Nasihat Mbah Dullah agar Menjadikan Hewan Qurban Sebagai Wasilah

 
Nasihat Mbah Dullah agar Menjadikan Hewan Qurban Sebagai Wasilah
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta -  Suatu malam, di dalam sebuah rumah tua milik seorang Kiyai yang sangat kharismatik, di lingkungan Pondok Pesantren Mathali'ul Huda Poesat Kajen, Margoyoso, Pati. Malam itu adalah malam 10 Dzulhijjah, malam Hari Raya Idul Adha. Semua santri telah pulang dan hanya segelintir santri yang masih tinggal di Pondok, termasuk aku yang merasa pedih, kesepian, sendirian tak punya teman. Mau tidur di kamar, takut. Musholla PMH Poesat yang biasanya ramai juga tampak lengang. Akhirnya, aku putuskan untuk tidur di ruang tamu rumah Kyaiku, Simbah KH. Abdullah Zen Salam.

Kurapatkan tubuh di dinding rumah Mbah Dullah yang langsung berdampingan dengan kamar beliau. Dalam batinku, aku merasa nyaman, dan tak lagi takut, karena aku merasa, di sampingku ada kyaiku yang menemani, meskipun terpisah oleh dinding yang terbuat dari triplek ini.

Tepat pukul 22.00 WIB, kulihat jam di ruang tamu Mbah Dullah itu berdetik. Sayup-sayup, saat merebahkan tubuhku di ruang tamu ndalem beliau. Aku mendengar Kiyaiku sedang bercerita, entah dengan siapa di sana? Suaranya jelas dalam hening malam yang sesekali terselip suara sendu takbir Idul Adha.

Mbah Dullah ngendika kepada seseorang yang beliau ajak bicara, “Le, kowe ngerti apa sing pualing ajaib ning Hari Qurban?” (Nak, tahukah kamu apa hal yang paling ajaib di Hari Raya Qurban?)

“Mboten Mbah,” (Tidak Mbah) jawab lelaki itu. Dari suaranya, sepertinya ia masih muda.

“Kok ujug-ujug ana wedhus digawa Malaikat sangka langit?” (Kok tiba-tiba ada kambing dibawa Malaikat dari langit?) Tanya Mbah Dullah lagi.

“Apa sing ndadekna Gusti Allah mbatalke perintahe?” (Apa yang membuat Gusti Allah membatalkan perintahnya kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih Nabi Ismail?)

“Sing paling wigati, apa sing diucapke Nabi Ibrahim maring Gusti Allah? Sing ora dikrungu menungsa, nanging para Malaikat lan Gusti Allah krungu?” (Yang paling harus diperhatikan, apa yang sebenarnya diucapkan oleh Nabi Ibrahim kepada Gusti Allah? Yang tidak terdengar oleh manusia, namun Allah dan para Malaikatnya mendengarkannya?)

Seketika, suasana hening. Seorang lelaki yang diajak bicara oleh Mbah Dullah itu tidak menjawab. Aku pun mulai merapatkan telinga ke dinding triplek ruang tamu Kiyaiku. Demi mendengar secara jelas, kata demi kata, yang didawuhkan oleh Sang Guru. Suara beliau terdengar sangat khas. Terdengar begitu dalam, meski tak jarang terselip oleh batuk-batuk kecil. Mbah Dullah, semakin sepuh, semakin berwibawa.

“Kowe ngerti, Le? Sakdurunge Nabi Ismail disembelih, iku ning njero batin, Nabi Ibrahim ngendikan; "Ya Allah, jasad lan ruhe Ismail niku kagungane Panjenengan. Kula pasrahaken lan kula serahaken ruh lan jasade Ismail dumateng Penjenengan. Lan kanthi ridha Panjenengan, kula nyuwun jasad lan ruh ingkang langkung sae tinimbang Ismail,” (Tahukah kamu, Nak? Sebelum Nabi Ismail disembelih, di dalam relung hati yang paling dalam, Nabi Ibrahim berkata. Ya Allah, jasad dan ruhnya Ismail adalah milik-Mu. Aku pasrahkan, aku serahkan ruh dan jasad Ismail kepada-Mu. Dan dengan ridho-Mu ya Allah, aku memohon pengganti jasad dan ruh yang lebih baik daripada Ismail).

“Saknalika, Jibril sowan maring Gusti Allah. Lan saknalika, Gusti Allah merintahke maring Malaikat supaya gawa wedhus, kanggo ganthi pengorbanane Nabi Ibrahim lan Nabi Ismail. Iku termasuk mukjizate Nabi Ibrahim. Iku dadi pathokane Ilmu Haqiqat. Sak durunge ngamal apa wae, matura ning njero batin ndisik maring Gustimu Sing Maha Ghaib. Lan dadi pathokan kanggone wong sing arep nyembelih qurban. Kudu diangen-angen, nek qurban, iku dienggo apa daginge? Dititipi apa ruhe hayawan iku?”

(Seketika, Jibril menghadap Gusti Allah. Dan seketika, Gusti Allah memerintahkan Malaikat untuk membawa seekor domba, sebagai ganti atas pengorbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Itu termasuk mukjizatnya Nabi Ibrahim. Hal tersebut dijadikan salah satu dasar dalam menjalankan Ilmu Haqiqat. Sebelum kita melakukan apa saja, hendaknya kita berucap di dalam hati kita, bermunajat kepada Gusti Allah Yang Maha Ghaib. Dan hal tersebut juga bisa dijadikan dasar bagi orang-orang yang hendak menyembelih qurban. Harus direnungkan baik-baik. Kalau berqurban itu untuk apa dagingnya? Dititipi apakah ruhnya hewan qurban itu?)

Lelaki itu lalu bertanya, “Maksude pripun nggih Mbah?” (Maksudnya gimana ya, Mbah?)

Mbah Dullah kemudian menjawab dengan suara liirih, “Ngene lho Le….” (Begini lho, Nak…)

Aku semakin penasaran dengan dawuh Mbah Dullah. Lalu, aku pun duduk, supaya bisa mendengar lebih jelas setiap kata yang diucapkan Sang Kekasih Allah itu.

“Nek kowe qurban, sakdurunge wedhus mbok sembelih, cekela wedhus iku, karo ucapna ning njero batin, matur maring Gusti Allah. Ya Allah, kula qurbanke wedhus niki, minangka ngurmati Nabi Ibrahim lan Syari’ate Nabi Muhammad. Daginge minangka sedekah kula. Iki bisa mbok ucapna sedekah sing mbok karepke. Lan ucapke; kula baliaken ruhe wedhus niki kanthi hurmat supados nyangking dunga ingsun supados kula..., niki mbok sebutke hajatmu Le.”

(Jika kamu berqurban, sebelum kambing disembelih, peganglah kambing itu, seraya berucap di dalam batin, munajat kepada Gusti Allah. Ya Allah, aku qurbankan kambing ini, lantaran menghormati Nabi Ibrahim dan Syari’atnya Nabi Muhammad. Dagingnya merupakan sedekahku. Ini bisa kamu ucapkan jenis sedekah yang kamu inginkan. Lalu ucapkan, aku kembalikan ruh kambing ini dengan hormat supaya membawa doa-doaku, supaya aku..., ini sambil kamu sebutkan hajatmu di dalam hati, Nak!)

Suasana kembali hening. Beberapa waktu kemudian, suara Mbah Dullah kembali terdengar.

“Ruh iku bali maring Gustine. Sowan lan ngungkapna karepe sing nyembelih. Berarti, nyawa kewan qurban iku iso dadi wasilah dungomu.”

(Ruh hewan qurban itu kembali kepada Pemiliknya. Menghadap dan mengungkapkan keinginan orang yang berqurban. Berarti, nyawa hewan qurban itu bisa menjadi wasilah bagi doa-doamu.)

Brakkk..., Kreek... 

Terdengar suara pintu ruang dalam rumah Mbah Dullah terbuka. Dan selang beberapa saat, terdengar suara erangan mesin Mercy Taiger Kiyaiku berderu.

Dalam batinku, “oh Kiyaiku pasti mau ke Makam Mbah Mutamakkin.” Aku membatin begitu. Dan benar saja, ternyata Mbah Dullah menjalani rutinitas beliau tiap tengah malam, ziarah makam Mbah Mutamakkin.

Aku mulai tak bisa tidur lagi, karena rasa takut sendirian mulai menerkamku. Kuputuskan untuk duduk dan mulai merenungkan segala yang diucapkan Kiyaiku tadi. Dalam hati, aku ingin supaya kelak bisa berqurban.

Dan Alhamdulilah, setiap Idul Adha, aku selalu mengingat dan mempraktikkan ajaran Kiyaiku. Luar biasa. Alhamdulillah, semua hajatku, pelan namun pasti, satu demi satu dapat terwujud. Terimakasih Ya Allah. Terimakasi Ya Rasulullah Muhammad. Terimakasih Mbah, Mbah Dullah Salam, Al-Fatihah. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 12 Juli 2022. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Bambang Kurnia Wijaya (Alumnus PMH Pusat Kajen)

Editor: Hakim