Kisah Nyata, Amal Baik yang Dibalas Berlipat  

 
Kisah Nyata, Amal Baik yang Dibalas Berlipat  
Sumber Gambar: Ilustrasi/Laduni.ID

Laduni.ID, Jakartan – Pada satu akhir pekan di Hong Kong, saya berencana liburan ke Shenzhen. Setelah sampai di apartemen saya mandi dan bersiap-siap. Kemudian sore harinya saya pergi ke restoran untuk makan malam. Semua teman saya hubungi agar bisa menemani saya di akhir pekan ini, namun tidak ada yang bisa menemani karena hari Sabtu adalah hari keluarga. 

Di jalan saya melihat seorang anak perempuan yang menunduk dan duduk dengan kedua lututnya. Di depannya ada karton bertuliskan “Saya pelajar miskin. Saya perlu buku dan kaset paket bahasa Inggris seharga 300 yuan.”

Saya perhatikan ada beberapa orang yang memberinya uang receh. Saya pun pergi ke toko buku dan membeli paket belajar Bahasa Inggris untuk anak sekolah. Setelah itu akupun menghapiri anak tersebut dan meletakkan buku paket yang sudah kubeli tepat di depannya.

Melihat ada sebuah buku paket belajar Bahasa Inggris tergeletak di depannya, anak tersebut pun mendongakkan kepalanya. Menatap dalam ke mataku, dan mengucapkan, “Xie-xie (terima kasih),” katanya halus dengan air mata yang mengalir.

Bu yong xie (sama-sama),” kata saya ramah. “Ni chi le? (kamu sudah makan?)” tanyaku lembut padanya.

Meiyou (belum),” katanya menunduk.

Akhirnya saya berniat mengajaknya untuk makan bersama, awalnya dia menolak, tapi akhirnya dia mau ikut makan bersamaku. Akhirnya kami pergi ke sebuah restoran terdekat. Ketika sampai di restoran, anak itu berhenti tepat di depan pintu dan sambal berkata, “Buyao, xie-xie, (tidak, terima kasih).”

Saya menghampirinya dan mengatakan bahwa semua makanan yang akan ia makan nanti semuanya sudah dibayar. Akhirnya anak itu mau untuk masuk.

Tahun 2011

Pagi-pagi sekali aku harus terbang dengan pesawat pertama ke Beijing untuk menghadiri rapat, padahal malamnya aku hanya tidur dua jam dan paginya belum sempat sarapan. Badan memang terasa kurang fit tapi semangatku untuk memenuhi janji tak menghalangiku untuk terbang.

Ketika di dalam pesawat terasa kepalaku sakit dan pada waktu bersamaan perut terasa mual. Ada dorongan ingin muntah namun tak bisa keluar. Keringat dingin membanjiri keningku. Sekonyong terasa gelap disekitarku. Ketika aku sadar aku sudah berada dirumah sakit Bandara Beijing. Disampingku nampak seorang wanita yang nampak kawatir namun berusaha tersenyum. Kulihat wanita itu bersegera keluar dari ruangan. Tak berapa lama dokter datang bersama wanita itu menemuiku.

“Anda terkena asam lambung,” kata dokter itu. “Saya harap anda dapat istirahat di rumah sakit ini sampai besok. Bila besok keadaan semakin membaik, anda bisa pulang,” lanjut dokter itu dengan ramah dalam bahasa inggris yang sangat sempurna. Setelah dokter itu berlalu, wanita itu tetap duduk disampingku, dengan ramah wanita itu berharap agar aku dapat segera sembuh. Dia berjanji akan datang lagi keesokan harinya. Dia menggunakan seragam pramugari. “Oh, ini standar pelayanan maskapai penerbangan. Aku kagum,” kataku dalam hati.

Keesokan harinya keadaanku sudah membaik. Relasiku di Beijing berjanji akan menjemputku di rumah sakit untuk diantar ke Hotel. Ketika aku menanyakan Bill biaya rumah sakit, petugas rumah sakit mengatakan bahwa semua sudah dibayar. Aku beranggapan relasiku yang sudah membayar.

Ketika di lobi rumah sakit, “Terimakasih karena sudah membantu biaya rumah sakit,” kataku kepada relasi yang menjemputku.

“Saya tidak membayar biaya rumah sakit kamu,” jawabnya yang nampak bingung.

“Lantas siapa yang membayar? Apakah ini atas tanggungan maskapai penerbangan?”

“Tidak, tidak mungkin! Karena kamu bukan korban kecelakaan pesawat.”

“Lantas siapa?”

Relasiku hanya mengangkat bahu.

My brother,” terdengar suara memanggilku dari arah belakang. Nampak seorang wanita tersenyum kearahku dan disampingnya ada wanita dan pria setengah baya. “Kenalkan ini, kedua orang tua saya,” kata wanita itu. Aku masih bingung. Karena kebingungan terhadap wanita itu sudah ada sejak aku siuman namun entah kenapa aku tak sempat bertanya namanya. Aku hanya berprasangka wanita itu adalah petugas dari maskapai penerbangan yang memang ditugaskan untuk melayani penumpang. Wanita itu berusaha membangkitkan memori saya tentang dia. Bahwa dia adalah wanita yang enam tahun lalu saya beri satu set alat belajar bahasa inggeris, di Shenzhen.

“Putri saya bercerita banyak tentang anda yang memberinya alat belajar bahasa inggeris. Kami tidak punya cukup uang untuk membelinya namun kesungguhan hatinya dalam doa, ternyata Allah mengirim manusia seperti anda. Cita-citanya menjadi pramugari tercapai juga, kami bangga dengan dia. Terimakasih,” Oh ternyata pria setengah baya itu adalah ayah dari wanita ini, yang enam tahun lalu pernah bertemu denganku di Shenzhen.

“Anda masih mengingat saya,” tanyaku. Karena aku sendiri sudah lupa wajah wanita itu.

“Waktu saya dengar kabar ada penumpang yang pingsan di ruang kelas bisnis, saya sempat melirik dari ruang kelas ekonomi. Saya langsung mengenal anda. Saya memberi tahu teman-teman crew pesawat bahwa anda adalah saudara saya. Bagaimana saya bisa melupakan anda. Tidak mungkin,” katanya sambil tersenyum.

“Jadi anda yang membawa saya kerumah sakit ini?” kataku.

“Ya,” katanya dengan tetap berhias senyum manis.

“Anda pula yang membayar bill?”

“Ya”

“Kenapa?”

“Anda adalah saudara muslim saya. Sudah kewajiban saya untuk berbuat kepada saudara saya sendiri, apalagi sedang terkena musibah. Bukankah begitu agama kita mendidik. Bukankah begitu kata anda tempo hari?!” kata wanita itu sambil menyerahkan secarik kertas. “Dikertas ini ada tulisan tangan anda yang selalu saya simpan. Ingatkah anda?” lanjut wanita itu sambil menyerahkan secarik kertas itu.

Aku mengambil kertas itu dan membacanya “Kamu adalah saudari muslim saya dan sudah menjadi kewajiban saya membantu. Terimalah titipan dari Allah ini. Semoga bermanfaat membantumu meraih cita-cita,” ya, itu memang tulisan tanganku dan yang kutulis enam tahun lalu, di kertas pembungkus. Secarik kertas pembungkus itu masih nampak baru dan tidak lusuh. Memang wanita itu menyimpan kertas berisi tulisan itu dengan hatinya.

Kami berpisah dan setelah berlalu aku baru sadar lupa menanyakan nama dan alamatnya. Namun beberapa bulan kemudian dia menghubungi saya via email dan akhirnya persahabatan terjalin.


Editor: Daniel Simatupang