Hukum Mengkijing Kuburan dan Menancapkan Batu Nisan (bagian 1)

 
Hukum Mengkijing Kuburan dan Menancapkan Batu Nisan (bagian 1)
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Setiap yang bernyawa, pastilah akan merasakan fase di mana ketika arwah meninggalkan jasadnya, "Kematian" yaps itulah namanya. Cara Islam memuliakan manusia yang telah wafat (mayit) adalah dengan cara memerintahkan sebagian dari saudaranya yang masih hidup untuk merawat jenazah, serta menguburkannya.

Namun, sebagian orang dikarenakan rasa cintanya kepada mayit, atau rasa takdzim-nya, ia tetap memuliakan mayit dengan cara memperlakukan mayit bak orang yang masih hidup. Termasuk salah satunya, dengan cara membuat tempat teduh di atas kuburnya, atau yang biasa disebut dengan Kijing.

Lantas, Apa hukum dari pemasangan kijing di atas kuburan menurut kacamata syari'at? Juga, apa hukum dari penancapan batu nisan di atas kubur?

Hukum memasang kijing (bangunan) di atas kubur.

Sebelum kita masuk ke inti dari jawaban, eloknya kita memahami terlebih dahulu, "Apa maksud dari kijing itu sendiri?"

Dalam KBBI, kijing ialah "Sejenis batu-bata atau semen penutup makam yang menyatu dengan nisannya. Umumnya menyisakan bagian tengah (tanah) kubur. Fungsinya terhadap kubur sama seperti fungsi pigura membingkai foto."

Maka, hukum memasang 'kijing' ini, Ulama memperinci terlebih dahulu:

Pertama, jika kubur tersebut adalah kubur dari Para Nabi, Syuhada' (Mati Syahid), dan Orang-orang Shalih, maka hukum mengkijing ataupun membuat bangunan di atas pusara mereka adalah "Boleh". Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Imam Barmawi, Imam Bujairimy, Imam Halaby dan Imam Rahmani:

نعم استثنى بعضهم قبور الأنبياء والشهداء والصالحين ونحوهم برماوي وعبارة الرحماني:نعم قبور الصالحين يجوز بناؤها ولو بقبة الأحياء للزيارة والتبرك،قال الحلبي: ولو في مسبلة وأفتى به

"(Dikecualikan dari larangan pengkijingan makam) Jika makam tersebut ialah makam dari: Para Nabi, Syuhada', atau orang-orang sholih, maka diperbolehkan dengan tujuan sebagai pembelajaran dan motivasi kepada umat akan kemuliaan mereka, hingga dapat menteladaninya, menziarahinya, dan bertabarruk dengannya." (Hsy. Bujairimi, 2/297)

Jika Allah SWT saja menyelamatkan tubuh Fir'aun (makhluk celaka yang mencap dirinya sebagai tuhan) supaya hambaNya mengambil pelajaran darinya, hingga merasa takut untuk berbuat sepertinya. Dalam firman-Nya:

فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً ۚ

"Maka pada hari ini, kami selamatkan badanmu (Fir'aun) supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu." (QS. Yunus: 92)

Maka terlebih utama makam-makam para Nabi dan orang solih, yang dengan keberadaanya umat Islam lebih termotivasi lagi untuk meneladani sirah, manaqib serta gaya hidup mereka.

Sungguh, apa yang dilakukan beberapa sekte-radikal islam, berupa pemboman atau penghancuran makam ulama maupun orang-orang sholih di beberapa negara, merupakan suatu tindakan yang tidak bijaksana, dengan tanpa memperhatikan alasan didirikannya bangunan tersebut yaitu pembelajaran.

Atau mungkin, mereka punya tujuan lain, sepert "menjauhkan umat islam dari sosok-sosok yang layak tuk diteladani, hingga mereka mengambil teladan dari orang yang salah?" Yang denganlah cara ini, mereka berhasil membuat umat islam semakin terpuruk.

Kedua, jika kubur tersebut bukan dari kubur golongan yang telah disebut (kubur para Nabi ataupun Solihin). Ulama membagi hukumnya menjadi 2 bagian:

  1. Jika kuburan terletak di petak tanah yang dimiliki oleh mayit ataupun ahli warisnya

Maka hukumnya ialah "Makruh", dikarenakan adanya hadits yang melarang untuk membangun sesuatu di atas kubur. Rasulullah saw bersabda:

نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يجصص القبر، وأن يقعد عليه، وأن يبنى عليه

"Sungguh Rasulullah saw. telah melarang untuk memplester kubur (dengan semen atau selainnya), Duduk di atas kubur dan mendirikan bangunan di atasnya." (HR. Muslim, no: 970, dari: Sy. Jabir bin Abdullah)

Berdasar dengan hadits ini, Al-Imam Syarwani menyatakan:

ويكره البناء على القبر في حريم القبر وهو ما قرب منه جدا وخارج الحريم هذا في غير المسبلة

"Dimakruhkan membangun sesuatu di atas kubur, baik di atas kubur secara langsung atau di dekatnya. (Hal ini semua) Jika kubur bukan berada di pemakaman umum." (Hsy. Syarwani, 3/189)

Senada dengan ucapan Al-Imam Syarwaniy, perkataan dari Al-Imam Yahya bin Abu Al-Khoir Al-Imraniy:

وإن كان في ملكه جاز له أن يبني ما شاء؛ لأنه لا يضيق على غيره

"Jika kubur tersebut berada dalam kepemilikan mayit, maka diperbolehkan (untuk mengkijingnya) sesuai dengan kemauannya. Karena tidak unsur menganggu kemaslahatan orang lain." (Al-Bayan, 3/110)

Adapun alasan ulama tidak mengharamkan hal ini (mengkijing makam), dengan dalil hadits ini (larangan Rasulullah saw) dikarenakan hak kepemilikan mayit atau ahli warisnya atas petak tanah kuburan tersebut, serta tak adanya unsur menganggu (Dhoror) hak orang lain.

Karena Qoidah Fiqh menjelaskan:

لا يمنع تصرف الملاك في ملكه على العادة.

"Pemakaian hak milik oleh pemilik dibolehkan (tidak terlarang), selama pemakaian tersebut dikatakan wajar." (Zad Al-Labib, hal: 198)

Maka yang lebih utama, agar tidak mengkijing makam ataupun membuat tempat teduh di atasnya, meskipun tanah tersebut dalam lingkup kepemilikannya.

أن عمر - رضي الله عنه - رأى قبة فنحاها وقال دعوه يظله عمله

"Dikisahkan, bahwa suatu ketika Sayyidina Umar bin Khottob melihat kubah (tempat teduh di atas kubur), lantas beliau singkirkan tempat teduh itu, seraya berkata, "Biarkanlah amal kebaikannya yang akan menaunginya." (Ditukil dari kitab: Hsy. Syarwani, 3/197)

  1. Jika kuburan terletak di pemakaman umum

Tidak diperbolehkan, jika tidak ada keperluan atau udzur (alasan yang dibenarkan syari'at) untuk mengkijing makam, semisal kawasan makam yang rawan banjir, atau dikhawatirkan makam itu digali (jika tanpa dikijing) orang lain, sebelum lapuknya mayit.

Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Imam Syams Ad-Diin Romli dalam tuturnya:

ويستثنى من ذلك ما إذا خشي نبشه فيجوز بناؤه وتجصيصه

"(Dikecualikan dari larangan untuk mengkijing makam) jika dikhawatirkan makam tersebut digali oleh orang lain (sebelum lapuknya mayit) bila tak dikijing." (Nihayat Al-Muhtaj, 3/34)

Al-Imam Ali Syibromilisy, mengomentari pendapat dari Al-Imam Syams ad-Diin Romly, dalam tuturnya:

ينبغي ولو في المسبلة...... إلى أن قال..... ومن البناء ما جرت به العادة من وضع الأحجار المسماة بالتركيبة ثم رأيت حج صرح بحرمة ذلك، وينبغي أن محل الحرمة حيث لم يقصد صونه عن النبش ليدفن غيره قبل بلاه

"(Pendapat Imam Romli tentang dibolehkannya mengkijing kuburan dengan alasan khawatir akan hal tersebut) meskipun kuburan yang ada di pemakaman umum."

Kemudian beliau melanjutkan, "Adapun kebiasaan orang menaruh bebatuan di sekitar kubur yang diiistilahkan dengan 'Tarkiybah (Kijing)' dengan alasan tersebut (khawatir akan digalinya makam oleh orang lain, bila tidak dikijing), maka selayaknya untuk tidak diharamkan." (Hsy. Ali Syibromilisy, 3/34-35)

Adapun jika pemasangan kijing atas kubur tak didasari dengan alasan (udzur) yang telah disebutkan, maka hukumnya, 'Haram'.

Alasannya adalah pembatasan atau perampasan hak milik bersama atas tanah pemakaman. Bila kita tarik secara logika, jika seluruh kuburan yang ada di muka bumi ini dikijing, berapa banyak lahan yang harus disiapkan untuk tanah pemakaman?

قال الشافعي - رحمه الله -: (ورأيت من الولاة من يهدم بمكة ما بني بها، ولم أر من الفقهاء من يعيب عليه ذلك) .

Al-Imam Asy-Syafi'i berkata, "Aku telah melihat beberapa makam pejabat (yang dikijing dan berada di pemakaman umum) dibongkar di Mekkah. Dan tak ku kektahui satupun dari para ulama dan pakar fiqh yang mengingkari hal tersebut (pembongkaran makam)." (ditukil dari kitab: Al-Bayan, 3/110)

 Al-Imam Ali Syibromilisy, menambahkan:

فإن كان بناء نفس القبر بغير حاجة بمسبلة أو موقوفة حرم وهدم وجوبا لأنه يتأبد بعد انمحاق الميت ففيه تضييق على المسلمين  بما لا غرض فيه (أه بالتصرف اليسير)

"Jika bangunan (kijing) di atas kubur tersebut dibuat dengan tanpa alasan (udzur) yang dibenarkan syariat, sedang kubur tersebut terletak di pemakaman umum atau tanah wakaf, maka perbuatan tersebut Haram dan wajib (bagi pihak berwenang) untuk membongkar kijing tersebut, jika dianggap hal tersebut mempersempit lahan pemakaman." (Hsy. Ali Syibromilisy, 3/36-38)

Maka kerendahan hati dari Ahli waris, sangatlah diperlukan dalam masalah ini. Karena memang kenyataan berkata bahwa tanah pemakaman bukanlah miliknya, tapi milik umum.

Maka dengan berat hati, petugas berwenang untuk membongkar kijing tersebut, jika dinilai tak ada lahan lagi untuk mayat setelahnya yang hendak dikuburkan.

Kesimpulan:

Maka seyogiyanya bagi setiap ahli waris, jika merasa tanah pemakaman tersebut bukanlah miliknya sendiri, agar tidak mengkijing makam dari orang tua atau familinya. Memuliakan orang tua setelah mereka wafat, bisa dilakukan dengan banyak cara. Yang dibutuhkan mereka para mayit hanyalah lantunan doa, istighfar dan amalan baik lainnya yang dihadiahkan kepadanya.

Adapun memperindah kubur mereka bukanlah termasuk kebutuhan para mayit. Allah Maha Mampu untuk menyampaikan ampunan hamba kepada arwah keluarganya yang telah wafat, meskipun mereka telah menjadi tulang belulang sekalipun.

Mengenai hukum dari menancapkan batu nisan di atas kubur, Insha Allah akan kami lanjutkan di Artikel berikutnya.

Wallahu A'lam bis Showab.

Mukalla, 27 juni 2021

Oleh: Sibt Umar (Pelajar tingkat 5, Fak. Syari'ah, Univ. Imam Syafii, Mukalla – Hadramaut, Yaman)


Editor: Daniel Simatupang