Bagaimana Hukum dan Kriteria Tasyabbuh? Ini Penjelasannya

 
Bagaimana Hukum dan Kriteria Tasyabbuh? Ini Penjelasannya
Sumber Gambar: Ilustrasi/Pixabay

Laduni.ID, Jakarta – Para ulama membahas hukum menyerupai (tasyabbuh) terhadap non-muslim. Konteks yang mereka bahas kala itu adalah pakaian khas non-muslim, “apakah boleh dipakai oleh muslim, atau tidak boleh, karena tasyabbuh itu?”

Di antara ulama yang membahas hal ini adalah Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur (1250 H-1320 H) dalam Bughyah al-Mustarsyidin dan Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari. Inti pembahasan mereka menegaskan bahwa mirip itu tak mesti sama. Oleh karena itu, kemiripan suatu tradisi antara non-muslim dan muslim, tak lantas meniscayakan tradisi itu dilarang, sesuai penjelasan dan standar tertentu.

Sayyid Abdurrahman dalam Bughyah al-Mustarsyidin menjelaskan senarai hukum tasyabbuh. Konteksnya – sekali lagi – masih tentang pakaian non-muslim. Menurut Mufti Hadramaut Yaman di masanya ini, tasyabbuh memiliki tiga dampak, yaitu adakalanya menyebabkan kufur, berdampak dosa, dan makruh. Berikut penjelasan beliau.

حَاصِلُ مَا ذَكَرَهُ العُلَمَاءُ فِي التَّزَيِّي بِزَي الكُفَّارِ أَنَّهُ إِمَّا أَنْ يَتَزَيَّا بِزَيِّهِمْ مَيْلاً إِلَى دِيْنِهِمْ وَقَاصِداً التَّشَبُّهَ بِهِمْ فِي شَعَائِرِ الكُفْرِ أَوْ يَمْشِيَ مَعَهُمْ إِلَى مُتَعَبَّدِهِمْ فَيَكْفُرُ بِذَلِكَ فِيْهِمَا وَإِمَّا أَنْ لاَ يَقْصُدَ كَذَلِكَ بَلْ يَقْصُدُ التَّشَبُّهَ بِهِمْ فِي شَعَائِرِ العِيْدِ أَو التَّوَصُّلَ إِلَى مُعَامَلَةٍ جَائِزَةٍ مَعَهُمْ فَيَأثَم وَإِمَّا أَنْ يَتَّفِقَ لَهُ مِنْ غَيْرِ قَصْدٍ فَيُكْرَهُ. (بغية المسترشدين, 248)

“Kesimpulan dari penjelasan para ulama mengenai hukum berpakaian dengan pakaian orang kafir adalah bahwa jika berpakaian dengan pakaian mereka karena condong kepada agama mereka dan bermaksud menyerupai mereka dalam simbol-simbol kekufuran, atau berjalan bersama mereka ke tempat ibadah mereka, maka dia kafir sebab melakukan hal itu. Apabila tidak bermaksud seperti itu, namun bermaksud menyerupai mereka dalam simbol-simbol hari raya mereka, atau mengantarkan (seorang muslim) pada muamalah yang boleh bersama mereka, maka dia berdosa. Apabila melakukan hal yang sama tanpa bermaksud menyerupai mereka, maka hukumnya makruh.”

Menurut keterangan tersebut, hukum “minimal” dalam tasyabbuh adalah makruh. Hal itu dengan syarat, seseorang melakukan hal yang sama itu namun tanpa berniat menyerupai non-muslim.

Kemakruhan memakai pakaian yang menjadi simbol non-muslim juga dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari. Namun beliau lantas mengutip pendapat Imam Malik yang menyatakan, tidak makruh bila tidak menjadi kekhususan pakaian non-muslim. Ibnu Hajar menjelaskan:

وَقَدْ كَرِهَ بَعْضُ السَّلَفِ لُبْسَ الْبُرْنُسِ لِأَنَّهُ كَانَ مِنْ لِبَاسِ الرُّهْبَانِ وَقَدْ سُئِلَ مَالِكٌ عَنْهُ فَقَالَ لَا بَأْسَ بِهِ قِيلَ فَإِنَّهُ مِنْ لَبُوسِ النَّصَارَى قَالَ كَانَ يلبس هَا هُنَا. (فتح الباري لابن حجر, 10/ 272)

“Sebagian ulama salaf menghukumi makruh memakai burnus (mantel bertudung kepala), karena itu merupakan pakaian pendeta. Imam Malik ditanya mengenai hukumnya, beliau menjawab tidak mengapa. Dikatakan pada Imam Malik, burnus itu merupakan pakaian orang-orang Nasrani. Imam Malik menjawab, pakaian itu (juga) dipakai di sini.”

Pada bagian lain kitab Fath al-Bari, Ibnu Hajar kembali menegaskan, jika sesuatu yang sama tersebut tidak menjadi kekhususan syiar non-Muslim, maka tidak mengapa. Beliau menjelaskan hal tersebut, tanpa menyinggung niat menyerupai atau tidak. Beliau menjelaskan:

وَإِنْ قُلْنَا النَّهْيُ عَنْهَا (عَنِ الْمَيَاثِرِ الْأُرْجُوَانِ) مِنْ أَجْلِ التَّشَبُّهِ بِالْأَعَاجِمِ فَهُوَ لِمَصْلَحَةٍ دِينِيَّةٍ لَكِنْ كَانَ ذَلِكَ شِعَارُهُمْ حِينَئِذٍ وَهُمْ كُفَّارٌ ثُمَّ لَمَّا لَمْ يَصِرِ الْآنَ يَخْتَصُ بِشِعَارِهِمْ زَالَ ذَلِكَ الْمَعْنَى فَتَزُولُ الْكَرَاهَة وَالله أعلم. (فتح الباري لابن حجر, 10/ 307)

“Jika kami katakan larangan memakai ‘mayatsir arjuwan karena menyerupai orang-orang Ajam, maka itu demi maslahat agama. Namun itu syiar mereka ketika, sedangkan mereka itu orang-orang kafir. Namun saat sekarang hal itu tidak menjadi kekhususan syiar mereka, maka alasannya menjadi hilang, sehingga tak makruh lagi, wallahu a’lam.” 

Dari beberapa keterangan tentang tasyabbuh ini dapat disimpulkan bahwa keberadaan sesuatu yang “dicurigai” bertasyabbuh, tidak dapat langsung dikatakan sebagai tasyabbuh yang meniscayakan hukum haram. Terlebih bila terjadi sekian perubahan, baik perubahan bentuk, motif, dan manfaat, menjadi syar’i.

Menyikapi hal-hal yang berpotensi tasyabbuh di tengah umat Islam, para ulama generasi dulu dan sekarang tidak ada yang memerintahkan agar hal itu dihilangkan atau diperangi.

Secara bijak para ulama menjelaskan, semua itu dikembalikan kepada niat tasyabbuh atau tidak, dan apakah sesuatu tersebut menjadi kekhususan non-muslim atau bukan. Apabila tidak menjadi kekhususan, apalagi tidak diniatkan untuk menyerupai non-muslim, sesuai penjelasan ulama sebelumnya, maka hukumnya tidak mengapa. Terlebih bila sudah terjadi perubahan cara, bentuk, dan fungsi. Wallahu a’lam.

Penulis: Kyai Faris Khoirul Anam


Editor: Daniel Simatupang