Fiqih Pengawasan Partisipatif (bagian 1)

 
Fiqih Pengawasan Partisipatif (bagian 1)
Sumber Gambar: Ilustrasi/Anton Raharjo - Anadolu Agency

Laduni.ID, Jakarta – Pengawasan pemilu merupakan sebuah keniscayaan dalam setiap kontestasi demokrasi di Indonesia. Tanpa sebuah pengawasan tentunya kualitas pemilu/pemilihan tidak bisa dipertanggung jawabkan, bahkan akan menghasilkan kualitas yang buruk. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Pemilu maupun pemilihan, di mana skema pengawasan semakin diperkuat melalui berbagai aturan main baik dalam perspektif hukum pemilu maupun aturan teknis lainnya.

Namun tidak cukup pengawasan dilakukan oleh penyelenggara pemilu, pemerintah maupun peserta pemilu itu sendiri, harus didorong oleh seluruh lapisan masyarakat terutama pemilih (yang memiliki hak suara). Tentunya kita pun tidak bisa mengabaikan stakeholder sebagai penyambung lidah masyarakat baik dalam bentuk komunitas, organisasi kepemudaan, organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan maupun kalangan akademisi yang sudah banyak bersentuhan dengan lembaga pengawas di tingkat kabupaten/kota sampai dengan tingkat kelurahan.

Di sisi lain, dalam UU Tentang Pemilu disebutkan bahwa pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Ini artinya tujuan penyelenggaraan pemilu menegakkan kemaslahatan sesuai dengan tujuan syari’at Islam (maqoshid as-syari’ah). Walau demikian, partisipasi dalam pemilu merupakan hak warga negara yang dijamin oleh konstitusi, bukan suatu kewajiban. Pasal 28D UUD RI Tahun 1945 menyatakan “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”

Partisipasi dalam pemerintahan tidak berarti mencalonkan diri semata, khususnya partisipasi dalam Pemilu. Pada tahun 2018 lalu Bawaslu RI menerbitkan 6 buku “Serial Pengawasan Partisipatif” menurut perspektif 6 agama yang diakui oleh negara yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Dalam perspektif agama Islam buku pengawasan pemilu partisipatif dengan judul “Tausyiah Pemilu Berkah” itu Islam harus hadir dalam menegakkan kebenaran dan keadilan serta menyelesaikan masalah yang ada di tengah masyarakat.

Hal ini sesuai dengan maksud dan hikmah diturunkannya Islam (hikmatut tasyri’) yakni pertama, untuk mengenal Allah SWT (ma’rifatullah) dan mengesakan-Nya (tauhid); Kedua, menjalankan segenap ritual dan ibadah kepada Allah Swt sebagai manisfestasi rasa syukur kepada-Nya; Ketiga, untuk mendorong amar ma’ruf nahi munkar (menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran) serta menghiasi hidup manusia dengan etika dan akhlak mulia (tasawuf); dan Keempat, untuk menetapkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hubungan sosial (mu’amalah) di antara sesama manusia.

Untuk menegakkan keadilan dan mewujudkan kedamaian menuju kesejahteraan masyarakat itu berlandaskan pada doktrin agama itu sendiri. Islam mengajarkan umatnya untuk berpegang teguh pada nilai-nilai tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (harmonis berimbang), dan i’tidal (lurus-konsisten). Nilai-nilai inilah yang menjadikan umat Islam, terutama para ulamanya, selalu hadir dalam menciptakan kemaslahatan. Allah berfirman,

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

Artinya: “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ‘umat pertengahan’ agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah: 143)

Kemaslahatan sebagai tujuan syariat tidak akan terwujud tanpa ada ketaatan dan pelaksanaan dari manusia sebagai obyek syariat. Pelaksanaan tersebut memerlukan motivasi yang mendorong manusia untuk taat, sekaligus menjadi kendali bagi manusia agar tidak melakukan pelanggaran.

Islam membagi 3 (tiga) macam kendali (wazi’). Pertama, kendali agama (wazi’ dini) yang berbasis pada keimanan dan ketaqwaan. Kendali ini lahir dari nurani yang paling dalam. Kedua, kendali kekuasaan (wazi’ sulthani) yaitu kendali yang lahir dari rasa takut pada ancaman hukuman duniawi yang dilaksanakan oleh penguasa/penegak hukum. Ketiga, kendali alamiah (wazi’ hayati) yaitu kendali yang lahir dari tabiat normal manusia.

Maslahat sebagai lawan kata madarat menurut kaidah fiqih bahwa الضَرَرُ يُزَالُ yang berarti kemudharatan (harus) dihilangkan. Izzuddin Ibn Abd al-Salam mengatakan bahwa tujuan syariah itu adalah untuk meraih kemaslahatan (kemanfaatan) dan menolak kemafsadatan (kerusakan). Dengan kata lain, kaidah tersebut di atas kembali kepada tujuan untuk merealisasikan maqashid al-syari’ah (tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari suatu penetapan hukum) dengan menolak yang mafsadah (rusak), dengan cara menghilangkan kemudharatan (bahaya) atau setidaknya meringankannya. 

Kaidah tersebut di atas selaras dengan firman Allah,

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ

Artinya: “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-A’raf: 56)

Berdasarkan ketetapan para fuqaha (para ahli fiqih), apabila seseorang menimbulkan bahaya yang nyata pada hak orang lain dan memungkinkan ditempuh langkah-langkah pencegahan untuk menepis bahaya tersebut, maka orang tersebut dapat dipaksa untuk mengambil langkah-langkah pencegahan untuk mencegah hal tersebut, namun dia tidak dapat dipaksa untuk melenyapkannya.

Akan tetapi, jika langkah menepis bahaya tersebut sudah tidak memungkinkan, sementara hal itu menyangkut manfaat-manfaat yang pada dasarnya merupakan keniscayaan, misalnya penutupan akses matahari dan udara secara total bagi pihak tetangga, maka ia dapat dipaksa untuk melenyapkan hal yang menyebabkan bahaya tersebut.

Menolak kemafsadatan (kerusakan) lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan (manfaat). Qoidah (aturan) ini diucapkan dalam bahasa lain Ad-daf’u aula minal jalbi (menolak kemungkinan buruk lebih di dahulukan dari pada menarik kebaikan). Jika dilihat dalam ilmu Ushul Fiqih ada sumber hukum berupa syaddud daro'i (preventif) menjaga kemungkinan terjadinya keburukan/kecurangan walaupun belum terjadi.

Dalam ushul fiqih Saddu Dzaro'i pengertiannya yaitu masalah-masalah yang dzohir-nya (terang/jelas) boleh ibahah (boleh berbuat atau tidak berbuat), tetapi ditakutkan masuk ke perbuatan terlarang maka dibuatlah sebuah aturan. Pembahasan ini tidak ada dalam kitab-kitab Ushul fiqih yang lain kecuali dalam kitab Irsyadul Fuhul ila Tahqiqil Haq min Ilmil Ushul karangan Imam Asyaukani, kitab Qowaidul Ahkam fi Ishlahil Anam karya Sulthonul Ulama Izzuddin Bin Abdissalam dan Qowaid Fiqihiyyah Al-Asybah wa Nadhoir Imam Suyuthi yang menggunakan istilah lain idza ta'arodho mafsadatun wa maslahatun qudima daf'ul mafsadati gholiban (jika ada konflik antara kejahatan dan manfaat, kejahatan akan ditolak sepenuhnya).

Penolakan atas sesuatu yang madarat juga terdapat dalam kaidah ushul fiqih yang merupakan salah satu cabang dari kaidah,

 الضَرَرُ يُزَالُ yakni; دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

“Upaya menolak kerusakan harus didahulukan daripada upaya mengambil kemaslahatan.”

Penjelasan dari kaidah ini bahwa, hendaknya seseorang lebih mengutamakan menolak kerusakan dibandingkan meraih kemaslahatan. Itu artinya apabila dalam suatu perkara terjadi pertentangan antara menolak kerusakan dan mengambil kemaslahatan, maka yang lebih utama adalah menolak kerusakan. Jadi jika kerusakan suatu perkara itu tidak dihilangkan atau ditolak, maka dikhawatirkan akan timbul kerusakan atau bahaya yang lebih besar.

Maka, konsepsi di atas selaras dalam hal Pengawasan Pemilu sesuai dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2017, Bagian Ketiga dinyatakan bahwa dalam melaksanakan Tugas, Wewenang dan Kewajiban, Paragraf 1 (satu), pasal 93 huruf (b), pasal 94 ayat (1) Bawaslu Bertugas. Pasal 97 huruf (a), pasal 98 ayat (1) Bawaslu Provinsi Bertugas. Pasal 101 huruf (a), pasal 102 ayat (1) Bawaslu Kabupaten/Kota Bertugas. Pasal 105 huruf (a) Panwaslu Kecamatan Bertugas, pasal 106 huruf (e) Panwaslu Kecamatan Berwenang. Pasal 109 huruf (b) Panwaslu Kelurahan/Desa Berwenag untuk melakukan pencegahan sebelum mengambil penindakan.

Maka sangat jelas bahwa, Tugas dan Wewenang Bawaslu di setiap tingkatan hal yang paling pertama yang harus dilakukan adalah melakukan pencegahan sebelum mengambil penindakan di setiap tahapan pengawasan pemilu, dan jika pencegahan juga diabaikan maka harus menegakkan penindakan dengan tegas sesuai peraturan perundang-undangan.

Oleh: Muchtar Taufiq, Ketua Bawaslu Kota Jakarta Selatan/Koordiv Pengawasan dan Hubungan Antar Lembaga


Editor: Daniel Simatupang