NU dan Pluralisme

 
NU dan Pluralisme
Sumber Gambar: Ilustrasi/Urbanasia

Laduni.ID, Jakarta – Masalah kemanusiaan merupakan tuntutan dan tanggung jawab bersama tanpa pandang bulu (mas-uliyyah insaniyyah). Dalam hukum Islam juga dikenal lima prinsip universal (kulliyyat al-khams) yang dijadikan pertimbangan bagi para ahli fikih dan hukum Islam dalam menetapkan produk hokum, yaitu hifzh ad-din, hifzh an-nafs, hifzh al-’aql, hifzh al-mal, dan hifzh al-’irdh wa an-nasl.

Gus Dur berpindirian bahwa Islam diturunkan sebagai rahmatan lil ‘alamin, memiliki makna dan fungsi universal, suci, fitri, hanif serta dapat diterima dan diamalkan oleh seluruh umat manusia. Ragam ras, budaya, agama, aliran dan lainnya dipahami Islam sebagai sunnatullah.

Pluralitas adalah rahmatullah, bahkan amanah ilahiyah dan kemanusiaan yang harus dimaknai dan disikapi dengan saling mengenal, memahami, membuka diri, merangkul dan mendialogkan secara kreatif untuk menjalin kebersamaan dan kerjasama atas dasar saling menghormati.

NU berpendirian bahwa realitas kehidupan harus dilihat secara substantif, fungsional, terbuka, dan bersahabat. Sejak berdiri pada 1926, NU menempatkan kepentingan masyarakat Islam sebagai orientasi besar gerakannya. Cita-cita tersebut secara sistematik terformulasikan dalam mabadi’ khaira ummah.

Secara etimologi, mabadi’ khaira ummah terdiri dari tiga kata bahasa Arab. Pertama, mabadi’ yang artinya landasan, dasar, dan prinsip. Kedua, khaira yang artinya terbaik, ideal. Ketiga, ummah yang artinya masyarakat, dan rakyat.

Sedangkan secara epistemologi, mabadi’ khaira ummah adalah prinsip-prinsip yang digunakan untuk mengupayakan terbentuknya tatanan kehidupan masyarakat yang ideal dan terbaik, yaitu masyarakat yang mampu melaksanakan tugas-tugas amar ma’ruf nahi munkar. Allah berfirman,

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ

Artinya: “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110) [PP LTN NU, 1992: 77]

Ide NU untuk mewujudkan masyarakat ideal dan terbaik (khaira ummah) sebenarnya telah diupayakan sejak tahun 1935. Pada saat itu para tokoh NU berpendapat bahwa proses pembentukan masyarakat yang ideal dan terbaik dapat dimulai dengan menanamkan nilai-nilai al-shidq (kejujuran), al-wafa’ bi al-‘ahd (komitmen) dan al-ta’awun (komunikatif dan solutif). Tiga prinsip dasar itu kemudian disebut mabadi’ khaira ummah dan menjadi program kerja organisasi.

Perkembangan zaman yang cukup pesat memaksa para ulama untuk melakukan evaluasi kerja. Pada Munas Alim Ulama di Bandar Lampung tanggal 21-25 Januari 1992, para ulama menyepakati untuk melakukan penyempurnaan terhadap tiga butir mabadi’ khaira ummah dengan menambah prinsip al-istiqamah (kontinuitas/konsistensi) dan al-‘adalah (tegas menegakkan keadilan).

NU berkeyakinan bahwa lima prinsip tersebut merupakan langkah alternatif dan prospektif bagi upaya mewujudkan masyarakat ideal dan terbaik di Indonesia.

Oleh: Aji Setiawan


Editor: Daniel Simatupang