Potret Raksasa Genius dari Persia

 
Potret Raksasa Genius dari Persia
Sumber Gambar: Ilustrasi/Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta – Jika kita kembali telisik biografi-biografi pakar bahasa Arab, akan ditemui banyak sekali dari mereka adalah orang-orang Persia (Furs). Sebutlah, Sibawaih, Abu Ali al-Farisi, Abdul Qahir Al-Jurjani, Muhammad ibnu Abi Bakr Al-Razi, Imam Az-Zamakhsari, dan lain sebagainya.

Hampir kebanyakan penjaga ilmu-ilmu Islam adalah orang-orang Persia. Di Nahwu ada Sibawaih, di Balaghah ada Abdul Qahir Al-Jurjani. Di Tafsir ada Imam Az-Zamakhsari, Fakhruddin Al-Razi, dan Qadhi Al-Baidhawi. Di Tasawwuf, ada Imam Junaid al-Baghdhadi, dan Imam Al-Ghazali. Di Mantiq ada Ibnu Abdillah Al-Katibiy dan Saad Al-Din Masud bin Umar bin Abdullah al-Taftazani. Di Akidah, ada Adhuddin Al-Iji. Belum lagi di ilmu falsafah dan kedokteran, ada Ibnu Sina (Avicenna), Abu Bakar al-Razi. Ali Zainal Abidin, ahli bait yang paling alim dan zahid itu, ibunya orang Persia, istri Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib.

Tak hanya Imam Junaid al-Baghdhadi, di tasawwuf ada juga Imam Al-Ghazali. Kita tahu, Hujjatul Islam yaitu Al-Ghazali juga lahir di Persia. Siapa yang tak kenal dengan salah satu filsuf, teolog, dan sufi ini. Sungguh naif rasanya kalau para pelajar dan pemikir islam tak mengenalnya. Tulisan-tulisannya tersebar kemana-mana, ada Ihya Ulumuddin, Al-Munqid Min Ad-Dhalal dan lain sebagainnya. Satu buku Al-Ghazali yang membuat para filsuf juga tak habis mengkritiknya, yaitu Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof). Buku ini tentu menuai kontroversi.

Dalam buku itu, Al-Ghazali memberikan reaksi keras terhadap Neo-platonisme Islam. Menurutnya banyak sekali terdapat kesalahan filsuf, teruma karena mereka tidak teliti, seperti halnya dalam lapangan logika dan matematika. Karena itu, Al-Ghazali mengecam secara langsung dua tokoh Neo-Platonisme Muslim (Al-Farabi dan Ibn Sina), secara tidak langsung kepada Aristoteles, guru mereka. Kekeliruan Filsuf tersebut ada sebanyak 20 persoalan.

Dari 20 itu, tiga persoalan yang dinyatakan sebagai kafir, karena pikiran-pikiran mereka dalam tiga soal tersebut sangat berlawanan dengan pendirian semua kaum muslimin. Pertama, alam kekal (qadim) atau abadi dalam arti tak berawal. Kedua, Tuhan tidak mengetahui princian atau hal-hal yang pertikular (juzziyat) yang terjadi di alam. Ketiga, pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani (hasyr al-ajsad) di akhirat.

Membicarakan pemikiran Islam, lebih khususnya filsafat Islam, tentu tidak akan lengkap jika tidak mencantumkan nama Al-Ghazali. Orang ini memang unik, memiliki berbagai hal dalam kemampuan yang mumpuni di berbagai bidang pengetahuan. Karena itu, tak mengherankan bila banyak sebutan yang dialamatkan terhadapnya. Mulai dari teolog, fuqoha, filosof, bahkan sampai sebutan sufi. Banyaknya sebutan yang dialamatkan terhadapnya mencerminkan wawasan keilmuannya yang begitu luas dan dalam. Kita bisa melihat khazanah keilmuan Al-Ghazali dari karya-karyanya yang sangat banyak yang masih tersimpan hingga sekarang.

Imam Al-Ghazali atau lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali At-Thusi (W 505/1111). Ia adalah seorang ulama yang hidup pada saat pemikiran keagamaan di dunia Islam yang sedang mengalami perkembangan dan keberagaman. Lahirnya berbagai pemikiran dan gagasan dari Al-Ghazali memberi warna dan corak intelektualitas di dunia Islam.

Di satu pihak ia dikenal sebagai hujjatul-Islam dan disanjung-sanjung karena dinilai telah berhasil mempertahankan ajaran Islam dari berbagai pengaruh, dengan argumentasi yang jitu dalam menghadapi berbagai golongan filosof yang mendewakan rasio yang banyak dipengaruhi perkembangan filsafat Yunani. Di pihak lain, ia menghadapi ajaran kebatinan yang merajarela saat itu dan mengabaikan ibadah sebagaimana yang yang dicontohkan oleh Nabi.

Di samping pujaan, ia juga dinilai oleh para ahli takwil sebagai biang kemunduran islam karena dinilai sebagai anti filsafat. Lepas dari penilaian yang berbeda-beda tersebut, kenyataannya menunjukkan bahwa pemikiran Imam Al-Ghazali telah banyak diikuti masyarakat islam. Karya-karyanya tidak berhenti dibicarakan hingga sekarang, terutama Ihya Ulumuddin yang berisi filsafat etika dan tasawuf, yang banyak dipelajari oleh umat Islam maupun para orientalis. Pemikirannya tidak hanya mencakup ilmu agama atau masalah keislaman saja, tetapi juga ilmu pengetahuan umum. Pengaruh pemikiranya tidak hanya mencakup wilayah timur saja, tetapi juga di dunia barat.

Akhirnya, setelah melakukan perjalanan ilmiahnya, melakukan kritik terhadap berbagai aliran pemikiran Islam kala itu, dan mencari kelebihan dan kelemahan masing-masing aliran itu, Al-Ghazali akhirnya menemukan tambatan hatinya dalam disiplin keilmuan tasawuf. Al-Ghazali menilai, hanya kelompok sufilah yang benar-benar berjalan di jalan Allah. Dia adalah pemilik keadaan, bukan orang-orang yang hanya ahli berkata-kata. Metode yang ditempuh olehnya adalah metode praksis dan teoritis (amal dan ilmu) sekaligus.

Pernyataan itu tertulis dalam bukunya Al-Munqid Min Ad-Dhalal:

“Aku mengetahui dengan penuh keyakinan bahwa orang-orang sufilah yang benar-benar berjalan dijalan Allah. Prilaku mereka adalah sebaik-baik prilaku. Jalan hidup mereka adalah sebaik-baik jalan hidup. Akhlak mereka adalah sebersih-bersihnya akhlak. Bahkan sekiranya digabungkan antara akal para filsuf, dan ilmu para ulama yang memahami rahasia-rahasia syariat, untuk mengubah dan menggantikan prilaku dan akhlak para sufi dengan yang lebih baik, mereka tidak akan mampu melakukanya.”

Al-Ghazali memang merupakan sosok yang sangat unik dan menarik. Ini dapat dilihat dari perjalanan hidupnya dalam mencari hakikat kebenaran. Mulai dari tasawuf, kemudian berpindah kepada kalam, filsafat, kembali lagi ke tasawuf, dan diakhir kehidupannya kembali ke mazhab salaf.

Oleh: Salman Akif Faylasuf


Editor: Daniel Simatupang