NU dan Pancasila (Kebangsaan)

 
NU dan Pancasila (Kebangsaan)
Sumber Gambar: Pancasila (foto istimewa)

Laduni.ID Jakarta - Indonesia bukan negara agama, tapi negara dengan dasar Pancasila. Muktamar NU 1936 di Banjarmasin telah memutuskan bahwa tanah nusantara adalah Darul Islam, tempat yang aman bagi umat Islam dalam menjalankan syariat Islam.  

Kala itu, sebagian wilayah Nusantara masih dijajah oleh Belanda. Pada tahun 1945, NU meyetujui NKRI berdasarkan Pancasila, bukan berdasar Islam, dan NU mengeluarkan Resolusi Jihad untuk perjuangan mempertahankan NKRI.  

Tidak perlu ada lagi perjuangan umat Islam untuk negara selain negara berdasarkan Pancasila. Tahun 54, NU mengakui bhw kepemimpinan Sukarno adalah sah dengan gelar Waliyyu al-amri ad-dhoruri bi asy-syaukah, pemimpin darurat dengan kekuasaan yang efektif.

Dianggap darurat, karena ketika itu belum ada pandangan modern dalam khazanah Islam soal pemimpin dalam konteks negara bangsa. Tahun 83-84, Munas dan Muktamar 27 di Situbondo, NU menegaskan bahwa NKRI sudah final: semua warga negara menjadi setara. 

Tidak boleh ada diskriminasi atas dasar agama di Indonesia. Semua orang memilik hak dan kewajiban yang sama dalam NKRI. Pada Munas Alim Ulama dan Konbes Nahdlatul Ulama 2019 di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Citangkolo Kujangsari, Langensari, Kota Banjar, Jawa Barat, NU mengeluarkan keputusan menghapus label kafir (delabelisasi) terhadap orang-orang non-muslim. 

Keputusan ini kemudian digoreng sedemikian rupa oleh sebagian orang, hingga dikesankan NU mengubah kata kafir dalam Al-Quran. Padahal, delabelisasi itu dimaksudkan sebagai etika sosial dalam pergaulan warga negara dalam NKRI.  Tidak ada label kafir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semua berstatus sama: warga negara. Istilah kafir tetap ada dalam lingkup teologi-internal. Tidak mungkin bisa dihapus. 

Tapi, yang bersifat internal itu tidak pelu ditenteng keluar dalam interaksi antar anak bangsa. Inilah kontinyuitas pemikiran soal "Islam dan Pancasila (Kebangsaan)" dalam NU. 


Oleh : Taufik Damas, Alumnus Al-Azhar, Kairo Mesir. (Dilansir dari utasan @TaufikDamas yang diposting pada Selasa, 1 Juni 2021)