Prespektif Ilmu Menurut Imam Al-Juwaini

 
Prespektif Ilmu Menurut Imam Al-Juwaini
Sumber Gambar: Ilustrasi/Tebuireng Online

Laduni.ID, Jakarta – Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna. Tuhan bersifat metafisika yang tidak bisa ditembus oleh indera mana pun juga, tetapi Dia bisa dijadikan obyek pemikiran manusia. Manusia merupakan satu-satunya makhluk Tuhan yang mempunyai akal dan perasaan, oleh karena kesempurnaannya inilah ia mempunyai kewajiban untuk mengetahui Tuhannya. Untuk mengetahui sesuatu, baik yang metafisika maupun yang fisika, diperlukan adanya ilmu, cara ataupun proses.

Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad bin Abdullah bin Hayyuwiyah Al-Juwaini Al-Naisaburi Imam Al-Haramain Abu Al-Ma'ali atau biasa dikenal Al-Juwaini merupakan salah satu tokoh terkemuka pada jamannya, yang hingga saat ini menjadi salah satu sumber inspirasi di dunia keilmuan Islam.

Banyak para sejarawan yang memperselisihkan terkait tanggal kelahiran beliau. Namun, sebagian dari mereka sepakat mengatakan bahwa Al-Juwaini lahir pada tanggal 18 Muharram 419 H di Busytanikan, sebuah desa di pinggiran Naysabur. Menurut Harun Nasution, Al-Juwaini merupakan salah satu tokoh Asy'ariyah. Adapun murid hasil didikan Al-Juwaini semasa ia mengajar di Madrasah Al-Nizamiyah ialah Imam Al-Ghazali atau yang terkenal dengan sebutan Hujjat Al-Islam.

Pembagian ilmu atau ma'rifat

Ilmu merupakan suatu usaha untuk menemukan atau meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dan teologi, dengan ilmupun seseorang dapat mengetahui Tuhannya. Khususnya ilmu yang mempergunakan penalaran akal yang menghasilkan ma'rifat tentang tuhan. Dalam teologi, pokok pembahasan yang paling relevan menurut Muahammad 'Abduh adalah wujud Allah, sifat-sifat Allah dan soal kenabian.

Menurut Harun Nasution, obyek pembahasan teologi sebagaimana yang telah disebutkan oleh Muhammad 'Abduh di atas kurang lengkap, sebab alam yang menjadi bagian dari ciptaan Allah merupakan hal penting juga yang tidak boleh diabaikan. Dengan demikian, teologi harus juga membahas hubungan Tuhan dengan makhluk-Nya yaitu alam. Ilmu dengan bermacam-macam pembagiannya inilah yang akan dibahas di sini. Menurut Al-Juwaini, ilmu itu ada dua macam:

1. Ilmu Tuhan yang bersifat qadim (kekal), yakni merupakan sifat Tuhan yang ada pada dzat-Nya, senantiasa berkaitan dengan obyek pengetahuan yang tiada henti-hentinya.

2. Ilmu hadis (baharu), yakni ilmu atau pengetahuan yang dimiliki manusia. Ilmu ini terbagi atas tiga macam, yaitu ilmu daruri, badihi, dan nazari.

Ilmu Daruri

Ilmu daruri adalah ilmu atau pengetahuan yang diketahui manusia secara otomatis, karena sesuatu yang mendesak atau karena suatu yang dibutuhkan. Manusia mengetahui dirinya sendiri secara otomatis, misalnya ia mengetahui bahwa ia haus, lapar, sedih, gembira, jengkel, sakit, senang dan lain-lain, karena adanya sebab-sebab yang mendesak tirnbulnya perasaan-perasaan itu.

Ilmu Badihi

Ilmu badihi adalah ilmu atau pengetahuan yang didapatkan manusia bukan karena sesuatu yang terpaksa atau kebutuhan, namun pengetahuan tersebut telah ada di dalam benak seseorang ketika akalnya telah sempurna. Seperti hal nya manusia mengetahui bahwa di antara dua hal yang saling bertentangan dalam keadaan dan waktu yang sarna, misalnya gerak dan diam tak mungkin terdapat pada satu benda secara bersamaan.

Walaupun dalam segi teori dibedakan antara ilmu badihi dan daruri, pada umumnya kedua hal ini mempunyai ciri khas yang sama yaitu berupa keduanya tidak menimbulkan keraguan, karena tidak dibutuhkannya penalaran akal. Pengetahuan-pengetahuan tersebut didapat manusia bukan melalui usahanya sendiri melainkan secara spontan didapat melalui Tuhan tanpa diusahakan.

Ilmu Nazari

Ilmu nazari adalah pengetahuan yang datang, karena diusahakan dengan memakai daya baharu manusia. Contohnya, untuk mengetahui Tuhan diperlukan adanya pemakaian penalaran akal manusia. Penalaran tersebut menggunakan akal, sedangkan akal merupakan bagian dari ilmu daruri (spontanitas) juga, demikian menurut Al-Juwaini.

Bukti bahwa akal merupakan bagian dari ilmu daruri adalah mustahil ada manusia yang didalam benaknya tidak mengetahui apa-apa sama sekali, lanjut Al-Juwaini. Bukti lain yang dikemukakan Al-Juwaini bahwa setiap manusia yang sehat dan sempurna akalnya pasti mempunyai kehendak, sedangkan syarat mutlak dari timbulnya kehendak, ia harus mengetahui apa yang dikehendakinya.

Bukti lain lagi disebutkan bahwa sejak dini, akal sudah bisa mengetahui bahwa dua hal bertentangan tak mungkin bisa bersatu pada benda dan masa yang sama. Akal juga mengetahui bahwa di alam ini terdapat dua obyek pengetahuan yaitu ada (isbat) dan tiada (nafy). Akal mengetahui bahwa wujud ada dua yaitu baharu (hadis) dan kekal (qidam).

Ilmu nazari atau pengetahuan yang didapat manusia melalui proses penalaran ini sifatnya tidak stabil. Artinya, pengetahuan ini bisa hilang dari ingatan atau dilupakan dan juga bisa mendatangkan keraguan. Pengetahuan ini bisa dikembalikan lagi dalam ingatan setelah mengingat-ingatnya kembali dengan menggunakan penalaran akal.

Setiap orang mempunyai kemampuan nalar yang berbeda, demikian lanjut Al-Juwaini. Ada orang yang dengan cepat menangkap segala sesuatu yang dipikirkan dan ada pula yang lambat berpikir. Semua ini sudah merupakan tabiatnya sejak lahir.

Ilmu nazari yang menggunakan penalaran akal ini disebut juga dengan ilmu kasbi. Setiap ilmu kasbi ini mempergunakan penalaran akal atau didapat dengan cara pemikiran (nazar). Menurut Al-Juwaini, walaupun ilmu kasbi merupakan hasil penalaran akal manusia, namun akal yang dijadikan alat mencapai pengetahuan adalah pemberian Tuhan semenjak manusia sempurna akalnya.

Pada prinsipnya, pembagian ilrnu pengetahuan menurut mutakallimin tidak berbeda satu sarna lain. Sebagian besar mereka membagi ilmu pengetahuan rnenjadi dua, yakni ilrnu Tuhan yang qadim dan ilmu manusia yang hadis. Dan ilmu hadis (baharu) ini dibagi rnenjadi dua, yaitu ilmu yang bersifat daruri dan ilmu yang bersifat penalaran.

Oleh: Irham Maulana Trie Chutsi, Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya


Editor: Daniel Simatupang