Petualangan Menghafal Al-Qur'an di Usia Tua

 
Petualangan Menghafal Al-Qur'an di Usia Tua
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Beliau adalah Ibu Nyai Hj Sintho’ Nabilah Asrori, Salaman, Magelang. Mushafnya tidak biasa, dia memilih memakai mushaf Al-Qur’an per juz yang diperbesar. Beliau tidak ingin satu huruf pun terlewati, tidak seperti kebanyakan orang sekarang yang memilih memakai mushaf cantik dan minimalis. Meski menjadi sedikit repot, mushafnya selalu dibawa kemana-mana demi menjaga hafalan Al-Qur’an.

Sejak kecil, meskipun anak perempuan, sang Ayah selalu mengajaknya menghadiri majelis semaan Al-Qur’an yang semua jamaahnya laki-laki. Berawal kecintaan (mahabbah) sang Ayah terhadap para penghafal Al-Qur’an, putri alm. KH. Asrori Ahmad ini memiliki cita-cita menjadi seorang hafidzah. Namun cita-citanya harus tertunda sampai dia dewasa.

Menjadi penghafal Al-Qur’an baginya tidak mudah, berbekal ridho suami dan kedua orangtuanya, Nyai Shinto’ mulai menghafal di usia yang tak lagi muda dan dengan segudang aktifitas. Setiap harinya beliau menempuh belasan kilometer untuk sampai ke Pesantren Nurul Qur’an asuhan KH. Mastur Asy’ari Tempuran, Magelang. Tiga kilometer ditempuh dengan berjalan kaki dan sisanya dengan kendaraan umum. Selama di perjalanan dia selalu mendaras, lalu halaman per halaman disimakkan di depan Kiainya.

Beliau merasa kemampuan menghafalnya di bawah rata-rata. Sampai diikrarkannya nadzar, jika khatam Al-Qur’an dirinya akan berjalan kaki dari Pesantren Kiainya sampai rumah. Hingga setelah bertahun-tahun lamanya, akhirnya tangis syukur mengiringi doa khotmil Qur’an, nadzarpun dilaksanakan. Ditemani sang Ibu, Nyai Hj. Ma’munatun Kholil, Nyai Shinto’ berjalan kaki dari Pesantren sampai rumah.

Dari dulu sampai sekarang Nyai Sintho’ merasa hafalan Al-Qur’an nya belum lanyah (lancar). Satu halaman dibaca tafsirnya sebanyak 11 kali hingga 41 kali, baru kemudian dihafal. Tentu butuh kegigihan untuk bisa istiqomah.

Saat ada undangan semaan, dia memilih membaca Al-Qur’an dengan “grothal-grathul” (terbata-bata) dan telaten disimak jika memang tidak lancar daripada membaca dengan melihat atau melirik tulisan ayat. Menurutnya bagi seorang hafidzah membaca Al-Qur’an secara bil hifdzi (hafalan) adalah komitmen dengan Allah SWT.

Keprihatinan atas dirinya sendiri, juga menjadikannya prihatin terhadap para hafidzoh di daerahnya yang notabene hanya ibu rumah tangga biasa. Mereka tidak mempunyai kegiatan yang mendukung hafalan Al-Qur’an, seperti pesantren, majelis semaan atau pun undangan semaan. Untuk itu, Sintho’ dengan dukungan sesepuh NU setempat membuat jam’iyah (organisasi) para hafidzah itu dengan tujuan bersama-sama menjaga hafalan Al-Qur’an. Yang belum lancar menjadi lancar dan yang sudah lancar “ngemong” (membimbing) yang belum lancar.

Awalnya tidak banyak yang bertahan mengikuti kegiatan jam’iyah ini. Sebagian dari mereka yang sudah lancar memilih meninggalkan jam’iyah, karena sedikitnya ayat yang dibaca dan banyaknya anggota yang tidak lancar hafalannya. Tidak sedikit pula yang meremehkan jam’iyah ini.

Istiqomah memang melebihi seribu karomah. Jam’iyah simaan Al-Qur’an sederhana ini semakin banyak diminati. Hafidzah yang merasa belum lancar hafalannya, tidak takut dan tidak malu untuk memperbaiki hafalan. Di dalam organisasi ini ada ketelatenan, kebersahajaan dan rasa kasih sayang.

“Menghafal Al-Qur’an itu mudah, yang sulit menjaga dan apalagi mengamalkannya”. Meskipun lebih sebagai pernyataan dirinya, kalimat yang sering diucapkan Bu Nyai Sintho’ ini menjadi pesan bagi para penghafal Al-Qur’an.

Penulis: Neng Ulya Izzati, putri Ibu Nyai Sintho’


Editor: Daniel Simatupang