Munculnya Aliran Maturidiyah dalam Pemikiran Teologi Islam

 
Munculnya Aliran Maturidiyah dalam Pemikiran Teologi Islam
Sumber Gambar: Makam Imam Abu Mansur Al-Maturidi/Twitter @RamonIHarvey

Laduni.ID, Jakarta – Dalam sejarah Islam, telah berkembang pemikiran teologis yang memadukan rasio, dalil al-Qur'an, dan hadis untuk memahami akidah Islam. Salah satu mazhab yang populer di mahzab ini adalah Maturidiyah.

Mazhab Maturidyah percaya bahwa akal dan syariah saling melengkapi untuk mencapai kebenaran ilahi. Sedangkan penamaan Maturidiyah dikaitkan dengan nama pendirinya, Abu Mansur Al-Maturidi. Sementara itu, Abu Mansur Al-Maturidi adalah seorang pemikir Islam terkemuka yang lahir di Maturid, Samarkand pada tahun 853 M atau abad ke-3 Hijriah, tepatnya pada masa pemerintahan Khalifah Al-Mutawakkil dari Dinasti Abbasiyah. Saat ini, wilayah Maturid berada di Uzbekistan.

Dahulu sekte ini berkembang pesat di Maturid, Samarkand, sehingga dikenal dengan mazhab Maturidiyah Samarkand. Selain Samarkand, Maturidiyah berkembang di Bukhara. Kedua tempat ini dipandang sebagai episentrum tumbuhnya aliran Maturidiyah.

Munculnya Maturidiyah dianggap sebagai respon terhadap perkembangan aliran Mu'tazilah pada masa Dinasti Abbasiyah. Kaum Mu'tazilah berpandangan bahwa kebena Munculnya Aliran Maturidiyah dalam Pemikiran Teologi Islam

Laduni.ID, Jakarta – Dalam sejarah Islam, telah berkembang pemikiran teologis yang memadukan rasio, dalil al-Qur'an, dan hadis untuk memahami akidah Islam. Salah satu mazhab yang populer di mahzab ini adalah Maturidiyah.

Mazhab Maturidyah percaya bahwa akal dan syariah saling melengkapi untuk mencapai kebenaran ilahi. Sedangkan penamaan Maturidiyah dikaitkan dengan nama pendirinya, Abu Mansur Al-Maturidi. Sementara itu, Abu Mansur Al-Maturidi adalah seorang pemikir Islam terkemuka yang lahir di Maturid, Samarkand pada tahun 853 M atau abad ke-3 Hijriah, tepatnya pada masa pemerintahan Khalifah Al-Mutawakkil dari Dinasti Abbasiyah. Saat ini, wilayah Maturid berada di Uzbekistan.

Dahulu sekte ini berkembang pesat di Maturid, Samarkand, sehingga dikenal dengan mazhab Maturidiyah Samarkand. Selain Samarkand, Maturidiyah berkembang di Bukhara. Kedua tempat ini dipandang sebagai episentrum tumbuhnya aliran Maturidiyah.

Munculnya Maturidiyah dianggap sebagai respon terhadap perkembangan aliran Mu'tazilah pada masa Dinasti Abbasiyah. Kaum Mu'tazilah berpandangan bahwa kebenaran hanya bisa dicapai dengan akal atau akal manusia.

Sementara itu, Maturidiyah membantah dan menawarkan gagasan bahwa, untuk mencapai kebenaran ilahi, seorang Muslim tidak bisa hanya berpegang pada akal, tetapi harus mengiringi pertimbangan rasional dengan syariat Allah SWT.

Dari segi fikih, para penganut Maturidiyah pada masa awal kemunculannya adalah mazhab Hanafi. Mazhab ini memiliki pengaruh yang besar terhadap mahzab Maturidiyah. Mazhab Hanafi dikenal sebagai mazhab fikih yang banyak melahirkan pemikiran-pemikiran tentang hukum Islam, yang disertai dengan pertimbangan-pertimbangan rasional tanpa mengabaikan sumber-sumber utama dalam syariat.

Selama hidupnya, Abu Mansur Al-Maturidi menyebarkan aliran Maturidyah di Samarkand. Beliau wafat di kota itu pada tahun 333 H dalam usia sekitar 100 tahun. Salah seorang muridnya, Abu Qasim Al-Samarkandi mengukir nisan makam Abu Mansur Al-Maturidi dengan kata-kata hormat, “Inilah makam seorang tokoh yang telah meraih berbagai ilmu dalam setiap tarikan nafas."

Satu generasi setelah kematian Al-Maturidi, lahirlah seorang anak bernama Al-Bazdawi yang mempelajari pemikiran Al-Maturidi dari ayahnya, Abdul Karim. Ayah Al-Bazdawi adalah murid langsung Al-Maturidi.

Setelah belajar dengan ayahnya, Al-Bazdawi mengembangkan Maturidiyah sehingga sangat populer di Bukhara pada tahun 478 H/1085 M. Karena kecemerlangannya, Al-Bazdawi dipanggil menjadi hakim di Samarkand pada tahun 481 H/1088 M. Setelah menyelesaikan tugasnya, ia kemudian kembali ke Bukhara dan meninggal di kota Asia Tengah itu. Al-Maturidi dan Al-Bazdawi dianggap sebagai tokoh paling berpengaruh yang meletakkan dasar-dasar ajaran Maturidiyah. Pemikiran mereka terus dipelajari sampai sekarang.

Pemikiran dan Doktrin Maturidiyah dengan corak pemikiran yang memadukan rasio dan nas naqli (Al-Quran dan Hadis), mazhab ini, bersama dengan Asy'ariyah, memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan Ahlussunnah Wal-Jamaah, menurut ulasan di Jurnal Hunafa. Karena itulah nama Abu Mansur al-Maturidi sering disandingkan dengan Abu al-Hasan al-Asy'ari dan disebut-sebut sebagai 2 tokoh utama yang memperkuat pondasi kelompok Ahlussunnah wal Jama'ah.

Para pengikutnya menyebut Abu Mansur al-Maturidi sebagai Rais Ahlussunnah, menurut sebuah artikel oleh Muhammad Tholhah al Fayyadl di situs web NU Online. Penggunaan akal yang cukup dan seimbang merupakan pola pemikiran Abu Mansur al-Maturidi dalam ilmu keimanan. Pola ini sejalan dengan karakter Imam Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi). Pemikiran Abu Mansur al-Maturidi juga dianggap telah menyempurnakan dalil Abu Hanifah dalam kitab al-Fiqh al-Akbar.

Dr. Abu Zahrah dalam bukunya, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah (2008, vol. 1:212) menjelaskan bahwa pemikiran al-Maturidi didasarkan pada argumentasi nalar yang agung tanpa melampaui batas dan tidak berlebihan. Sementara itu, pemikiran al-Asy'ari berpegang teguh pada dalil Naql dan menegaskannya dengan dalil-dalil yang beralasan. Berikut ini adalah pokok-pokok ajaran ajaran Maturidiyah sebagaimana dikutip dari kitab Akidah Akhlak (2020) karangan Siswanto.

Kewajiban Mengenal Allah SWT dan Syariat Islam Menurut Mahzab Maturidiyah

Meskipun akal dapat mengetahui baik dan buruk secara objektif, pikiran manusia tidak dapat mencapai ilmu agama (perintah-perintah Allah) secara sempurna. Dengan demikian, akal manusia masih membutuhkan hukum Islam untuk mengetahui kewajiban-kewajiban yang Allah perintahkan kepada hamba-hambanya.

Ajaran utama Maturidiyah berbeda dengan pemikiran mazhab Mu'tazilah yang menyatakan bahwa Allah SWT telah menganugerahkan akal kepada manusia yang dapat digunakan sepenuhnya untuk mengetahui kebenaran perintah-Nya.

Menurut Maturidiyah, akal merupakan media untuk memahami perintah-perintah Allah. Sedangkan kewajiban datang langsung dari Allah. Artinya, manusia wajib mengenal Allah SWT dan mempelajari syariat-Nya.

Baik dan Buruk menurut Aliran Maturidiyah

Kemampuan akal untuk mengetahui baik dan buruk terbagi dalam tiga hal. Ketiga doktrin dalam mazhab Maturidiyah tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, ada kebenaran objektif yang dapat diketahui oleh pikiran. Misalnya mencuri itu salah, bahkan tanpa larangan mencuri dari hukum Islam.

Kedua, kebenaran dan keburukan tidak mungkin diakses dengan akal dan hanya Allah SWT yang mengetahuinya. Ketiga, kebenaran dan kejahatan yang tidak dapat diketahui dengan akal. Oleh karena itu, manusia harus mempelajari hukum Islam untuk mengetahui hal ini. Meskipun akal dapat mengetahui kebaikan dan keburukan yang objektif, perintah dan larangan hanya diberlakukan setelah adanya hukum Islam, tutup doktrin Maturidiyah.

Perbuatan Manusia dalam Aliran Maturidiyah

Memandang bahwa realisasi perbuatan terdiri dari dua hal, yaitu perbuatan Allah SWT dan perbuatan manusia. Artinya, Allah menciptakan perbuatan manusia sebagaimana firman-Nya:

وَاللّٰهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ

Artinya: “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. As-Shaffat: 96)

Manusia akan melakukan apa yang telah Tuhan ciptakan. Mahzab Maturidiyah menyangkal anggapan bahwa manusia memiliki kehendak bebas. Namun, Maturidiyah juga tidak setuju dengan fatalisme. Maturidiyah berada pada posisi tengah, bahwa perwujudan perbuatan merupakan perpaduan antara ciptaan Tuhan dan partisipasi manusia di dalamnya.

Janji dan Ancaman Allah SWT

Mengancam neraka bagi pendosa dan menjanjikan surga bagi orang yang berbuat baik. Namun, Allah SWT berkehendak sesuai dengan kebijakannya. Jika Allah SWT ingin mengampuni seorang pendosa, maka Yang Maha Kuasa akan memasukkan hambanya ke surga, dan sebaliknya.

Berbeda dengan mazhab Khawarij, mazhab Maturidiyah berpandangan bahwa pelaku dosa besar tetap dikategorikan beriman (muslim) selama masih ada keimanan di dalam hatinya. Pendosa besar tidak bisa dicap kafir, menurut aliran Maturidiyah. Sedangkan jika pelaku dosa besar meninggal sebelum bertaubat maka nasibnya diserahkan kepada kehendak Allah SWT.

Oleh: Ananda Devi Nur Islamiyah, Mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya


Editor: Daniel Simatupang