurnya?
Sumber Gambar: Foto Ist

LADUNI.ID, Jakarta, Polri melansir pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, sepasang suami-isteri, terafiliasi dengan JAD (Jamâ’ah Anshârut Daulah). Organisasi ini didirikan oleh Aman Abdurrahman pada 2014. Dia alumni LIPIA, Jakarta. Dia pengagum Abu Muhammad Ashim al-Maqdisi, penulis kitab Al-Kawâsyif al-Jaliyah fi Kufr al-Dawlah al-Sa’ûdiyah.

Kerajaan Arab Saudi, menurut Al-Maqdisi, adalah negeri kafir dan brengsek (al-dawlah al-khabîtsah) karena mencampuradukkan hukum Allah dengan hukum buatan manusia. Dia juga menyatakan Masjidil Haram diimami para imam kafir. Kontan, pernyataan ini membuat geram para tokoh dan pemuka salafi yang induknya Arab Saudi. 

Aman mengagumi sikap radikal dan tanpa tedeng aling-aling Al-Maqdisi. Dia banyak menerjemahkan buku-buku ideolog ISIS ini. Pada 22 Juni 2018, PN Jaksel menyatakan Aman terbukti mengotaksi sejumlah aksi teror dan menjatuhkan hukuman mati. Pasca Aman, kepemimpinan JAD diteruskan Zainal Anshori alias Abu Fahry. Tapi, dia juga ditangkap pada Maret 2017 dan divonis 7 tahun kurungan.

Di tangan siapa tongkat komando JAD sekarang? Para pengamat bingung. JAD mewakili gerakan teror gelombang ketiga. Cirinya: spartan, militan, bonek, dan nyaris tanpa komando. Komando mereka ideologi: mereka tengah menghadapi thagut dan para pembela thaghut. Thaghut adalah sistem yang tidak kaffah mengadopsi nizam Islam. NKRI berdasarkan Pancasila adalah thaghut. Penyelenggaranya: eksekutif, legislatif, dan yudikatif adalah lembaga-lembaga thaghut. Pembela-pembelanya: Polri, TNI, pengadilan, dan ormas-ormas pro NKRI adalah Ansharut Thaghut

Apa beda teroris gelombang kedua dan ketiga? Dua-duanya sama-sama salafi-jihadi. Bedanya, teroris gelombang kedua lebih terlatih dan terpimpin. Ilmu agamanya juga lebih matang. Banyak di antara mereka alim, menguasai ilmu-ilmu agama karena digembleng di Afghanistan. Mereka tidak hanya dilatih tadrib askari (diklat militer), tetapi juga diajari ilmu tauhid, tafsir, hadis, dan fikih jihad. Banyak di antara mereka meyakini tidak boleh merusak tempat ibadah. Mereka juga pantang melibatkan wanita dan anak-anak.

Sementara teroris gelombang ketiga mayoritas awam ilmu agama. Skil militer mereka juga terbatas. Amaliah bisa dilakukan seadanya dan semampunya. 

Mari kita bandingkan produk amaliah generasi kedua dan ketiga.

Generasi kedua: Bom Bali I (2002), bom JW Marriot, Jakarta (2003), bom Kedubes Australia, Jakarta (2004), bom Bali II (2005), dan bom JW Marriot dan Ritz Carlton, Jakarta (2009). Korbannya kolosal, menimbulkan trauma yang mendalam. 

Generasi ketiga: bom Jl. MH Thamrin (2016), bom Mapolresta Surakarta (2016), Bom Molotov Samarinda (2016), bom Kampung Melayu (2017), bom Bandung (2017), kerusuhan Mako Brimob (2018), bom Gereja Surabaya (2018), bom Mapolrestabes Medan, penusukan Menkopolhukam Wiranto (2019), dan bom Gereja Katedral, Makassar (2021). Ini rata-rata bom bunuh diri. Korbannya mereka sendiri. Betul-betul amatiran. Sebagian melibatkan pasangan suami-isteri yang frustrasi. Tentu saja tanpa skil militer yang memadai. Bahasa arek Suroboyo-nya: bonek. Modalnya semangat. Pokoknya jihad. Ibarat kata, tak ada rotan akar pun jadi. Tidak ada bom, bisa dengan kelewang, ketapel, atau belati. Tidak ada granat, bisa dengan bom panci. Mereka sering diolok-olok oleh seniornya teroris gelombang kedua. Kalau di-bloko-suto-kan, kira-kira begini: pekok, ngawur, tidak terukur! Tapi daya tular mereka cepat sekali, seperti virus korona. Ibarat hilang satu, tumbuh seribu. Dicokok aparat di sini, bertunas di sana. Alhasil, kita masih akan menghadapi sel-sel JAD entah sampai kapan. Wallahu a’lam.(*)

***

Penulis: M. Kholid Syeirazi, Sekjen PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU).