Ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi Terkait Anak Yatim

 
Ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi Terkait Anak Yatim
Sumber Gambar: pixoto.com, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Sudah sepantasnya kita menghormati anak yatim, sebab Baginda Nabi SAW juga merupakan seorang yatim. Kata yatim sendiri disebutkan sebanyak 23 kali dalam Al-Quran, yaitu delapan dalam bentuk tunggal, 14 dalam bentuk jamak, dan 1 dalam bentuk dua (mutsanna). Sedangkan di dalam Hadis, tidak terhitung banyaknya keterangan yang terkait dengan yatim.

Dalam pembahasan pertama akan dipaparkan Ayat Al-Quran yang berkaitan dengan anak yatim. Kemudian dilanjutkan uraian tentang Hadis yang berkaitan dengan anak yatim.

Surat Ad-Dhuha ayat 9, Allah SWT berfirman:

فَأَمَّا الْيَتِيْمَ فَلَا تَقْهَرْ

“Maka, janganlah kamu berbuat sewenang-wenang terhadap anak yatim!

Dalam Ayat ini, Imam Fakhruddin Ar-Razi menjelaskan dalam kitab tafsirnya, Mafatihul Ghaib, bahwa pengertian jangan menghardik itu bisa berarti jangan cemberut ketika di hadapannya.

Artinya dari sini bisa dipahami bahwa ayat di atas berisi teguran, agar sebagaimana Allah SWT memperlakukan kita dengan baik, maka kita juga harus memperlakukan dengan baik pula. Hal ini bisa dibandingkan dengan Firman Allah SWT di dalam Surat Al-Qasas ayat 77,

وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكَ

“Dan berprilaku baiklah, sebagaimana Allah telah berlaku baik kepadamu”

Dalam sebuah riwayat, dikisahkan tentang Nabi Musa AS. Suatu ketika pernah mengadu kepada Allah SWT, "Wahai Tuhanku, dengan apa aku bisa mendapat kedudukan di sisi-Mu?” Allah SWT berfirman, “Tidakkah kamu ingat saat anak kambing lari darimu, lalu kamu ambil lagi saat mampu, padahal kamu telah lelah pada saat itu, tetapi tetap kamu bawa anak kambing itu. Sebab inilah Aku jadikan engkau pemimpin (Nabi) di zamanmu.”

Lalu tidakkah patut kalau kita juga mengambil satu pelajaran dari kisah Nabi Musa di atas. Ketika Nabi Musa AS mendapat anugerah kenabian dengan perilaku baik terhadap seekor kambing, lalu bagaimana jika berbuat baik terhadap anak yatim? Sebaliknya, kalau bermuka masa saja tidak diperbolehkan apalagai menghardik, menghinakan dan memakan harta anak yatim?

أَرَأَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِ، فَذٰلِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَ، وَلَا يَحُضُّ عَلىٰ طَعَامِ الْمِسْكِيْنِ

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan untuk memberi makan orang miskin.”

Imam Fakhruddin Al-Razi berkata di dalam kitab tafsirnya, "Ketahuilah, lafadz أَرَأَيْتَ dalam ayat ini walaupun tampak seperti pertanyaan dengan adanya Hamzah Istifham di awal kalimat, tetapi maksud dari lafadh itu adalah berlebihan dalam terkejut. Seperti kalimat,

أَرَأَيْتَ فُلَانًا مَاذَا ارْتَكَبَ وَلِمَاذَا عَرَضَ نَفْسَهُ؟

Artinya: "Sudahkah kau melihat fulan? apa yang telah ia perbuat dan mengapa ia korbankan dirinya?”

Sementara dalam riwayat lain dijelaskan, bahwa lafadh ini adalah percakapan untuk Rasulullah SAW. Selain itu, ada juga yang menerangkan bahwa ini adalah percakapan untuk setiap orang yang berakal. Seakan menyiratkan petanyaan: “Tidakah kamu melihat wahai orang yang berakal, inilah orang yang mendustakan agama setelah tampaknya petunjuk dan penjelasan yang jelas, apakah ia akan berdusta tanpa sebab? Apa layak seorang yang berakal menarik dirinya sendiri kepada hukuman yang kekal, tanpa sebab atau karena sebab dunia? Bagaimana mungkin orang yang berakal mengorbankan akhirat demi dunia?”

Kemudian ditanyakan, “Apakah kamu tau siapa orang yang berdusta tentang Hari Pembalasan? Kalau belum tau ialah orang yang menghardik anak yatim (Menolak hak mereka ketika diminta).”

فَذٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيْمَ

Perlu diketahui juga bahwa Allah SWT telah menyebutkan pengertian "مَنْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِ" (Orang yang berdusta pada agamanya) dengan dua gambaran. Berikut penjelasannya:

Pertama, dari segi perbuatan, apa yang mereka perbuat, Allah SWT berfirman:

 فَذٰلِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَ

Bisa dipahami, bahwa tindakan yang mempunyai arti "Menghardik Yatim" sangatlah banyak, di antaranya adalah mencegah dalam menerima hak dan hartanya dengan cara yang zalim, tidak menghiburnya, walaupun hal ini tidak bersifat wajib. Selain itu, adalah mencaci, memukul dan merendahkan. Terkadang lafadh "يَدُعُّ" dibaca dalam arti meninggalkan "يَدَعْ", yakni ketika hidangan telah mereka siapkan, kemudian mereka mengundang banyak orang tapi meninggalkan anak yatim. Padahal Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:

مَا مِنْ مَائِدَةٍ أَعْظَمُ مِنْ مَائِدَةٍ عَلَيْهَا يَتِيْمٌ

"Tiada hidangan yang paling mulia selain yang di dalamnya terdapat anak yatim."

Kedua, mengabaikan perintah, mereka tak menghimbau agar memberi makan orang miskin seperti yang Allah SWT perintahkan, Allah SWT berfirman:

وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِ

Dalam ayat ini pula, Imam Fakhruddin Ar-Razi mengatakan terdapat dua sudut pandang. Pertama, Ia tak menganjurkan dirinya sendiri untuk memberi makan orang miskin, kalimat "طعام" disandarkan kepada "المسكين" menandakan bahwa makanan ini adalah milik orang miskin, seakan-akan ia mencegah hak yang seharusnya dimiliki oleh orang miskin. Dan hal ini menunjukkan akan puncak kekikiran, hati yang keras serta kerakteristik yang sangat buruk. Kedua, dia juga tak menghimbau orang lain untuk memberi makan orang miskin, karena meyakini bahwa tindakan tersebut tidak ada untungnya.

Jadi, bisa disimpulkan bahwa Allah SWT menjadikan orang yang berani menyakiti kelompok yang lemah dan mencegah kebaikan kepada mereka, sebagai orang yang berdusta pada agama. Dan dalam hal ini orang yang lemah itu tidak lain adalah anak yatim dan orang-orang miskin.

Mestinya, kalau orang itu beriman pada Hari Kiamat dan berkeyakinan kuat akan adanya adzab yang dahsyat, tentu tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan yang membuatnya dianggap sebagai pendusta agama yang konsekuensinya adalah celaka!

Sedangkan Hadis Nabi Muhammad SAW yang terkait dengan anak yatim dinukilkan dari Kitab Riyadhus Sholihin, karya Imam An-Nawawi. Berikut keterangannya:

وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَافِلُ الْيَتِيْمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ، وَأَشَارَ الرَّاوِيْ وَهُوَأَنَسُ بْنُ مَالِكٍ - بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى- رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَقَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, "اَلْيَتِيْمُ لَهُ أوْ لِغَيْرِهِ" مَعْنَاهُ: قَرِيْبُهُ أَوِ الْأَجْنَبِيِّ، فَالْقَرِيْبُ مِثْلُ أَنْ تَكَفَّلَهُ أُمُّهُ أَوْ جَدُّهُ أَوْ أَخُوْهُ أَوْ غَيْرُهُمْ مِنْ قَرَابَتِهِ، وَاللهُ أَعْلَمُ.

“Dari Sahabat Abu Hurairah r.a, beliau berkata, Bersabda Rasulullah SAW, ‘Jarak antara diriku dan pemelihara anak yatim, entah itu dari keluarga terdekat atau pun orang lain saat di Surga, adalah ibarat dua ini,’ perawi hadis (Sahabat Anas bin Malik) memberi isyarat dengan jari telunjuk dan tengah." (HR. Imam Muslim)

Lalu penjelasan Hadis ini diambil dari Kitab Nuzhatul Muttaqin Syarh Riyadhus Sholihin. Bahwa maksud dari kalimat "اَلْيَتِيْمُ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ" adalah dari sanak keluarga dekatnya atau orang yatim asuhan orang lain. Contoh dari kerabat seperti dalam asuhan ibu, kakek, saudara dan sanak keluarga lainnya.

Dari Hadis ini, bisa diambil pelajaran bahwa hak solidaritas dalam perkumpulan tidak sebatas keluarga saja, tetapi juga mencakup orang miskin, lemah dan juga yatim sebagaimana yang dijelaskan tersebut.

Dalam sebuah Hadis lain tentang sikap lemah lembut dan empati serta simpati kepada orang lain, sangatlah dipuji dan diapresiasi oleh agama, tercatat juga di dalam Kitab Riyadhus Sholihin.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: جَاءَتْنِي مِسْكِيْنَةٌ تَحْمِلُ اِبْنَتَيْنِ لَهَا، فَأَطْعَمَتْهَا ثَلَاثَ تَمَرَاتٍ، فَأَعْطَيْتُ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا تَمْرَةً، وَرَفَعْتُ إِلَى فِيْهَا لِتَأْكُلَهَا، فَأَطْعَمَتْهَا اِبْنَتُهَا، فَشَقَّتْ اَلتَّمْرَةُ الَّتِيْ كَانَتْ تُرِيْدُ أَنْ تَأْكُلَهَا بَيْنَهُمَا، فَأَعْجَبَنِي شَأْنُهَا، فَذَكَرْتُ الَّذِيْ صَنَعْتُ لِرَسُوْلِ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: إِنَّ اللهَ قَدْ أَوْجَبَ لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ وَأَعْتَقَهَا بِهَا مِنَ النَّارِ

“Dari Sayyidah Ummul Mu'minin Aisyah r.ha, ia berkata, ‘Datang padaku seorang wanita miskin dengan kedua putrinya, lalu aku beri ia tiga butir kurma. Ia pun memberi kurma kepada putrinya satu per satu, ketika wanita itu ingin memakan kurma tersebut, kedua putrinya meminta lagi. Kurma yang hendak ia makan pun dibelah dan diberikan kepada kedua putrinya, aku kagum dengan keadaanya pada saat itu. Lalu aku sampaikan apa yang aku lakukan itu kepada Rasulullah SAW.  Dan beliau bersabda, ‘Sungguh Allah SWT telah menjamin surga untuknya karena perbuatan yang ia lakukan, dan membebaskannya dari api neraka.’” (HR. Imam Muslim)

Di dalam Kitab Nuzhatul Muttaqin Syarh Riyadhus Sholihin, dijelaskan bahwa pelajaran yang bisa diambil dari Hadis ini adalah bahwa keutamaan sedekah yang menjadi tanda akan jujurnya sebuah iman seorang hamba kepada Tuhan-Nya serta yakin dengan janji dan juga anugerah-Nya.

Islam memberikan perhatian yang sangat besar tentang arti kasih sayang dan lemah lembut di antara sesama. Bersikap baik kepada kaum lemah, seperti anak yatim dan orang miskin tiada lain balasannya adalah tempat terbaik di sisi Allah SWT.

Kepedulian setiap orang muslim kepada orang muslim lainnya merupakan semangat dalam Islam. Sikap ini menjadi pertanda keimanan yang utuh dan kelak akan dijamin dan dijaga oleh Allah SWT.

Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa setiap orang itu akan selalu mendapatkan pertolongan dari Allah SWT selama ia juga menolong saudaranya.

وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ

Selain itu, Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain.

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain".

Bukankah cukup jelas jika kita mempunyai kepedulian kepada orang lain, khususnya kepada orang yang lemah seperti anak-anak yatim dan orang miskin, Allah SWT juga akan menolong kita. Demikian pula, kebaikan dan kebermanfaatan yang kita lakukan kepada sesama itu cukuplah sebagai penanda kita sebagai golongan orang yang baik di sisi Allah SWT. Wallahu A’lam bis Showab. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 14 Juli 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Abdullah Matin As-Syatiri

Editor: Hakim