KA. Sadoellah Nawawi dan Semboyan "Berjuang Ikhlas dan Tanpa Pamrih"

 
KA. Sadoellah Nawawi dan Semboyan
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Belanda yang saat itu diboncengi oleh sekutu berniat untuk mengambil kembali Indonesia. Saat itulah KA. Adoellah Nawawi memiliki peran sentral dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, di usia 24 tahun beliau telah menjadi komandan Kompi II Divisi Timur Front Perlawanan Hizbullah. 10 Oktober 1945 sampai 1 Januari 1946 beliau berjuang Bersama 250 pasukan hizbullah yang bermarkas di Sidogiri.

Sedari kecil, KA. Sadoellah Nawawi telah menujukkan keinginannya untuk berjuang melawan penjajah. Di usia yang sangat belia, beliau sudah sangat mahir menggunakan pegras (sejenis pistol), setiap pagi ketika duduk santai di teras rumah, beliau selalu melakukan hobinya menembak. Tangkai buah manggalah yang kerap dijadikan sebagai sasaran menembak, dan tentu saja beliau jarang meleset dalam urusan tembak-menembak.

Anak kedua dari pasangan KH. Nawawie bin Noerhasan dan Nyai Asyfi'ah, yang sering disebut Nyai Gondang ini sangat senang bila ada santri yang menjadi tentara (pejuang) karena sesuai dengan karakter dirinya. “Kenapa santri tidak ada yang mau jadi tentara?” kata beliau.

Strategi yang beliau lakukan adalah dengan bergerilya, mulai dari Sidoarjo, Semarang, Yogyakarta, dan tanah Betawi beliau tempuh dengan bergerilya. Semua pasukan beliau angkut menggunakan truk, sedangkan beliau hanya menunggangi kuda dan memegang cemeti, sedangkan senjata andalannya adalah keris dan pegras.

KA. Sadoellah Nawawi selalu berada di barisa paling depan, itu beliau lakukan untuk membakar semangat pasukan seraya memekikkan kalimat takbir, “Allahu Akbar!!” Setiap kalimat takbir menggema di medan tempur, setiap itulah terjadi keanehan yang membuat tentara belanda ketakutan seperti langit gelap, tiba-tiba cuaca berubah, dan sebagainya. Bersama KHR. As’ad Syamsul Arifin Situbondo yang saat itu menjadi santri sekaligus anak buahnya, beliau dengan berani memasuki gudang senjata milik belanda yang berlokasi di Pasuruan.

Pada 23 November 1945, di Surabaya tepatnya di Wonokasian telah meletus perang antara arek-arek Surabaya melawan sekutu dan saat itulah KA. Sadoellah bersama pasukan datang membantu untuk mempertahankan tanah Surabaya. Perang yang berlangsung selama 20 hari itu banyak menelan korban dari pihak pejuang, ribuan pejuang bergelimpangan terkena mortar dari kapal-kapal sekutu. Kejadian itulah yang kemudian hari dikenal sebagai Hari Pahlawan.

Pada kurun waktu Juli 1947-Desember 1948 Belanda melakukan serangan besar-besaran di Malang, Pasuruan, Probolinggo, dan Bondowoso. Saat itu Belanda berhasi menjebol pertahanan di Pandaan, Pasuruan dan terus bergerak menuju Sidogiri. Sesampainya di Pelinggisan, Belanda ditahan oleh pejuang Kompi IV pimpinan Kapten Abd. Latief dan Mahfud Juhfri, namun pertahanan tersebut berhasil dijebol. Hal tersebut diketahui oleh KA. Sadoellah melalui mata-matanya, untuk menghindari pasukan Belanda, KA. Sadoellah memutuskan untuk bergabung dengan Komandan Batalyon Samsyul Hisyam di Kepanjen, Malang.

Sayangnya, setibanya Belanda di Sidogiri, Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri, KH. Abdul Djalil bin Fadil yang sekaligus kakak ipar KA. Sadoellah gugur ditembak oleh Belanda. Mendengar kabar tersebut KA. Sadoellah merasa sedih dan berniat pergi sendirian melawan Belanda, namun KH. Abd. Adzim, kakak iparnya yang lain menghalangi niatnya itu. KA. Sadoellah juga sempat berkata pada temannya terkait dengan wafatnya sang kakak ipar, beliau berkata, “Seandainya Indonesia belum merdeka saya juga ingin mati ditembak Belanda, tapi asalkan Indonesia merdeka."

Tingginya semangat nasionalisme membuat beliau begitu mencintai Indonesia. KA. Sadoellah memiliki semboyan yang selalu dipegang, “Berjuang Ikhlas dan Tanpa Pamrih” itulah yang selalu beliau jalankan dimanapun berada. Hal itu terbukti ketika ada rasionalisasi pejuang kemerdekaan untuk bergabung pada satu wadah yang dinamakan Tentara Nasional Indonesia (TNI), KA. Sadoellah menolak untuk gabung di TNI. Beliau juga enggan untuk mengambil dana pensiun karena ditakutkan perjuangan yang telah lama lakukan menjadi tidak ikhlas demi membela tanah air. Ternyata hal tersebut diikuti oleh sebagian pasukan beliau.

Wafat pada 11 Muharram 1392 H/25 Februari 1972 M tidak menutupi siapa beliau sesungguhnya. Di hari wafatnya, langit Sidogiri yang biasa cerah dan panas tiba-tiba saja menjadi hujan yang lebat. Sampai-sampai KH. Cholil Nawawi, kakak KA. Sadoellah, berkata, “Kok bisa begini Sadoellah ini? Saya tidak menyangka Sadoellah punya kekeramatan seperti ini. Saya belum tentu seperti ini.”

Beliau memperistri Nyai Sa'diyah binti KH. Syamsul Arifin dari Bondowoso, dan dari pernikahannya tersebut beliau meninggalkan seorang putri dan seorang putra, Ning Dewi Hikmatus Sa'diyah dan Mas d. Nawawy Sadoellah.

Ya Allah, semoga perjuangan dan jihad beliau mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia ini diterima dan diridhoi oleh Engkau. Dan semoga terus lahir generasi-generasi pejuang yang ikhlas dan tanpa pamrih seperti beliau. Ya Allah, kita sebagai santri semoga diberi kekuatan untuk senantiasa memperjuangkan kebenaran dan menumpas kebatilan. Amin ya Rabbal Alamin

Disadur dari Santri Sidogiri


Editor: Daniel Simatupang