Hikmah di Balik Lahirnya Sang Rasul dalam Keadaan Yatim

 
Hikmah di Balik Lahirnya Sang Rasul dalam Keadaan Yatim
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Hiruk-pikuk pembeli membanjiri pasar Syam kala itu, Sayyidina Abdullah beserta kafilah dagang lain yang datang dari Jazirah Arab pun tak mau melewatkan kesempatan ini dengan menawarkan barang dagangnya berupa kurma dan lain-lain, setidaknya bisa meraup pecahan dinar untuk istrinya, Sayyidah Aminah yang sedang mengandung dua bulan.

Merasa cukup atas hasil yang didapatkan, Sayyidina Abdullah beserta kafilahnya pun memutuskan untuk kembali ke Makkah dengan membawa beberapa pecahan dinar.

Sesampainya mereka di kota Madinah, Sayyidina Abdullah mengeluh atas sakit yang dideritanya. Beliau memutuskan untuk singgah ke rumah kerabat dari ayahnya di Madinah agar bisa beristirahat serta menjalani perawatan atas penyakitnya.

Sebulan bermukim di Madinah, hingga ajal pun menjemputnya dalam usia yang dikatakan masih muda, 25 tahun, serta dimakamkan di perkampungan Adiy bin Najjar yang ada di sana.

Sayyid Abdullah adalah ayah Baginda Nabi Muhammad SAW. Sejak dalam kandungan, ayahnya itu telah meninggal dunia. Dengan demikian, Baginda Nabi Muhammad SAW adalah seorang yatim sejak belum lahir.

Tapi di balik takdir ini pasti ada hikmah yang terkandung. Memang Allah SWT menetapkan takdir bahwa Nabi Muhammad SAW terlahir dalam keadaan yatim, namun justru dari sinilah rahasia-rahasi Ilahi akan muncul.

Setiap ketetapan Allah SWT pastilah tersimpan di dalamnya hikmah yang dikehendaki. Demikian pula tentang takdir Nabi Muhammad SAW yang terlahir yatim, ada hikmah yang bisa dipetik dan menjadi pelajaran berharga. Berikut berbagai hikmah yang bisa dipetik dari terlahirnya Sang Rasul mulia dalam keadaan yatim, sebagaimana pakar sejarah serta ulama tarikh menyebutkan:

1. Buah karunia serta nikmat Allah atas kekasih-Nya

Membuktikan statement ini, firman Allah SWT ketika mengingatkan sang kekasih atas kenikmatan yang telah diberikan kepadanya:

أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيْماً فَآوَى

“Bukankah Ia (Allah) yang telah menemuimu dalam keadaan yatim lantas merawatmu (Rasulullah).” (QS. Ad-Dhuha: 6)

Tapi dari sini timbul satu tanda tanya, apakah bisa disebut karunia, seorang yang terlahir tanpa belaian kasih seorang ayah? Al-Imam Ali bin Muhammad Al-Baghdadi Al-Khozin menjawab pertanyaan ini di dalam tafsirnya:

“Kenikmatan tersebut dikategorikan sebagai sebuah karunia Tuhan kepada sang kekasih (meskipun terlihat sebuah petaka dalam pandangan makhluk). Allah SWT hendak menguatkan hati sang kekasih serta ingin selalu mencurahkan perhatian dan kasih-Nya terhadap Rasulullah. Seakan Tuhan berkata: ‘Jangan kau sesali atas takdir-Ku (kau terlahir dalam keadaan yatim), bukankah Aku sendiri yang telah merawatmu? Aku sendiri yang menjagamu di kala kau kecil dan yatim? Janganlah kau kira Aku (Rabb) melupakan serta menelantarkanmu ketika kau tumbuh besar’. Maka terlihatlah perbedaan karunia Ilahi terhadap kekasih-Nya dibanding karunia-Nya terhadap selainnya.” (Tafsir Al-Khozin, jilid 4, hlm. 439)

2. Allah tak ingin kasih serta perhatian-Nya kepada sang kekasih terbagi dengan makhluk-Nya

Menguatkan pernyataan di atas, ada satu Hadis dari Sayyidina Abdullah bin Abbas, beliau berkata: “Ketika ayah Rasulullah wafat, para Malaikat bertanya, ‘Wahai Rabb, kau biarkan Nabi-Mu serta kekasih-Mu terlahir dalam keadaan yatim?’ Allah SWT menjawab, ‘Aku sendiri yang akan menjaga, menolong, memperhatikan serta merawatnya.’” (As-Sirah An-Nabawiyah karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, jilid 1, hlm. 44)

Serta, hikmah inilah yang dimaksudkan syair dalam syiirnya:

أَخَذَ الْإِلَهُ أَبَا الرَّسُوْلِ وَلَمْ يَـــــزَلْ * بِرَسُـــوْلِهِ الْفَـــــــرْدُ الْيَتِيْمُ رَحِيْــــــمًا

نَفْسِـــــي الْفِدَاءُ لِمُفْرَدٍ فِي يَتِــــمِهِ * وَالدُّرُّ أَحْسَنُ مَا يَكُوْنُ يَتِيْــــمًــــا

“Tuhan telah mencabut nyawa ayah sang Rasul, hingga Dia sendiri mengasihi Sang Rasul yang yatim.”

“Demi jiwa yang bersemayam di raga bagi Sang Rasul yang terlahir yatim (sendiri), bukankah sebaik-baik berlian ialah berlian yang tunggal (tak ada duanya)?”

Selian itu, Muhammad Thahir Ibnu Asyur dalam tafsirnya juga menerangkan terkait sepotong ayat dalam Surat Ad-Dhuha tersebut. Beliu mengatakan: “Dialah (Allah SWT) yang telah memperhatikan dan merawatmu wahai Sang Rasul dalam bimbingan Ilahi yang sempurna. Sebuah bimbingan yang tak menjadikanmu terlantar seperti kebanyakan anak yatim umumnya. Sebuah bimbingan Ilahi yang lebih sempurna dari bimbingan kedua orang tua.” (Tafsir At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 12, hlm. 403)

Pendapat Imam Ibn Asyur ini selaras dengan Hadis Nabi Muhammad SAW yang bersabda:

أَدَّبَنِيْ رَبِّي فَأَحْسَنَ تَأْدِيْبِي

“Tuhanku sendiri yang telah mendidikku dengan sebaik-baik didikan.”

3. Agar tidak terikat hak serta kewajiban kepada sesama makhluk

Allah tidak menghendaki kekasihnya merasa harus berbalas budi kepada seorang makhluk. Tak ingin membebaninya atas hak-hak yang harus dipenuhi kepada sesama makhluk (seperti hak seorang anak terhadap ayahnya).

Dalam satu kesempatan, Imam Ja’far bin Muhammad As-Shodiq, pernah ditanya, “Mengapa Nabi terlahir yatim? Adakah hikmah dibalik semuanya?” Beliau pun menjawabnya, “Agar Sang Rasul tidak terikat hak serta kewajiban kepada sesama makhluk.”  Maksudnya, hak serta kewajiban seorang anak setelah balighnya, karena ayahnya wafat sebelum Nabi dilahirkan dan ibunya wafat sebelum beliau usia baligh. (As-Sirah An-Nabawiyah karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, jilid 1, hlm. 44)

4. Allah membuktikan bahwa kemuliaan Islam yang dicapai oleh kekasihnya murni dari Rasulullah sendiri, bukan karena nasab, harta maupun tahta

Amanah Allah berupa syariat Islam yang diembannya akan tersebar ke seantero jagat raya karena murni sebuah usaha, ijtihad Rasulullah SAW sendiri yang dibarengi keridhoan Ilahi, tanpa ada embel-embel kemulian nasab, kekayaan, maupun tahta.

Mengenai hal ini Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi berkata: “Janganlah dikira terlahirnya Sang Rasul dalam keadaan yatim adalah sebuah aib ataupun petaka. Di balik itu semua ada sebuah hikmah yang bisa dipetik. Hikmah terpenting yang bisa dipetik ialah membungkam dugaan orang kafir yang mengatakan bahwa, ‘Tersebarnya dakwah Islam ke penjuru jagat hanyalah karena bimbingan, petunjuk serta kucuran dana dari ayah ataupun keluarganya yang tergolong sebagai pemuka Quraisy, bukan dari usahanya sendiri.’ Hikmah yang Allah kehendaki agar dakwah Islam murni terhindar dari nilai-nilai kesukuan, politik maupun indikasi bantuan dari makhluk, hingga Sang Rasul dapat fokus mengemban amanah Ilahi (nubuwwah), serta terhindar dari pengaruh politik, harta, serta kedudukan yang diperoleh oleh leluhurnya.” (Fiqhus Sirah, hlm. 45-46)

Jadi dari uraian ini kita bisa memahami bahwa apapun momen, perbuatan, ketetapan yang muncul dari diri Rasulullah SAW tidak lain semuanya itu adalah kebaikan dan kesempurnaan belaka.

Tidak mungkin muncul dari diri Nabi Muhammad SAW sebuah aib, petaka ataupun keburukan. Jika itu semua terjadi, maka tidaklah mungkin Allah SWT menyuruh seluruh hamba-Nya untuk selalu meneladani serta meniru akhlak kekasihnya itu. Sebab, kita tahu bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang Rasul yang diberi sifat “ma’shum” (terhindar dari segala kekurangan serta dosa).

Demikian, semoga bermanfaat. Dan semoga Allah SWT menyematkan kepada kita sifat husnudhon (positive-thinking) terhadap sesama makhluk-Nya, terlebih kepada kekasih-Nya, Nabi Muhammad SAW.

Wallahu A'lam bis Showab. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 07 Juli 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Sibt Umar

Editor: Hakim