Etos Kerja Kaum Beriman

 
Etos Kerja Kaum Beriman
Sumber Gambar: Ilustrasi/Bincang Syariah

Laduni.ID, Jakarta – Suatu ketika, Rasulullah sedang duduk bersama para sahabat. Tiba-tiba ada seorang pemuda bertubuh tegap dan gagah lewat, tampaknya dia hendak bekerja. Beberapa sahabat nyelutuk, alangkah bagusnya jika pemuda ini menggunakan kekuatannya dan masa mudanya untuk berjihad di jalan Allah. Lantas, Rasulullah menimpali:

«وَمَا سَبِيلُ اللَّهِ إِلَّا مِنْ قَتْلٍ؟ مَنْ سَعَى عَلَى وَالِدَيْهِ فَفِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَمَنْ سَعَى عَلَى عِيَالِهِ فَفِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَمَنْ سَعَى مُكَاثِرًا فَفِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ»

“Apakah jalan Allah itu hanya berperang? Siapapun yang bekerja menafkahi kedua orangtuanya, maka dia di jalan Allah, yang bekerja untuk menafkahi ahli keluarganya, maka dia di jalan Allah. Dan siapapun yang bekerja untuk memperbanyakkan harta, dia di jalan setan.”

Dalam banyak riwayat, Rasulullah menghargai jerih payah para sahabatnya serta menghormati profesi mereka. Untuk memotivasi aspek ukhrawi, biasanya beliau memberikan contoh amaliah utama yang disesuaikan dengan pola pikir dan profesi mereka. Seperti padagang, petani, peternak, dll.

Bekerja sebagai bentuk rasa syukur

اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا ۚ وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ

Artinya: “Bekerjalah wahai keluarga Dawud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS. Saba': 13)

Nabi Nuh menjadi tukang kayu, Nabi Idris sebagai penjahit, Nabi Musa bekerja sebagai penggembala kepada (calon) mertuanya. Nabi Yusuf juga menjadi bendahara negara, Nabi Daud juga bekerja sebagai kreator baju besi, Nabi Syuaib pebisnis, Nabi Zakaria sebagai tukang kayu.

Para ulama juga dikenal dengan gelar berdasarkan profesinya, misalnya, al-Qaffal (tukang kunci/gembok), an-Najjar alias tukang kayu, az-Zajjaj (tukang cermin), al-Jasysyay (tukang cat), al-Mawardi (penjual air mawar), dan an-Ni'ali (pembuat sandal).

Cintai profesi kita agar bisa optimal, bekerja untuk bersyukur sebagai hamba-Nya atas anugerah usia, kesehatan dan rezeki dari Allah.

Bekerja Profesional

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إن اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ

Dari Aisyah radliyallahu 'anha, bahwasannya Rasulullah bersabda, “Allah ʽazza wa jalla menyukai jika salah seorang di antara kalian melakukan suatu amal secara itqan (ekselen/profesional).”

Selain ada saleh ritual dan sosial, ada juga saleh profesional. Yaitu, seorang mukmin yang bekerja dengan baik sesuai SOP dan Jobdesk di lingkungan profesinya. Jika jam kerja ditentukan mulai pukul 08.00-12.00 WIB, maka bagi mukmin profesional harus bekerja pada jam tersebut, bukan malah sibuk beribadah/berdzikir di Mushala kantor dengan memperbanyak shalat Dhuha dan wirid. Ngerti empan papan, kata orang Jawa.

Bekerja dengan niat membantu/melancarkan rezeki orang lain

Suatu ketika Syekh Syaqiq al-Balkhi melihat dua burung, satu burung buta dan bersayap patah yang mustahil terbang. Satu lagi burung yang mencarikan makan buat temannya yang tadi. Setiap hari ia menyuapi sahabatnya dengan paruhnya.

Syekh Syaqiq menatap kejadian ini dengan bijak. Bahwa, setiap makhluk sudah ada jatah rezekinya, sebagaimana burung buta bersayap patah tadi. Ia pun sampai pada kesimpulan awal, tak perlu capek memburu rezeki, toh rezeki sudah tahu "jalan" menemuinya. Ia akan tawakkal.

Hasil pengamatan disertai kesimpulan ini dia diskusikan dengan gurunya, Syekh Ibrahim bin Adham. Tak disangka, sang guru malah tertawa.

"Kenapa engkau memilih menjadi burung buta yang bersayap patah? Yang pasif. Yang hanya mendongakkan paruh untuk menerima pemberian sahabatnya? Mengapa tidak memilih menjadi burung bersayap sempurna, yang aktif bergerak, bahkan membantu makhluk lain meraih rezekinya?"

Wallahu A'lam Bishshawab

Jumat, 7 Januari 2022
Oleh: Gus Rijal Mumazziq Z


Editor: Daniel Simatupang