Tentang Sedekah Mayit, Kiai Marzuki Mustamar: Nggak Perlu Kafir-Kafirkan Perkara Tradisi

 
Tentang Sedekah Mayit, Kiai Marzuki Mustamar: Nggak Perlu Kafir-Kafirkan Perkara Tradisi
Sumber Gambar: Kiai Marzuki Mustamar (Foto: Ist)

Laduni.ID, Jakarta- Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, Kiai Marzuki Mustamar dalam satu ceramah menyebutkan bahwa esensi sedekah mayit antara di Arab dan Indonesia sejatinya sama saja. Tujuannya agar kebaikan dan doa keluarga yang ditinggalkan, diniatkan untuk mereka yang telah meninggal dunia.

“Menyikapi hadits Bukhari, supaya sedekah pahalanya untuk bapak ibu yang meninggal, sama, syariatnya sama. Di Saudi dikerjakan, di Yaman dikerjakan, di Indonesia juga dikerjakan. Caranya di sana, makanan itu (Ayam, Kurma, dll) dibungkus dengan roti, kemudian dibagikan ke orang-orang yang kembali dari Masjidil Haram. Niatnya untuk bapak ibu yang sudah meninggal, istilahnya shadaqah mayit,” tutur Kiai Marzuki, dikutip dari penggalan video unggahan IG @ulama.nusantara.

“Kadang-kadang, karena itu dibungkus kresek atau plastik, dari baknya truk itu lho dilempar-lemparkan kepada jama'ah yang kembali dari Masjidil Haram. "Shadaqah mayit, shadaqah mayit, shadaqah mayit", pikir saya "Oh ada selamatan ternyata", ada kirim doa begitu lho. Namanya shadaqah mayit. Nah menjalankan haditsnya Nabi, bersedekahlah agar pahalanya untuk bapak ibu yang telah meninggal, sama, syaratnya sama,” sambung Pimpinan Pondok Pesantren Sabiilul Rosyad, Gasek, Malang, Jawa Timur.

Hanya saja, lanjut Kiai Marzuki, tradisi Saudi dengan Indonesia itu berbeda dalam hal menjalankan sedekah mayit tersebut. Dosen di Fakultas Humaniora dan Budaya UIN Maliki Malang itu mengatakan, budaya Indonesia, terutama kultur masyarakat Jawa tidak seperti tradisi di Saudi.

“Namun, karena di sini ini nasinya ada kuahnya, nggak bisa meniru Saudi yang dilempar-lemparkan dari atasnya bak truk itu, "Shadaqah mayit, shadaqah mayit", nggak bisa. Jadi, kiai-kiai Indonesia senangnya "ngiras ngirus" (mengerjakan pekerjaan sambil mengerjakan pekerjaan yang lain). Acaranya menjalankan hadits Bukhari, kirim do'a, shadaqah untuk bapak ibu. Tapi, kiai Indonesia mengerti betul bahwa orang Jawa kalau diundang makan pasti hadir, kemrubut,” terang Kiai Marzuki.

Penulis Kitab Al-Muqtathafat li ahl al-Bidayat itu menjelaskan, tradisi itulah yang di sejumlah kesempatan menjadi momen menjalani misi dakwah. “Nah, karena orang Jawa kalau diundang makan pada datang, kesempatan emas untuk diajak berdzikir, sebab orang Abangan belum mengerti Islam. Kesempatan, "Mas, coba diterangkan caranya wudlu", akhirnya ada ceramah dikit-dikit, begitu lho mas. Sehingga, niatnya sama-sama untuk kirim doa,” ulas Kiai Marzuki.

Ia menekankan, bahwa ada sebagian orang muslim yang salah kaprah menilai tradisi itu dan praktik sedekah mayit. “Kalau orang Jawa, orang diundang kemudian diajak dzikir sedikit, terus diberikan ceramah. Nah nasinya karena kuah rawon, ya cuma diberikan gitu saja. Itu bukan beda syariatnya, tapi beda tradisi. Tolong para hadirin, jadi nggak perlu lah kita itu kafir-kafiran perkara (tradisi),” pungkas Kiai Marzuki.

Sumber tulisan : IG @ulama.nusantara

Editor : Ali Ramadhan