Gus Baha: Lafadz itu tidak Mengikat, yang Mengikat itu Makna

 
Gus Baha: Lafadz itu tidak Mengikat, yang Mengikat itu Makna
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Bahayanya orang yang belajar ilmu agama secara tekstual ialah sama seperti meminum racun, pasalnya ia menerima secara mentah apa yang tertulis dan tidak memfilternya menggunakan akal dan logika, sehingga mengacuhkan kontekstualnya.

Gus Baha mengisahkan dalam salah satu pengajiannya, sewaktu itu Imam Ghozali pernah mendapat banyak gugatan dari seorang ulama yang memiliki kadar keilmuan yang setara dengan Imam Ghazali. Ulama tersebut melemparkan banyak gugatan terkait dengan Ihya’ Ulumuddin, lalu Imam Ghazali menjawab gugatan dan kejanggalan ulama tersebut pada Ihya’ Ulumiddin.

Imam Ghazali mengatakan salah satunya, "Falma'aanii ausa'u minal 'ibaarah".

“Diingat-ingat kaidahnya! ‘Falma'aanii ausa'u minal 'ibaarah’. Di mana-mana, yang namanya lafadz itu tidak mengikat. Yang mengikat itu makna. ‘Falma'aanii ausa'u minal 'ibaarah’, karena jika menuruti lafaz, semua orang akan bertindak kriminal,” kata Gus Baha.

Jika seseorang menerima ilmu secara tekstual maka itu akan menyebabkan dirinya tersesat. Karena jika hanya menerima ilmu secara tekstual, seseorang seseorang menolak pengertian secara kontekstual yang di mana itu dilakukan dengan menggunakan akal dan logika, dengan berpikir.

“Ini contoh yang terkesan bercanda tapi serius. Misalkan saya ngomong pada Rukhin, ‘Khin, jangan sampai main tangan pada istrimu!’ (istilah) 'Main tangan' berasal dari kata 'tangan'. Maksudnya, ‘jangan menampar istrimu!’ Suatu saat saya mendengar Rukhin menendang istrinya karena kecewa. ‘Khin! Kok kamu tendang istrimu?’ terus Rukhin jawab, ‘Ya kan yang dilarang itu main tangan, ini saya main kaki.’ Kan tidak bisa begitu, kamu memanfaatkan lafadz yang saya uraikan, ‘jangan main tangan pada istrimu!’ Lalu kamu mencari cara supaya tidak melanggar perintah Kyaimu, ‘Kalau saya tampar, maka saya melanggar. Jadi saya tendang saja’. Saat ditanya Kyainya, ‘Kenapa kamu tendang istrimu?’ Terus jawab, ‘Kata Kyai yang haram itu main tangan. Ini kan hanya main kaki'. Tentu maksud saya untuk tidak menampar itu jangan berbuat kekerasan. Paham ya?” ujar Gus Baha.

Oleh karena itu disebut, "Falma'aanii ausa'u minal 'ibaarah". Tentu maksudnya ialah untuk tidak menampar atau tidak berbuat kekerasan, baik dengan tangan maupun kaki. Andaikan lafadz tersebut diterima secara mentah-mentah, berarti yang diharamkan hanyalah menggunakan tangan. Sedangkan menggunakan kaki atau benda-benda lain, tidak diharamkan.

“Makanya jika Rasulullah bersabda, tashoddakuu walau bisyikki tamratin, ‘bersedekahlah kamu meskipun dengan secuil kurma’, lalu benar-benar kamu praktekkan. Beli kurma, dicuil, lalu berikan fakir miskin. Orang gila! Semua Ulama sepakat, maksudnya itu untuk bersedekah menggunakan qut (makanan pokok),” kata Gus Baha.

“Kalau konteksnya di Indonesia, maka dengan memberi beras. Memberi beras, karena itu makanan pokok kita. Jangan kemudian karena ingin menuruti perintah Nabi, lalu beri kurma. Kemudian dipotong. Nabi saat bersabda, karena memang beliau orang Arab. Maka bersabda, tashoddaquu walau fir sanasaatin, ‘bersedekahlah walau hanya dengan paha seekor kambing.’ Orang yang sering bersedekah saja tidak pernah menyembelih kambing. Kok malah menunggu punya paha kambing. Paling mentok mungkin paha ayam atau paling tikus. Itu terjadi karena tadi, falma'anii au sa'uminal 'ibaaratin,” kata Gus Baha.


Editor: Daniel Simatupang