Sirah Khulafa Ar Rasyidin (Bagian Pertama)

 
Sirah Khulafa Ar Rasyidin (Bagian Pertama)
Sumber Gambar: Ilustrasi. Foto : (ist)

Laduni. ID, Jakarta - Kita mulai dari istri-istri Rasulullah. Secara umum, seorang lelaki muslim diperbolehkan atau diijinkan menikahi wanita muslimah lainnya hingga empat orang, tetapi bukan berarti disunnahkan. Al Qur’an sendiri menyarankan untuk menikahi hanya satu wanita saja jika tidak bisa berbuat adil, khususnya dalam hal yang bersifat lahiriah. Tetapi Rasulullah SAW diberi kekhususan, tidak hanya empat pernikahan.

Bahkan tidak jarang Allah sendiri yang memerintahkan Nabi SAW untuk menikahi wanita tersebut, dan pada dasarnya Nabi SAW tidaklah menikahi seorang wanita kecuali diperintahkan atau diijinkan oleh Allah SWT.

Riwayat paling masyhur, istri-istri Rasulullah sebanyak sebelas orang, yakni :
1. Khadijah binti Khuwailid RA
2. Saudah binti Zam'ah RA
3. Aisyah binti Abu Bakar RA (Khumaira)
4. Hafshah binti Umar bin Khathhab RA
5. Zainab binti Khuzaimah RA
6. Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayyah RA
7. Zainab binti Jahsy bin Rayyab RA
8. Juwairiyah binti Harits bin Abu Dhirar RA
9. Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan RA
10. Shafiyah binti Huyyai bin Akhthab RA
11 Maimunah binti Harits bin Hazn RA

Mereka ini adalah istri-istri Nabi SAW atau disebut juga Ummahatul Mukminin (para ibu kaum muslimin) yang dinikahi dan hidup bersama beliau, dan beliau tidak menikahi wanita lain (berpoligami) selama masih hidupnya Sayyidah Khadijah.

Dua orang telah meninggal ketika beliau masih hidup, yakni Sayyidah Khadijah binti Khuwailid dan Sayyidah Zainab binti Khuzaimah. Beberapa riwayat menyebutkan, bahwa beliau juga pernah menikah dengan beberapa wanita lainnya, tetapi tidak sampai tinggal bersama mereka, yaitu :
1. Seorang wanita dari Bani Qilab bernama Amrah binti Yazid al Qilabiyah.
2. Seorang wanita Bani Kindah bernama Asma binti Nu'man al Kindiyyah al Juwainiyah.

Keduanya dikembalikan kepada orang tuanya, sebelum sempat dikumpuli Rasulullah SAW. Mengenai kegagalan pernikahan beliau dengan Asma binti Nu'man, sebuah riwayat menyebutkan adalah akibat kecemburuan Aisyah. Setelah pernikahannya dengan Mariyah al Qibthiyah, beliau menikahi Asma binti Nu'man. Aisyah sangat cemburu dengan kehadiran Asma dalam jajaran Ummahatul Mukminin, karena itu bersama dua istri Nabi SAW lainnya, Saudah dan Hafshah, mereka membuat rencana untuk menjebak Asma.

Setelah matang, dipilihlah Hafshah untuk melaksanakan rencana ini, ia menemui Asma, yang saat itu belum dikunjungi Nabi SAW, dan ia berkata: "Wahai Asma, sesungguhnya Nabi SAW jika mengunjungi istri-istrinya, sangat senang disambut dengan ucapan 'A'udzubillah', kemudian berdirilah membelakangi beliau…!"

Asma yang belum mengerti seluk beluk kehidupan istri-istri Rasulullah SAW, sangat berterima kasih dengan informasi ini. Ia sama sekali tidak berprasangka buruk pada Hafshah. Maka ketika beliau SAW mengunjunginya, Asma dengan gembira dan wajah berseri menyambut beliau.

Kemudian ia melaksanakan apa yang disarankan oleh Hafshah dengan lugunya, tanpa prasangka apa-apa kepada Rasulullah SAW. Tetapi seketika itu ia jadi terkejut melihat reaksi Nabi SAW. Ia tidak sadar bahwa ucapan dan sikapnya itu sangat menusuk perasaan beliau. Rasulullah SAW bersabda, "Engkau telah memohon perlindungan kepada Allah…?"

Setelah itu beliau meninggalkannya. Beliau membatalkan pernikahannya dan mengembalikannya kepada orang tuanya. Keluarga Asma sangat bersedih dengan peristiwa ini. Setelah tahu duduk persoalannya, segera saja ayahnya, Nu'man bin Aswad menemui Nabi SAW untuk meminta maaf dan menjelaskan tentang apa yang dilakukan Hafshah atas perintah dan kesepakatan Aisyah dan Saudah. Mendengar penjelasan ini, beliau hanya tersenyum dan berkata, "Mereka memang sama saja dengan perempuan-perempuan di zaman Nabi Yusuf AS. Siasat dan tipu daya mereka memang luar biasa."

Tetapi bagaimanapun juga Nabi SAW telah mengembalikan Asma kepada orang tuanya, dan Asma telah terlanjur meminta perlidungan kepada Allah dengan ucapannya tersebut, sehingga Nabi SAW tidak mungkin memperistrinya lagi. Kisah ini sebenarnya cukup termasyhur, tetapi sebagian ahli hadits meragukan kesahihannya, karena rasanya tidak mungkin Nabi SAW memutuskan tali pernikahannya hanya karena kesalah-pahaman semata.

Selain mereka, Rasulullah SAW juga menikah dengan beberapa orang hamba sahaya, yaitu Mariyah al Qibthiyah, hadiah dari pembesar Mesir, Muqauqis, Raihanah binti Zaid an Nadhiriyah atau al Qurzhiyah, tawanan dari Bani Quraizhah, seorang tawanan bernama Jamilah dan juga seorang jariyah hadiah dari Zainab bin Jahsy, istri beliau sendiri. Dakwah Nabi SAW kepada Juraij bin Mata, pembesar Mesir yang lebih terkenal dengan nama Muqauqis, walaupun ia tidak menyatakan diri memeluk Islam, tetapi ia memberikan sambutan yang baik atas seruan Nabi SAW, ia tidak menghalangi penyebaran Islam di bumi Mesir. Muqauqis membalas surat Nabi SAW dan diberikan kepada utusan beliau, Hathib bin Abi Balta'ah, bersama itu pula ia mengirimkan dua orang gadis yang mempunyai kedudukan terhormat bagi masyarakat Mesir, bahkan sebagian riwayat menyatakan mereka berdua adalah putri Muqauqis sendiri, yaitu Mariyah dan Sirin.

Dua bersaudara ini dipersembahkan sebagai sahaya bagi Nabi SAW, juga beberapa lembar kain dan seekor baghal, yang bernama Duldul. Nabi SAW mengambil Mariyah dan dinikahinya walaupun dalam status sebagai sahaya, sedang Sirin diberikan kepada sahabat Hasan bin Tsabit.
Tidak seperti Ummahatul Mukminin lainnya yang tinggal di rumah di sebelah Masjid Nabi SAW, Mariyah ditempatkan di luar kota Madinah. Sebuah rumah di tengah kebun anggur di tempat bernama 'Alia.

Sekarang ini dikenal dengan nama Masyraba Umm Ibrahim. Dari Mariyah inilah beliau memiliki seorang putra yang diberi nama Ibrahim, tetapi meninggal ketika masih kecil. Khadijah Binti Khuwailid RA, Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid RA merupakan seorang wanita terpandang di Makkah, dari keturunan yang mulia, juga seorang pengusaha yang sukses. Khadijah telah menikah dua kali sebelum pernikahannya dengan Rasulullah SAW.

Sebagian riwayat mengatakan bahwa Khadijah menikah pertama kalinya dengan Atik bin Aidz, ia mempunyai seorang anak perempuan bernama Hindun, yang kemudian menjadi seorang muslimah yang taat. Setelah berpisah dengan Atik, Khadijah menikah lagi dengan Abu Halah, atau nama aslinya Nabasyi bin Malik. Dari pernikahannya iniiah mempunyai dua orang anak, lelaki dan perempuan (sebagian riwayat mengatakan, keduanya lelaki).
Abu Halah meninggal terlebih dahulu. Riwayat lain menyebutkan, Abu Halah suami pertamanya, baru kemudian Atik bin Aidz. Dalam status jandanya yang kedua kali ini, banyak sekali pemuka dari kaum Quraisy yang ingin memperistrinya, tetapi dengan tegas ia menolaknya. Khadijah mempunyai kebiasaan meminta seseorang untuk menjalankan dagangannya dan membagi keuntungan dengan mereka.

Tatkala ia mendengar kabar tentang Muhammad yang mempunyai kejujuran, kredibilitas dan kemuliaan akhlak, ia menawarkan untuk menjalankan dagangannya ke Syam. Atas dorongan dan dukungan pamannya, Abu Thalib, Muhammad yang kala itu masih pemuda berusia 25 tahun menerima tawaran ini. Beliau berangkat disertai pembantu Khadijah yang bernama Maisarah, dan perdagangannya ini memperoleh keuntungan yang sangat besar. Melihat hal ini Khadijah jadi sangat tertarik dengan Muhammad, apalagi setelah memperoleh cerita dari Maisarah tentang kejujuran dan ketinggian akhlak beliau selama menjalankan perdagangannya di Syam. Suatu malam, Khadijah bermimpi melihat matahari turun ke kota Makkah, kemudian bergerak menuju ke rumahnya, sehingga cahayanya menerangi seluruh penjuru rumah dan sekelilingnya.

Khadijah mendatangi anak pamannya, Waraqah bin Naufal, seorang pemeluk Nashrani yang mempunyai pengetahuan yang luas dan mampu menafsirkan impian seseorang. Setelah mendengar cerita Khadijah, Waraqah yang telah tua dan buta itu menyatakan bahwa akan turun seorang Nabi di kota Makkah dan Khadijah akan menjadi istrinya. Dan dari dalam rumahnya dakwah akan menyebar ke penjuru Arab. Khadijah mempunyai firasat kuat bahwa calon nabi tersebut adalah Muhammad. Siapa lagi orang di Makkah yang mempunyai kualitas akhlak dan perilaku yang lebih baik daripada dia. Ditambah lagi dengan cerita Maisarah selama mengiring Muhammad menjalankan perdagangannya ke Syam, di antaranya, adanya gulungan awan yang menaungi mereka sehingga terhindar dari teriknya matahari padangpasir. Karena itu muncul keinginannya untuk menikahinya.

Dengan perantaraan seorang temannya bernama Nafisah binti Munyah, Khadijah menyampaikan maksudnya untuk menikahi Muhammad kepada pamannya, Abu Thalib. Beliau menyambut baik keinginan Khadijah tersebut. Walau telah berusia 40 tahun, Khadijah adalah seorang wanita yang cantik dan pandai, kaya dan terpandang sekaligus sangat menjagadirinya, sehingga memperoleh gelar Thahirah (wanita suci), dan sangat jauh dari budaya jahiliah. Muhammad segera menghubungi paman-pamannya untuk melamar Khadijah. Perkawinan berlangsung meriah, dihadiri oleh Bani Hasyim danpemuka Bani Mudhar. Mas kawin yang diberikan Nabi SAW adalah 20 ekor unta muda, yang menjadi wali Khadijah adalah pamannya, Umar bin Asad karena ayahnya, Khuwailid telah meninggal dunia. Perkawinan ini berlangsung dua bulan sepulangnya beliau dari perdagangan di Syam.

Nabi SAW sangat mencintai Khadijah, jauh melebihi istri-istri beliau lainnya, termasuk setelah kewafatannya, sehingga pernah memancing kecemburuan Aisyah. Ketika beliau menyebut nama Khadijah yang telah wafat. Aisyah berkata emosional: "Mengapa engkau masih saja mengingat wanita tua Quraisy, yang sudah meninggal itu. Bukankah Allah telah memberikan ganti dengan istri yang lebih baik darinya!!" Memang, Aisyah merupakan istri yang paling dicintai beliau dibanding istri-istri beliau lainnya. Tetapi sebaik apapun Aisyah, di mata Rasulullah, ia tidak bisa dibandingkan dengan Khadijah. Beliau bersabda, "Demi Allah, tiada yang lebih baik dari dirinya.Ia telah mempercayaiku ketika semua orang mendustakan. Ia merelakan semua hartanya, ketika semua orang malah menahannya, dan Allah mengaruniakan anak-anak darinya dan tidak dari istri-istriku lainnya…"

Siapa yang tidak tahu, bagaimana besarnya peran Khadijah pada masa-masa awal beliau mengemban risalah Islam ini. Ketika beliau dalam kegoncangan jiwa saat pertama kali bertemu Jibril, dialah yang menentramkan dan menguatkan jiwa beliau, bahkan membawa beliau kepada Waraqah bin Naufal untuk memantapkan bahwa beliau berada di dalam kebenaran. Ketika hampir seluruh pemuka-pemuka Quraisy memusuhi dan mengingkarinya, dialah yang jadi pembela dan sandaran kekuatan beliau, bersama Abu Thalib. Maka tatkala dua orang ini meninggal, beliau tidak bisa menyembunyikan kesedihannya, sehingga dalam sejarah dikenal sebagai "Tahun Duka Cita" (Amul Huzni).

Suatu saat Nabi SAW dikirimi seseorang unta yang telah disembelih, beliau mengambil sendiri beberapa bagian, kemudian menyuruh seseorang mengantarkan kepada teman Khadijah. Melihat hal itu, Aisyah berkata, "Mengapa engkau mengotori tanganmu sendiri, bukankah bisa orang lain mengerjakannya?" Nabi SAW menjelaskan bahwa Khadijah pernah berwasiat kepada beliau seperti itu. Kontan muncul kecemburuan Aisyah, ia berkata, "Khadijah lagi, Khadijah lagi…seolah-olah tidak ada lagi wanita di bumi ini selain Khadijah…!!"

Mungkin reaksi yang wajar dari seorang istri, dan beliau mungkin bisa memakluminya kalau menyangkut istri beliau lainnya. Tetapi karena ini menyangkut Khadijah, tampak sepercik kemarahan pada wajah beliau. Tanpa banyak bicara, beliau bangkit berdiri dan pergi. Beberapa waktu kemudian beliau kembali menemui Aisyah, tampak ia menangis sedang ditemani ibunya, Ummu Ruman. Ummu Ruman berkata, "Ya Rasulullah, ada apa antara engkau dengan Aisyah? Ia masih anak-anak, hendaklah engkau memaafkannya….!"

Nabi SAW tersenyum, sambil memegang ujung bibir Aisyah beliau berkata, "Bukankah engkau sendiri yang berkata, tidak ada wanita lain di bumi ini selain Khadijah…!!" Inilah Khadijah, walaupun Allah telah memberikan ganti dgn istri-istri lainnya, dari yang muda, dewasa, juga yang tua (yakni Saudah bin Zam'ah), yang cantik dan berbakti, yang mandiri, sabar dan tidak membebani Nabi SAW, tetapi tetaplah Khadijah yg menjadi sosok utama di dalam hati beliau.

Saudah Binti Zam'ah Ra, Ummul Mukminin. Saudah binti Zam'ah bin Qais sebelumnya diperistri oleh Sakran bin Amar RA, salah seorang sahabat Nabi SAW lainnya.Sallu ala Nabi. (Bersambung)

Oleh : Sayid Machmoed BSA (sumber tulisan dari utasan @sayidmachmoed)
Editor : Ali Ramadhan