Kelalaian Tanpa Dzikir

 
Kelalaian Tanpa Dzikir
Sumber Gambar: Foto (ist)

Laduni.ID Jakarta – Lalai dari dzikir akan membuat syetan mudah mendekat dan menggoda manusia. Sifat syetan ada dua: memberi godaan ketika manusia lalai dari dzikir, lalu bersembunyi ketika manusia rajin berdzikir.

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma (619 M, Mekkah - 687 M, Masjid Tha'if, Arab Saudi) berkata:

الشَّيْطَانُ جَاثَمَ عَلَى قَلْبِ اِبْنِ آدَمَ فَإِذَا سَهَا وَغَفَلَ وَسْوَسَ فَإِذَا ذَكَرَ اللهَ تَعَالَى خَنَّسَ

“Setan itu mendekam pada hati manusia. Jika ia luput dan lalai, setan menggodanya. Jika manusia mengingat Allah, setan akan bersembunyi.” (HR. Imam Ibnu Abi Syaibah rahimahullah wafat 2 Agustus 849 M, Kufah, Irak dalam Al-Mushannaf 13: 469-470 dan Ak-Imam Al-Hafidz Dhiyauddin Muhammad bin Abdul Wahid al-Maqdisi Al-Hambali atau Imam Adh-Dhiya’ rahimahullah wafat 1245 M di Damaskus dalam kitab Al-Mukhtar 10: 367 dgn sanad yang shahih)

Baca Juga: Penjelasan tentang Mengubah Bacaan pada Maulid atau Dzikir

Tajuddin Abul Fadhl Ahmad ibnu Muhammad ibnu 'Abdul Karim ibnu Atha 'illah al-Iskandari al-Syadzili Al-Maliki, Ulama kenamaan yg masyhur dgn nama Ibnu Athaillah rahimahullah (1260 - 1309 M Kairo, Mesir), membuat uraian tentang dzikir dalam kitabnya yang masyhur Al Hikam:

"Jangan tinggalkan dzikir karena kelalaian hatimu yang tidak bersama Allah karena kelalaian tanpa dzikir lebih buruk daripada kelalaian dengan dzikir. Bisa jadi Allah mengangkatmu dari dzikir dengan kelalaian ke zikir dengan hati terjaga, dari dzikir dalam hati terjaga ke dzikir dengan hati waspada, dari dzikir dengan hati waspada ke dzikir fana. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman, 'Dan yang demikian itu bagi Allah tidak sulit."

Ibnu Athaillah rahimahullah sangat menganjurkan setiap Mukmin berdzikir, meskipun dalam keadaan hati lalai. Karena bagi Ibnu Athaillah, dzikir adalah jalan bagi mereka yang ingin dekat dgn Tuhannya.

Berdzikir pada saat orang-orang pada lalai tidak hanya merupakan ajang pendekatan kita pada sang pencipta, melainkan juga memeliki kedahsayatan yang luar biasa. Sebagaimana tercatat dalam kitab Jami’ul Ulum wal Hikam karya al Hafidz Zainuddin Abul Faraj Abdurahman ibn Syihabyddin Ahmad ibn Rajab ibn Abdurrahman ibn Hasan ibn Muhammad ibn Abil Barakat Mas’ud  al Baghdadiy al Dimasyqiy al Hanbaliy atau Imam Ibnu Rajab rahimahullah (4 November 1335 M, Bagdad, Irak - 14 Juli 1393 M Damaskus, Suriah) :

والتقى رجلان منهم في السوق فقال احدهما لصاحبه تعال حتى نذكر الله في غقلة الناس فخلوا في موضع فذاكر الله ثم تفرقا ثم مات أحدهما فلقيه الأخر في منامه فقال له أشعرت أن الله غفر لناعشية التفينا في السوق؟

Dua orang bertemu di pasar. “Mari kita berdzikir mengingat Allah di saat manusia sedang lalai” ajak seseorang pada yang lain. Setelah berpisah salah satunya meninggal. Lewat mimpi, ia mendengar almarhum berkata, “ingatkah kau sore itu kala kita berdzikir di pasar, Allah ampuni dosa kita”

Baca Juga: Dzikir dan SHolawat Hijrah Fi Sabilillah

Ampunan Allah subhanahu wa ta'ala sengaja dihadiahkan kepada orang yang berdzikir kepada-Nya saat orang lain pada lalai. Terlihatnya memang tidak mudah untuk mengawali kebiasaan baik seperti itu, namun jika ada keinginan dan niat yang kuat insya Allah kita akan dibisakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala untuk berdzikir kepada-Nya, di kala orang-orang  pada lalai.

Seperti contoh dalam kondisi keramaian, saat terjebak macet atau sekedar jalan di mall, alangkah lebih indahnya jika mulut disibukkan dengan dzikir daripada mulut terus mengomentari hal-hal yang tak sedap di depan mata.

Sebagian ulama bahkan menyebut dzikir sebagai jalan penyatu antara hamba dengan Sang Khalik. Syekh Burhanuddin As Syadzili Al Hanafi rahimahullah dalam kitab Ihkamul Hikam fi Syarhil Hikam menyebut dzikir dengan lafal apapun, dapat membuka pintu langit.

Oleh karena itu, Teladan kita Baginda Sayyidina Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dulu senantiasa berdzikir kepada Allah dalam segala kondisi, situasi dan keadaan.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

Dari Aisyah Radhiyallahu Anha (wafat 13 Juli 678 M di Jannatul Baqi' Madinah) dia berkata, “Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berdzikir kepada Allah dalam semua keadaannya.” (HR. Imam Muslim rahimahullah, wafat 5 Mei 875 M, Naisabur, Iran).

Abul Khattab Qatadah bin Da’amah as-Sadusi rahimahullah (735 - 736 M di Basrah) mengatakan, “Inilah keadaanmu wahai manusia. Ingatlah Allah ketika berdiri. Jika tidak mampu, ingatlah Allah ketika duduk. Jika tidak mampu, ingatlah Allah ketika berbaring. Inilah keringanan dan kemudahan dari Allah.”

Baca Juga: Ustadz Ma'ruf Khozin : Dzikir "Allah Allah"

Maka, berdzikir itu tidak hanya dianjurkan ketika selesai menunaikan ibadah shalat saja. Tetapi juga, dianjurkan ketika banyak hati lalai dan orang di sekitar lalai. Jika kita sanggup berdzikir saat orang lain lalai, maka Allah subhanahu wa ta'ala mempersiapkan ampunan yg amat istimewa. Yang demikian merupakan satu hal yang baik dalam mengefektifkan waktu yg ada. Selain berpahala dan mendapatkan ampunan, lambat lain hati yang kadang lalai kian menjadi hati yang terjaga.
---------
Oleh: Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi Khodim Jama'ah Sarinyala Kabupaten Gresik
Editor: Nasirudin Latif