Rusuh UU Cipta Kerja, Apa Selanjutnya?

 
Rusuh UU Cipta Kerja, Apa Selanjutnya?

LADUNI.ID, Jakarta - Saya bukan orang yang mendukung UU Cipta Kerja. Saya juga bukan orang yang menolak UU Cipta kerja begitu saja. Saya hanya orang yang menganggap semua yang terjadi adalah sunnatullah yang harus kita percaya bisa menjadikan kehidupan lebih baik. Bagaimana pun caranya.

Bukankah ‘lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan’?! Itu pribahasa yang selalu terdengar, terngiang ketika kita tengah menghadapi suatu realitas yang menyesakkan dada. Bukankah lebih baik kita mulai kembali dengan menyesuaikan dengan keadaan dan mencoba mengubah sedikit demi sedikit menjadi lebih baik, daripada melakukan tindakan destruktif yang merusak bahkan menghancurkan apa yang sudah dibangun?!

UU Cipta Kerja yang sudah disahkan, tidak bisa dipungkiri, adalah peraturan yang ditetapkan DPR secara tergesa-gesa justru ketika pandemi Covid sedang merajalela. Itu sesuatu yang tidak kita sukai tentunya. Saya pun tidak suka. Tetapi, layakkah ketidaksukaan kita kemudian diekspresikan dengan perusakan dan penghancuran yang justru membuat keadaan semakin runyam? Tak adakah cara lain yang lebih elegan?

Bagaimana jika kita ibaratkan UU Cipta Kerja sebagai orang yang cacat tetapi tetap mau berjuang untuk meraih kehidupan yang lebih baik? Bagaimana jika kita ibaratkan saja UU Cipta Kerja sebagai kendaraan yang tidak layak pakai, tetapi mau tidak mau harus kita pakai agar kita sampai kepada tujuan?

Di sinilah dapat kita temukan sesuatu: pikirkan caranya!

Mari kita golongkan beberapa tipe orang dalam memilih cara untuk menggunakan sesuatu yang penuh kekurangan tapi tetap bermanfaat buat kehidupan. Atau, paling tidak memperbaiki sesuatu itu.

Pertama, menentukan apa saja yang cacat dalam sesuatu itu untuk kita lakukan perbaikan. Dalam hal UU Cipta Kerja, cara ini bisa dilakukan dengan memilih pasal-pasal yang merugikan untuk Indonesia. Bukan untuk kelompok tertentu atau kepentingan politik tertentu. Caranya, ajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi tentang pasal-pasal atau bab-bab yang tidak bermanfaat untuk kepentingan bersama.

Cara ini dibilang paling banyak dan dimungkinkan untuk disuarakan oleh mereka yang tidak setuju terhadap pasal-pasal tertentu. Tujuannya adalah untuk memperbaiki pasal-pasal “cacat” itu agar menjadi pasal yang bermanfaat untuk semua.

Kedua, menerima tetapi tetap menyikapinya secara kritis. Jika cara ini dilakukan pada UU Cipta Kerja yang sudah disahkan, ambil baiknya! Pikirkan cara pelaksanaan yang baik pada pasal-pasal yang dianggap kurang baik. Bagaimana itu bisa dilakukan? Turunkan UU menjadi Perda yang sesuai dengan kepentingan dan kesejahteraan bersama.

Percayalah, bahwa semua hal tergantung dari cara kita menyikapinya. Sebab, mustahil dalam kehidupan ini kita selalu bertemu dengan kebaikan. Melainkan, kehidupan selalu mengajarkan kita selalu bertemu dan menjalani sesuatu yang baik dan buruk. Ada nasib baik, ada nasib buruk. Suatu saat kita bahagia, suatu saat yang lain kita bersedih. Selalu begitu. Satunya-satunya jalan untuk menghadapinya adalah dengan melakukan cara yang benar dan sesuai dengan kemaslahatan bersama.

Dua cara ini yang paling mungkin dilakukan. Silakan diutarakan jika Anda punya cara lain.

Demonstrasi yang dilakukan mahasiswa saya anggap sah-sah saja, karena embrio mahasiswa memang people of change, apalagi di tengah keadaan yang mencekam. Tetapi, chaos yang terjadi sehingga mengakibatkan kehancuran dan kerusuhan adalah cara yang sangat tidak diharapkan dalam aksi demonstrasi, yang itu biasanya dilakukan oleh oknum!

Bila kita ingat sejarah Indonesia sejak awal merdeka, bangsa kita terbentuk oleh penjagalan dan perebutan yang kita sebut sebagai “Revolusi!”. Kita ingat, tahun 1965-1969 terjadi revolusi menumbangkan Soekarno. Tapi, apakah revolusi itu membuat kehidupan setelahnya menjadi lebih baik? Kita juga ingat, tahun 1998 terjadi revolusi penurunan Soeharto. Tapi, apakah membuat kehidupan selanjutnya menjadi lebih baik? Sampai kapan kita akan membangun lagi, menghancurkannya, dan membangun lagi? Adakah bagian dari kita yang belajar dari itu? Tidakkah kita menjadi bangsa yang lebih baik dan lebih besar?

Sekali lagi, mari kita bersama-sama memikirkan cara untuk menghadapi ini semua!

Kita memang berada pada masa disrupsi teknologi dan ekonomi, apalagi setelah dihadapkan pada pandemi. Jika kebijakan negara dirasa menguntungkan para bos dan merugikan buruh, mari belajar jadi bos dan tinggalkan profesi buruh. Mulailah dari hal kecil, yang penting halal. Mari menjadi manusia Indonesia seutuhnya.

DPR juga perlu memahami. Kerusuhan kemarin, Kamis (8/10), perlu jadi pelajaran bahwa negara ini adalah milik semuanya. Ketika akan menetapkan undang-undang, wajib ada perwakilan suara masyarakat dari dapil masing-masing. Sebab, mereka telah mempercayakan pembangunan negeri di pundak para anggota DPR/DPRD. Sehingga, kebijakan yang akan diambil harus dilakukan sebijak-bijaknya dan membesar porsi bagi aspirasi masyarakat yang telah diutarakan.

Saya tidak melarang mahasiswa untuk melakukan demonstrasi, tetapi mahasiswa tetap harus fokus pada tujuan: menyampaikan aspirasi! Jangan mau diprovokasi untuk melakukan tindakan destruktif. Jadilah mahasiswa yang merdeka dan tak mau diprovokasi. Jadilah mahasiswa yang elegan, dengan menggunakan cara-cara elegan dan bukan dengan cara merusak fasilitas publik, karena itu hanya akan memundurkan kita sebagai bangsa!

Mari pikirkan, setelah terjadi kerusuhan UU Cipta Kerja, apa yang mau kita lakukan selanjutnya?


*) Oleh Roby Muhammad, Pemerhati Sosial dan Kebangsaan.