Biografi KH. Raden Abdullah bin Nuh (Mama Abdullah)

 
Biografi KH. Raden Abdullah bin Nuh (Mama Abdullah)

Daftar Isi

1          Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1       Lahir
1.2       Riwayat Keluarga
1.3       Wafat

2          Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau
2.1       Mengembara Menuntut Ilmu
2.2       Guru-Guru Beliau
2.3       Mendirikan dan Mengasuh Pesantren

3          Penerus Beliau
3.1       Anak-anak Beliau
3.2       Murid-murid Beliau

4          Jasa, Organisasi, Karier dan Karya
4.1       Jasa Beliau
4.2       Organisas Beliau
4.3       Karier Beliau
4.4       Karya Beliau

5          Karomah Beliau        

6          Referensi

1         Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1       Lahir
 KH. Raden Abdullah bin Nuh adalah seorang figur ulama, pejuang, reporter, dan pendidik yang total mengabdikan dirinya untuk kepentingan umat.

Mama Abdullah, panggilan akrabnya dilahirkan di Kampung Bojong Meron, Kota Cianjur, pada 30 Juni 1905 M. Ayahnya bernama Raden H. Mohammad Nuh bin Idris dan ibunya Nyi Raden Aisyah bin Raden Sumintapura. Dari garis keturunan inilah beliau termasuk darah biru keluarga keraton.

1.2       Riwayat Keluarga
Selepas menyelesaikan pendidikan di Kairo, KH. R Abdullah bin Nuh kembali ke kampung halamannya dan mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi Nyi Raden Mariyah (Nenden Mariyah binti R Uyeh Abdullah), yang terbilang masih kerabat dekatnya. Dari pernikahannya dengan Nyi Raden Mariyah, beliau mendapatkan lima orang anak.

Dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan ini, beliau menikah kembali. Perempuan yang dinikahinya adalah Mursyidah binti Abdullah Suyuti, yang merupakan salah seorang murid KH Abdullah di STI. Dari pernikahannya dengan Mursyidah, beliau dikaruniai enam orang anak.


1.3       Wafat
Beliau wafat pada usia 84 tahun. Praktis, tidak ada waktu terbuang sia-sia dalam kehidupannya. Semuanya dihabiskan untuk kepentingan umat, bangsa dan negara. Kiai Kharismatik  ini wafat pada 26 Oktober 1987. Jenazahnya dikebumikan di komplek Pesantren Al-Ghazali Bogor.

2          Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau

2.1       Mengembara Menuntut Ilmu
KH.R. Abdullah bin Nuh, semasa kecil sudah dibawa oleh neneknya Nyai Raden Kalipah Respati untuk bermukim di Makkah. Neneknya adalah seorang janda kaya raya di Cianjur yang ingin diwafatkan di Makkah Mukarromah. Setelah dua tahun lamanya, beliau kembali dari Makkah kemudian belajar di Madrasah Al-I’anah Al-Mubarakah, madrasah yang didirikan oleh ayahandanya; KH.R. Nuh bin Idris pada tahun1912.

Semasa belajar, antara usia 8-13 tahun be;iau sudah menunjukan bakatnya dalam bahasa dan sastra arab. Beliau sangat pandai dalam berbicara bahasa Arab bahkan sudah sangat menguasai dan menghafal kitab Alfiyah ibnu Malik (tata bahasa arab) tingkat tinggi yang berjumlah seribu bait, baik dilafalkan dari bait pertama sampai bait seribu ataupun dari bait keribu ke bait pertama.

Selain menguasai bahasa dan sastra Arab, KH.R. Abdullah bin Nuh sangat pandai dalam berbahasa Inggris, diusia ini pula beliau mampu membuat tulisan dan syair dalam bahasa Arab. Oleh gurunya, artikel dan syair karya KH. R Abdullah bin Nuh dikirim ke majalah berbahasa Arab yang terbit di Surabaya.

Selain belajar di Al I’anah, beliau pun tidak henti-hentinya menggali dan menimba ilmu dari ayahnya. Suatu hari beliau berkata kepada muridnya: “Mama Mah Tiasa Maca Ihya Teh Khusus Ti Bapak Mama” (Bapak, bisa membaca kitab Ihya itu belajar dari bapak saya).

Pada tahun 1918, pada saat KH.R. Abdullah bin Nuh berusia 13 tahun, Madrasah Al I’anah melahirkan murid-murid pilihan/dakhiliyyah (galar yang diberikan untuk murid terbaik; dari segi keilmuan, leadership, mental, ahlaq, dll ) yang terdiri dari:

  1.     R. Abdullah (KH Abdullah bin Nuh)
  2.     R. M Zen,
  3.     R. Taefur Yusuf,
  4.     R. Asy’ari,
  5.     R. Akung dan
  6.     R. M Soleh Qurowi.

Mereka dikirim ke Pekalongan untuk menimba ilmu dan bermukim di internat (Pondok pesantren) Syamailul Huda di Jl. Dahrian (sekarang Jl. Semarang) yang dipimpinan oleh seorang Guru besar Sayyid Muhammad bin Hasyim bin Tohir Al Alawi Al Hadromi, keturunan Yaman wilayah Hadrol Maut. Di pesantren ini, KH. R Abdullah bin Nuh menimba ilmu bersama 30 orang sahabat seniornya yang sudah terlebih dahulu bermukim dan belajar disana. Mereka datang dari berbagai daerah, diantaranya: Ambon, Menado, Surabaya, Malaysia bahkan dari Singapore.

Pada usianya yang ke-18, yaitu pada tahun 1922, Sayyid Muhammad bin Hasyim Hijrah ke Surabaya. KH.R Abdullah bin Nuh ikut diboyong, karena Beliau merupakan salah seorang murid terbaik kesayangannya. Disana, Sayyid Muhammad bin Hasyim mendirikan “Hadrolmaut School”, dan KH. R Abdullah bin Nuh melanjutkan belajarnya. Selain belajar, beliau digembleng cara mengajar, berpidato, memimpin (leadership) dan lain-lain, diperbantukan untuk mengajar sekaligus menjadi redaktur Hadrolmaut, majalah mingguan edisi bahasa Arab di Surabaya (1922-1926).

Pada tahun 1926, pada saat usianya yang ke-22, kecerdasan dan kemampuannya dalam berbahasa Arab telah menghantarkan beliau untuk belajar di Universitas Al-Azhar Cairo pada bidang Fikih Fakultas Syari’ah dan Madrasah Darul Ulum Al Ulya (Al-Adaab).

2.2       Guru-Guru Beliau

  1. KH.R. Nuh bin Idris
  2. Sayyid Muhammad bin Hasyim bin Tohir Al Alawi Al Hadromi

2.3       Mendirikan dan Mengasuh Pesantren

Sejak 1968 M, KH. R Abdullah bin Nuh lalu menetap di Bogor dan pada tahun 1969 KH. R Abdullah bin Nuh mendirikan Majelis al-Ghazali dan Pesantren al-Ihya di Bogor. Di kedua tempat pendidikan ini ia berfungsi sebagai sesepuh. Di Bogor, Abdullah bin Nuh aktif melaksanakan kegiatan dakwah Islamiah dan mendidik kader-kader ulama.

Pesantren berkembang menjadi sebuah yayasan pendidikan ini hingga saat ini masih berdiri dengan dipimpin oleh putra bungsunya, KH. Mustofa. Yayasan al-Ghazali tidak hanya menyelenggarakan kegiatan pengajian rutin, tetapi juga membuka madrasah dan sekolah Islam dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK) hingga menengah atas.

3          Penerus Beliau

3.1       Anak-anak Beliau
 KH. Mustofa

3.2       Murid-murid Beliau

  1. KH. Drs. Muhammad Husni Thamrin Padmawijaya
  2. M. Maftuh Basyuni

4         Jasa, Organisasi, Karier, dan Karya

4.1       Jasa Beliau
Sepulangnya dari Mesir, KH. R Abdullah bin Nuh langsung turut aktif mempersiapkan perjuangan melawan penjajah Belanda. Beliau tercatat menjadi komandan PETA wilayah Jawa Barat khususnya, Cianjur tanah kelahirannya. Lalu setelah proklamasi kemerdekaan Beliau bergabung dengan Hizbullah dan Badan Keamanan Rakyat (BKR) untuk menggelorakan semangat perjuangan kemerdekaan di wilayah Jawa Barat.

Saat ibukota negara dipindahkan ke Yogyakarta tahun 1946 M, KH. R Abdullah bin Nuh turut pula hijrah bersama para tokoh pejuang kemerdekaan. Beliau menjadi salah satu tokoh inisiator pendirian Radio Republik Indonesia (RRI), dan KH. R Abdullah bin Nuh turut menjadi penyiar bahasa Arab dan bahasa Inggris yang menginformasikan berita Indonesia ke publik dunia. Mama Abdullah juga tercatat sebagai salah satu inisiator berdirinya Sekolah Tinggi Islam yang kini berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta.

Pada tahun 1948-1950, beliau menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Yogyakarta. KiprahKH. R Abdullah bin Nuh di tingkat nasional menjadikannya sebagai tokoh yang sangat diperhitungkan. Tidak hanya oleh kawan-kawan seperjuangannya, tetapi juga oleh Belanda yang kembali masuk Indonesia, dengan membonceng NICA. Beliau pun menjadi salah seorang tokoh yang hendak diciduk oleh Belanda.

Sekembalinya ke Jakarta 1949 M, KH. R Abdullah bin Nuh masih menjadi reporter di RRI dan berbagai majalah nasional. Pada 1964-1967 M, Mama Abdullah ditunjuk menjadi Lektor Kepala di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

4.2       Riwayat Organisasi

  1. Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Yogyakarta
  2. Rais Suriyah PCNU kota Bogor
     

4.3       Karier Beliau

  1. Menjabat sebagai Lektor Kepala (saat ini; Dekan) Fakultas sastra Universitas Indonesia (1964-1967).
  2. Kepala Seksi Siaran Bahasa Arab pada Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta
  3. Dosen Luar Biasa pada Universitas Islam Indonesia (UII)
  4. Pengasuh pesantren Majelis al-Ghazali dan Pesantren al-Ihya di Bogor

4.4       Karya-karya Beliau
KH. R Abdullah bin Nuh juga sangat produktif menulis dalam berbagai bahasa. Puluhan karya tulisnya diterbitkan secara luas bahkan sampai ke tanah Arab dan diakui secara internasional. Di antara karyanya yang terkenal adalah:

  1.  Kamus Indonesia-Inggris-Arab (bahasa Indonesia)
  2. Cinta dan Bahagia (bahasa Indonesia)
  3. Zakat dan Dunia Modern (bahasa Indonesia)
  4. Ukhuwah Islamiyah (bahasa Indonesia)
  5. Tafsir al-Qur’an (bahasa Indonesia)
  6. Studi Islam dan Sejarah Islam di Jawa Barat hingga Zaman Keemasan Banten (bahasa Indonesia)
  7. Diwan ibn Nuh (syiir terdiri dari 118 kasidah, 2731 bait
  8. Ringkasan Minhajul Abidin (bahasa Sunda)
  9. Al Alam al Islami (bahasa Arab)
  10. Fi Zhilalil Ka’bah al Bait al Haram (bahasa Arab)
  11. Ana Muslimun Sunniyun Syafi’iyyun (bahasa Arab)
  12. Muallimul Arabiyyah (bahasa Arab)
  13. Al Islam wa al Syubhat al Ashriyah (bahasa Arab)
  14. Minhajul Abidin (terjemah ke bahasa Indonesia)
  15. Al Munqidz min adl-Dlalal (terjemah ke bahasa Indonesia)
  16. Panutan Agung (terjemah ke bahasa Sunda).

Bukunya yang kembali diterbitkan dalam bahasa Indonesia adalah “Saya Muslim, Sunni,  Syafi’i”. Buku ini diterbitkan oleh Sahifa Publishing untuk memperkenalkan pemikiran agama yang komprehensif dari seorang KH. R Abdullah bin Nuh. Beliau adalah figur ulama multitalenta yang juga waliyullah.

5         Karomah

Saat kami berkunjung ke Pesantren Al-Ghazali disambut Ustad Turmudi menantu dari KH. Mustofa bin Abdullah bin Nuh. Disampaikan beberapa kisah kewalian KH. R Abdullah bin Nuh.

Dahulu, tatkala ada rombongan ulama di Jawa Barat berkunjung ke Pesantren kiai Hamid Pasuruan Jawa Timur. Mereka mengungkapkan keinginannya rutin ke majelis beliau di Pasuruan untuk mengaji agama kepada sang wali masyhur itu.

Namun, tak disangka kiai Hamid Pasuruan langsung dawuh dengan redaksi kurang lebih, “Tak usahlah datang mengaji ke majelis ini, terlalu jauh bagi kalian. Pergilah ke majelis yang diasuh KH. R Abdullah bin Nuh. Saya juga tiap Jumat sore, ngaji ke KH. R Abdullah bin Nuh di majelis beliau di pesantren al-Ghazali Bogor.”

Suatu ketika, di masa muda Habib Luthfi pernah silaturahim ke Pesantren Al-Ghazali Bogor. Kebetulan saat itu KH Abdullah bin Nuh sedang sakit-sakitan jadi tidak diperkenankan menerima tamu. Tetapi pada pagi itu,KH. R Abdullah bin Nuh khusus meminta disiapkan hidangan untuk menyambut seorang tamu spesial yang akan hadir hari itu.

Benar saja datanglah Habib Luhtfi bin Yahya dan dijamu dan diberikan ceramah bahasa Arab tanpa berhenti. Saat itu sebenarnya beliau sedang mentransfer 12 Kitab kepada Habib Luthfi bin Yahya. 12 kitab itulah yang dipelajariKH. R Abdullah bin Nuh dari kakek Habib Luthfi. Di antara kitabnya adalah Ihya Ulumuddin, Ummul Barahin

Ketiga, saat Habib Umar Majalaya saat berkunjung ke Pesantren Al-Ghazali sesekali menceritakan pengalamannya saat dahulu menemui KH. R Abdullah bin Nuh, menurut Habib Umar beliau seorang waliyullah dan Ulama intelek kelas internasional.

“Suatu hari ana datang, Mama KH Abdullah bin Nuh tengah dicukur, ana nyeletuk dalam hati, “Wah Kiai sudah tua yah.” Sontak beliau menjawab, “Leres Habib Abdi tos sepuh.!” (Benar sekali Habib, saya memang sudah tua renta). Padahal jarak Habib cukup jauh. Dari situ Habib Umar merasa malu dan percaya bahwaKH. R Abdullah bin Nuh adalah di antara waliyullah yang mulia dengan kedalaman ilmu agama yang istimewa.

6         Referensi

https://www.academia.edu/26612210/BIOGRAFI_RKH_Abdullah_bin_Nuh
https://justisia.com/2021/ajengan-abdullah-bin-nuh-ulama-sunda-kelas-dunia/
https://himatcianjur.blogspot.com/2011/07/profil-khr-abdullah-bin-nuh.html

 

 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya