Mbah Moen itu Waliyyun min Awliyaillah

 
Mbah Moen itu Waliyyun min Awliyaillah
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Subuh pagi tadi (6/8/2019) mungkin akan jadi subuh yang sulit dilupakan dalam hidup saya. Saat bangun agak terlambat sekitar pukul 04.00 waktu Saudi. Entah kenapa, saat terjaga saya reflek bicara sendiri dengan sedikit teriak, "Mbah Moen itu haji setiap tahun seperti sahabat Abdullah ibnu Umar" hingga seluruh isi kamar ikut bangun. Ya, mungkin karena semalam sebelum tidur saya kepikiran isi buku Kiai Ali Musttafa "Haji Pengabdi Setan" yang isinya mengkritik orang yang setiap tahun berhaji dan tidak punya kepedulian sosial.

Semuanya tampak biasa saja sebelum saya pergi ke kamar mandi dan berita wafatnya Mbah Moen mulai bersliweran di WAG (Whatsapp Group). Masyaallah, lutut ini rasanya lemas, antara percaya dan tidak, kiai yang saya idolakan sejak kecil itu benar wafat? Tak lama pesan dari ayah saya masuk, isinya suruh cepat ke RS untuk membantu sebisanya, saya lekas berangkat meski tahu di sana saya pasti tidak bisa bantu apa-apa. Syukurlah saat sampai sudah banyak yang membantu termasuk kolega saya di DPR RI yang lama tinggal di Mekkah, H. Mukhlisin dan Menteri Agama.

Mbah Moen adalah satu di antara sedikit kiai yang saya kenal sejak kecil. Kiai yang selalu semangat bercerita bahwa keluarga kami adalah kerabatnya dan memanggil ayah saya dengan sebutan paklik (paman) walaupun usianya jauh lebih tua. Keluarga kami di Sidoarjo dan Keluarga Mbah Moen di Sarang memang punya leluhur yang sama yaitu Mbah Muhdlor dan Mbah Syamsiyah.

Saat saya SD di awal 90-an Mbah Moen sering hadir ceramah di acara haul Mbah Muhdlor. Dan bagian cerita Mbah Moen yang paling saya suka adalah ketika Mbah Muhdlor setiap Jumat pergi Shalat Jumat ke Makkah hanya naik sampan. Jadi wajar kalau Mbah Moen suka pergi ke Makkah untuk Haji, lha wong mbahnya saja pergi ke Makkah setiap Jumat.

Mayoritas santri Jawa Timur dan Jawa Tengah adalah pengagum Mbah Moen, karena keluasan ilmunya yang masyhur, tak terkecuali ayah saya. Siapa yang tidak ingin anaknya dididik oleh kiai yang ahli tafsir, fikih, hadis, nahwu-shorof sekaligus seorang sufi seperti Mbah Moen. Di awal 90-an, kali Mbah Moen ke Sidoarjo ayah saya selalu ditanya siapa anaknya yang mau mondok di Sarang, tapi ayah saya tidak menjawab karena anaknya masih kecil-kecil, lebih-lebih kalau ingat susahnya santri di Sarang yang untuk mandi-cuci harus naik bus. Waktu berjalan dan takdir bicara saya tidak pernah mondok di Mbah Moen, tapi saya berharap tetap dicatat sebagai santri beliau meskipun hanya 1-2 kali pernah ngaji tafsir Jalalain hari Minggu.

Saya percaya bahwa Mbah Moen ini adalah ulama yang thariqah utamanya adalah ngaji dan mendidik santri (ta'lim wa ta'allum), meskipun saya pernah mendengar beliau ambil wirid thariqah Qadiriyah-Naqsyabandiyah dari Mbah Romli Tamim, khabar lain mengatakan beliau juga mengambil ijazah wirid thariqah dari masyayikh berbagai thariqah di Mekkah, Mesir dan Syria. Tapi yang perlu digarisbawahi, yang menjadi suluk beliau sehari-hari ya mengajar dan mendidik santri, dan itulah thariqah yang utama sedangkan wirid-wirid itu hanya membantu saja.

Soal pentingnya ngaji ini saya punya pengalaman khusus dengan beliau. Suatu hari kira-kira tahun 2012-an beliau mendatangi acara di pondok kami di Lebo, Sidoarjo, beliau singgah di gedung sekolah pondok baru, yang kata orang mewah. Beliau bilang ke saya dan kakak saya, "yang penting tidak lupa mabda'nya tujuannya…" Saya faham yang dimaksud beliau adalah ngaji, karena sedang musim banyak pondok punya fasilitas sekolah bagus tapi ngajinya kalah.

Selain itu karena Mbah Moen adalah saksi hidup pondok Lebo lama peninggalan Mbah Muhdlor yang sederhana, beliau pernah cerita pondoknya angkringan bambu di dekat sungai yang kalau musim banjir tidak bisa ditempati, tapi santrinya rajin-rajin mengaji.

Selain kegigihan beliau mendidik santri dan menyebarkan ilmu, hal lain yang menonjol dari Mbah Moen tentu saja politik. Beliau tercatat pernah jadi anggota DPR, MPR, menjadi fungsionaris partai dan aktif sebagai jurkam (juru kampanye) di era pemilu tertutup. Saya tidak tahu apakah Mbah Moen pendukung Imam Ghazali, dalam statemennya yang terkenal Imam Ghazali pernah berkata bahwa agama dan politik adalah saudara kembar, tapi memang biasanya seorang tokoh agama yang berpengaruh tidak bisa lepas dari tanggung jawab politik, sebagaimna  tokoh politik yang kuat dan mengakar biasanya punya cantolan anasir agama. Jadi tidak heran kalau beliau sampai usia sepuhnya masih aktif mengikuti perkembangan bahkan mungkin terlibat dalam politik.

Soal keaktifan beliau di politik ini saya punya pengalaman manis dengan beliau, yaitu pada 1 Oktober 2014 saat pelantikan anggota DPR RI beliau datang sebagai undangan, saya sungkem dan memperkenalkan diri, beliau melihat saya sambil berkata, “apik cung, sayange kok ora songko PPP,” (baik nak sayangnya kok tidak dari PPP) disusul senyum karena beliau tahu saya pasti dari PKB. Meskipun demikian tentu saja itu adalah energi positif buat saya sebelum mengambil sumpah dan janji sebagai anggota DPR RI.

Banyak orang percaya Mbah Moen adalah seorang kekasih Allah sejak muda, terutama karena yang menyatakan itu pertama kali adalah Mbah Hamid Pasuruan yang masyhur bil wilayah. Mbah Hamid mengatakan Mbah Moen sebagai waliyyun min awliyaillah (seorang kekasih diantara kekasih-kekasih Allah) atau dalam kesempatan lain mengatakan Mbah Maimoen wali nom (Kiai Maimoen wali muda). Saya sendiri yakin sekali dengan hal itu dan lebih mantap lagi ketika mengantar guru saya Syaikh Yusri Jabr al-Hasani mengunjungi Mbah Moen di Sarang dan setelah itu beliau mengatakan Kiai Maimoen min ahl haqoiq (Kiai Maimoen termasuk ahli hakikat).

Memang tidak banyak cerita karomah Mbah Moen selain keistiqomahan dan keluasan samudra ilmunya. Meminjam istilah ayah saya, “kewaliane ketutupan karo kekiaiane,” (kewaliannnya tertutup keulamannya) maksudnya adalah karomahnya sebagai wali tidak muncul karena Allah lebih suka melihat beliau bermanfaat untuk umat dengan ilmunya. Sebagaimana Imam Syafi'i dan Imam Ahmad yang semasa hidup masyhur sebagai ulama' dan setelah wafat disepakati sebagai awliya'.

Tetapi kemarin di hari beliau wafat, Allah nyata-nyata menunjukkan Mbah Moen adalah kekasihnya yang sesungguhnya. Saya belum bisa membayangkan akan ada orang yang jenazahnya disholati dan didoakan seperti Mbah Moen di kemudian hari. Entah berapa juta manusia yang menshalati jenazah Mbah Moen di Mekkah dan berapa juta orang yang sholat ghoib untuk beliau di Indonesia.

Semoga Allah menempatkan beliau di tempat terbaik. Memantaskan kita untuk meneruskan perjuangannya dan mengumpulkan kita kelak dengannya bersama Rasulullah SAW. Amin

Mekkah, 6 Agustus 2019

Syaikhul Islam Ali

Bumi Shalawat


Editor: Daniel Simatupang