Jembatan Petekan Surabaya, Kontruksi Belanda Cek Asal Usulnya

 
Jembatan Petekan Surabaya, Kontruksi Belanda Cek Asal Usulnya
Sumber Gambar: Foto (ist)

Laduni.ID Jakarta – Surabaya jaman dahulu mirip Belanda, memanfaatkan kanal buat kehidupan sehari hari. Salah satunya adalah perdagangan

Tempo dulu, kapal dagang berukuran besar hanya bisa berlabuh di selat Madura. Namun  untuk bongkar muat barang digunakanlah kapal tongkang atau kapal sekunar.

Baca Juga: ITS Juara Umum Kompetisi Jembatan Indonesia di Makassar

Setelah itu, kapal kapal kecil itu menyusuri sungai Kalimas, hingga mencapai pelabuhan utama yang tempo dulu merupakan pelabuhan tua Surabaya. Lokasi itu merupakan jantung kota ini.

Waktu itu jantung kota Surabaya bernama Heerenstraat yang sekarang dikenal sebagai jalan Rajawalidan kembang Jepun. Diantara kedua jalan ini ada jembatan yang membentang yang disebut sebagai jembatan Roode Brug atau jembatan Merah. Dulu pelabuhan Tanjung Perak belum ada. Kalaupun ada ya ecek ecek di jembatan Merah itu.

Daerah sepanjang Kalimas dibagi menjadi Dua, Westarkade Kalimas dan Oosterkade Kalimas. Karena sulit pengucapan, arek Surabaya lebih memilih Kulon Kali dan Wetan Kali.

Wetan Kali merupakan daerah perdagangan, mulai dari kembang Djepoen, Kapasan, Pegirian dsb. Sedangkan Kulon kali daerah di Heerenstraat, Kalisosok, dan sekitar Wester Buitenweg (sekarang kawasan perak barat).

Baca Juga: Akhirnya Surabaya Meraih Juara Kategori Special Mention Penghargaan Lee Kwan Yew

Jembatan itu tidak efisien, karena warga dua area bias memutar jauh, contohnya wilayah Pegirian mau menyebrabng ke kulon kali, maka harus putar dulu ke selatan. Maka tidak efisien.

Maka dibuatlah jembatan tandingan. Jembatan itu haruslah fleksibel bisa dibongkar pasang. Di Amsterdam, insinyur Belanda sudah biasa membuat ophaalbrug atau jembatan yang bisa terangkat.

Di Surabaya, sudah ada kontraktor yang mampu membuat jembatan angkat seperti itu, namanya Braat dan Co (170 tahun kemudian nama perusahaan ini berubah menjadi PT Barata Metalworks dan Engineering, pabriknya di Ngagel).

Sejak ophaalbrug itu dibangun, maka arus perdagangan kedua wilayah lancer. Malah loji loji, rumah Bandar dan kantor dagang tumbuh menjamur di Wetan dan Kulon kali.

Lama kelamaan, kawasan ini pun menjadi semakin macet karena jembatan akan terangkat setiap ada kapal yang lewat. Bunyinya kloneng…kloneng… atau sirine yang memekakan telinga, grong…. Grong…

Baca Juga: Launching Gerakan Sadar Wakaf di Masjid Al Akbar Surabaya

Karena lidah jawa sudah susah menyebut kata Ophaalbrug, maka warga lebih pilih menyebut “petekan” yang artinya “ditekan” sehingga jembatan bisa terangkat. Jalan di sekitar jembatan pun juga diberikan nama Petekan agar mempermudah penyebutan.