Malpraktek di Bidang Agama

 
Malpraktek di Bidang Agama
Sumber Gambar: foto (ist)

Laduni.ID Jakarta - Seorang anak muda, baru lulus SMA, bercerita kepada saya bahwa ia bersama teman-temannya sedang belajar agama selama beberapa bulan kepada beberapa "ustadz" yang tempat kajiannya berpindah-pindah, atau sembunyi-sembunyi.

Materi kajiannya cukup banyak, dimulai dari uraian tentang dua kalimat syahadat, sejarah nabi (al-sirah al-nabawiyyah), hingga jihad. Setiap mereka yang ikut kajian itu berkewajiban untuk merekrut temannya agar juga ikut kajian dengan bimbingan "ustadz" yang sesuai kelasnya. Ia mengaku telah dibaiat agar lebih taat kepada ulil amri, tidak perlu menaati orang tua yang menentangnya, dan apalagi kepada jajaran pemerintah RI, mereka menganggapnya sebagai musuh.

Baca Juga: Amalan dan Keistimewaan Hari Jum’at yang Perlu diketahui

Saya yang penasaran bertanya, siapa yang dimaksud dengan ulil amri? Ia menjawab, ya para ustadz saya itu. Mendengar jawaban begitu saya tersenyum saja menahan rasa geli, tidak tahan untuk tidak segera mengajukan pertanyaan.

Saya pun bertanya lagi, mengapa kajian agamanya harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya? Ia menjawab, karena menurut "ustadz" bahwa dahulu Nabi Muhammad saw. pun berdakwah dengan cara sembunyi-sembunyi. Mendengar jawaban begitu saya mengomentari, bahwa Nabi itu dulu pernah berdakwah tidak secara terang-terangan adalah awal untuk mengenalkan Islam. Sejak saat itu setelah berabad-abad hingga kini Islam sudah terkenal dan banyak penganutnya, sehingga untuk belajar agama seperti di Indonesia ini tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi seperti orang ketakutan. Pemuda itu diam membenarkan dan tidak mampu membantah.

Lalu saya bertanya lagi, mengapa juga diajarkan agar bersikap anti kepada pemerintah? Anak muda itu menjawab, karena pemerintah membuat hukum sendiri dan mematuhi hukum buatan manusia dan tidak berhukum kepada hukum Allah, yaitu al-Qur'an dan Hadits. Kemudian saya mencecarnya dengan beberapa pertanyaan agar anak muda itu berpikir dan segera sadar, apakah para "ustadz"mu sebagai manusia tidak membuat-buat aturan sendiri dalam kajian agar membawa al-Qur'an dan terjemahnya cetakan Departemen Agama? Apakah "ustadz"mu itu punya motor tapi tidak punya SIM? Apakah "ustadz"mu itu jika berkendara di jalan raya suka melanggar aturan lalu lintas dan lampu merah? Apakah para "ustadz"mu itu tidak pernah menaati peraturan di sekolah dan kampus yang dipenuhi aturan yang juga buatan manusia? Anak muda itu semakin terdiam tak mampu menjawab sepatah kata pun semua cecaran pertanyaan saya yang memang tidak perlu ia dijawab.

Kepada anak muda itu juga telah mendapatkan materi tentang "jihad" dalam arti perang. Lalu kepadanya saya berikan penjelasan yang panjang lebar tentang makna jihad yang tepat dan sesuai untuk konteks ke-Indonesia-an saat ini. Bagian inilah yang saya kuatirkan amat meracuni pikiran para pemuda yang baru belajar agama kepada "ustadz" yang sedang dimabuk agama itu, di mana semangat beragamanya membara, namun akalnya belum mampu mencerna tentang tujuan menganut agama. Sehingga di tangan mereka agama hanyalah alat untuk memuaskan hawa nafsu, menjadi masalah kemanusiaan, dan bukan sebagai petunjuk untuk menyelesaikan masalah-masalah kehidupan yang datang silih berganti.

Baca Juga: Perilaku Keagamaan Warga Nahdlatul Ulama

Saya bersyukur dengan sebab perjumpaan yang amat singkat itu, anak muda itu kini telah berikrar dan bertekad untuk berhenti belajar agama kepada "ustadz" yang berdakwah secara nomaden, sembunyi-sembunyi, dan mengajarkan kebencian kepada orang tua, kepada orang kafir dan memprovokasi untuk melawan kepada pemerintah yang sah.

Kepada setiap orang tua hendaklah mengawasi kegiatan putera-puterinya, terutama kepada siapa mereka belajar agama dan apa saja yang diajarkan oleh ustadz (guru agama) mereka. Dan tentu saja kepada pihak berwenang agar bekerja sama untuk mengawasi, mengingatkan dan bila perlu menindak tegas "mal praktek" di bidang agama seperti yang saya ceritakan di atas.

Oleh: Ahmad Ishomuddin Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung