Fakta Sejarah, NU Tetap Istiqomah Berjuang untuk Menjaga Islam dan NKRI

 
Fakta Sejarah, NU Tetap Istiqomah Berjuang untuk Menjaga Islam dan NKRI
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Sewaktu NU mengadakan Muktamar ke-20 di Medan pada tahun 1956, daerah itu sedang bergolak akibat tindakan yang dilakukan oleh Dewan Gajah pimpinan Kol. Simbolon. Di Sumatera Barat, Dewan Banteng pimpinan Kol. Ahmad Husein juga melakukan tindakan sama, sehingga Muktamar berlangsung di bawah dentuman meriam dan tekanan bayonet. Untungnya semua hambatan bisa diatasi. Muktamar selesai dengan lancar, meski beberapa peserta termasuk KH. Idham Cholid dan Djamaluddin Malik sempat tertahan.

Selesai Muktamar, NU dikejutkan lagi dengan rencana Masyumi untuk menarik para menterinya di kabinet. NU berusaha keras membujuknya agar Masyumi tetap bertahan di kabinet, sebab kalau posisi itu ditinggalkan, maka akan diduduki PKI. Nasihat NU tidak digubris. Masyumi tetap keukeuh menarik diri dari kabinet.

Mengingat keadaan negara waktu itu sedang genting, maka Presiden Soekarno pada tanggal 14 Maret 1957, mengumumkan negara dalam keadaan bahaya (SOB). Padahal saat itu sangat dibutuhkan keamanan mengingat para wakil rakyat di Konstituante sedang giatnya menyusun Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Dengan demikian, kehidupan sosial politik menjadi terganggu. Seluruh peraturan normal tidak berjalan lagi dalam mengatur kehidupan Negara.

Persis tengah malam pada 15 Februari 1958, Kyai Wahab terkejut bukan main mendengar Masyumi bergabung dengan pemberontak Dewan Banteng dan Dewan Gajah yang memproklamirkan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Tanpa menunggu waktu lama, Rais 'Aam PBNU itu segera mengutus santrinya untuk memanggil Ketua Umum PBNU KH. Idham Chalid dan yang lainnya untuk melakukan koordinasi.

Ketika mendapat panggilan dari Rais 'Aam, tanpa  berpikir panjang KH. Idham Cholid segera bangun dan bergegas berangkat. Tentu saja istrinya kaget di tengah malam seperti itu sang kyai hendak pergi.

Kyai Idham hanya bilang pada istrinya, “Saya sedang mendapatkan tugas dari Pangti (Panglima Tertinggi),” demikian Kyai Idham biasa menyebut Rais 'Aam. Sang istri segera mafhum terhadap watak Pangti-NU yang cerdik dan tak kenal lelah itu, sehingga harus rela membiarkan suaminya pergi.

Ketika sampai di tujuan, ternyata di sana telah berkumpul beberapa orang. Kyai Wahab segera menyambut Kyai Idham Chalid dan berkata, “Celaka Masyumi melakukan pemberontakan dan membentuk emerintahan sendiri dengan cara kekerasan dengan memproklamirkan PRRI di Sumatera Barat”

“Wah ini sudah jelas bughot, tidak bisa dibenarkan, lalu apa yang mesti kita lakukan Kiai?” tanya Kyai Idham Cholid

“Kita harus segera membuat statement (pernyataan/sikap), agar tidak didahului oleh kelompok Syuyuiyin (PKI), karena PKI akan memanfaatkan peristiwa ini untuk menggebuk Masyumi dan umat Islam semuanya. Karena itu, kita mengeluarkan pernyataan sikap ini dengan dua tujuan. Pertama, agar PKI tahu bahwa tidak semua umat Islam setuju dengan Pemberontakan PRRI. Kedua, agar Dunia Internasional jangan sampai menganggap bahwa Pemerintah Pusat sudah sepenuhnya dikuasai PKI, sebagaimana dipropagandakan Masyumi dan PSI untuk menggalang dukungan Internasional,” tandas Kyai Wahab dengan yakin.

“Kapan statement kita keluarkan?” tanya Kyai Idham kembali.

“Malam ini kita rapat untuk menyusun draftnya, besok pagi sudah harus diumumkan,” jawab Kyai Wahab dengan tegas, layaknya seorang Pangti.

Walaupun NU selalu bergandengan tangan dengan Masyumi, tetapi soal pemberontakannya itu tetap tidak setuju. Bagi NU, Masyumi merupakan mitra penting dalam menghadapi PKI. Karena itu ketika Masyumi dibubarkan tahun 1960, akibat Pemberontakan PRRI itu, NU merasa sangat kehilangan mitra perjuangan, sehingga NU berjuang sendiri melawan PKI dalam Kabinet dan Nasakom.

Tetapi Sejarawan justru berbicara lain. NU dituduh ikut mendorong pembubaran Masyumi, kemudian dituduh oportunis karena ikut masuk dalam Pemerintahan Bung Karno. Padahal di sana NU tidak hanya bertopang dagu menikmati kekuasaan, melainkan berjuang sendirian menjaga marwah Islam, menyelamatkan keutuhan negara dan termasuk menyelamatkan Bung Karno dari cengkeraman PKI yang sudah di depan mata mengancam. Begitu seterunya peran NU yang selalu istiqomah dalam berjuang. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 10 Maret 2020. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Abdul Mun’im DZ

Editor: Hakim