Hati-Hati Bahaya Istidraj: Jebakan Kenikmatan yang Membinasakan

 
Hati-Hati Bahaya Istidraj: Jebakan Kenikmatan yang Membinasakan
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Layaknya orang tua yang memanjakan anaknya, Allah pun kerap pula memanjakan hamba-Nya, inilah yang dinamakan istidraj. Hal ini relevan dengan penjelasan Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Majid Al-Nur (2000), Jilid 5, halaman. 4319, yang menerangkan bahwa istidraj adalah pemanjaan agar lebih terjerumus kepada kehinaan.

Mereka (mustadrij) mengira bahwa Allah sedang memberikan kemuliaan padahal Allah sedang menghinakan perlahan-lahan dan bahkan membinasakan. Mereka selalu berbuat maksiat dan tidak beribadah namun Allah berikan kemewahan dunia. Allah memberikan harta yang berlimpah padahal tidak pernah bersedekah, rizki berlipat-lipat padahal jarang shalat, tidak senang pada nasihat ulama, dan terus berbuat maksiat.

Hidup dikagumi, dihormati, padahal akhlaknya bejat, diikuti, diteladani dan diidolakan, padahal bangga mengumbar aurat dalam berpakaian. Sangat jarang diuji sakit, padahal dosa-dosa menggunung, tidak pernah diberikan musibah, padahal gaya hidupnya jumawa, meremehkan sesama, angkuh dan bedebah.

Allah berikan anak-anak sehat dan cerdas, padahal ia beri makan dari harta hasil yang haram (riba, menipu, korupsi). Hidup bahagia penuh canda tawa, padahal, banyak orang karenanya terzhalimi, karirnya terus menanjak, padahal banyak hak orang yang diinjak-injak. Semakin tua semakin makmur, padahal berkubang dosa sepanjang umur.

Hal ini sebagaimana peringatan Allah SWT dalam Al-Qur’an:

وَالَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاَياَتِناَ سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لاَيَعْلَمُوْنَ. وَاُمْلِيْ لَهُمْ إنَّ كَيْدِيْ مَتِيْنَ

“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, akan Kami biarkan (istidraj) mereka berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dengan cara yang mereka tidak ketahui. Dan Aku akan memberikan tenggang waktu kepada mereka. Sungguh rencanaKu sangat teguh." (QS. Al-‘Araf: 182-183)

Istidraj itu berasal dari tasrif fiil: إستدرج- يستدرج- إستدراجا yang berasal dari kata dasar درج yang secara lughawi berarti tangga, meningkat, sedikit demi sedikit, tahap demi tahap ataupun perlahan-lahan. Sedangkan secara istilah berarti kenikmatan materi yang diberikan kepada seseorang yang secara lahir semakin bertambah, tetapi kenikmatan yang bersifat immaterial semakin dikurangi atau dicabut, sementara ia tidak menyadarinya. Secara lahiriah kemewahan duniawi Allah berikan, namun secara bathiniah perintah ketaqwaan (ittaqullah) ia abaikan.

Uraian tersebut diperkuat oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melalui hadis yang berbunyi:

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِى الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ. ثُمَّ تَلاَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم (فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ (رواه أحمد(

Artinya: “Dari Uqbah ibn Amir dari Nabi Saw, beliau bersabda, ‘Jika kamu melihat Allah memberikan kemewahan dunia kepada hamba-Nya yang suka melanggar perintah-Nya, maka itulah yang disebut istidraj.’ Kemudian beliau membaca firman Allah Surah al-An`am ayat 44, ‘Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.’” (HR. Ahmad)

Buya Hamka, dalam tafsir Al Azhar jilid 3, menjelaskan bahwa istidraj menurut Qs. Al-An’am ayat 44 dimaknai dikeluarkan dari garis lurus kebenaran tanpa disadari. Allah SWT memperlakukan apa yang Dia kehendaki, dibukakan segala pintu kesenangan, hingga orang tersebut lupa diri. Bila dianalogikan, ibaratnya tidak ingat bahwa sesudah panas pasti ada hujan, sesudah lautan tenang gelombang pasti datang. Mereka dibiarkan berbuat maksiat dengan hawa nafsunya hingga tersesat jauh. Lalu, siksaan Allah datang sekonyong-konyong.

Allah melakukan pembiaran atas maksiat yang mereka lakukan. Memberikan kesenangan terus menerus yang melalaikan. Hingga pada saatnya Allah akan mencabut semua kesenangan sampai mereka termangu dalam penyesalan yang terlambat. Hal ini juga terjadi pada zaman dahulu, Istidraj menimpa pada diri Fir’aun dan Qarun.

Fir’aun diberikan kekuasaan namun tetap jumawa. Akhirnya ditenggelamkan oleh Allah, karena kepongahannya. Ia menjadi manusia yang sombong dan menentang bahkan mengaku sebagai Tuhan. Akhirnya ia mati ditenggelamkan di dalam laut bersama pasukannya ketika mengejar Nabi Musa dan Bani Israil.

Qorun adalah salah satu orang yang hidup pada zaman Nabi Musa AS. Awalnya ia adalah orang miskin yang tidak punya apa-apa. Kemudian diajarkan kepadanya oleh Nabi Musa tentang cara mengelola emas. Dalam waktu singkat, ia pun menjadi kaya raya dengan mempunyai banyak emas dan harta melimpah. Akan tetapi, lambat laun ia mulai lupa kepada Allah. Qarun dengan kelalaiannya, pun dibinasakan dengan ditelan bersama harta-hartanya. Makanya, kalau hari ini ada yang menemukan harta tertimbun dalam tanah, orang-orang akan menyebutnya sebagai harta karun, dengan dinisbatkan kepada harta Qorun yang ditelan bumi. Sebagaimana firman Allah SWT:

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ لِأَنْفُسِهِمْ إِنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُوا إِثْمًا وَلَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ

Artinya: “Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan.” (QS. Ali-Imran: 178)

Istidraj bisa terjadi kepada siapa saja, baik orang awam maupun ahli ibadah. Orang mukmin akan merasa takut dengan istidraj, yakni kenikmatan semu yang sejatinya murka Allah SWT. Namun sebaliknya, orang-orang yang tidak beriman akan beranggapan bahwa kesenangan yang mereka peroleh merupakan sesuatu yang layak didapatkan. Biasanya, istidraj diberikan kepada orang-orang yang mati hatinya. Mereka adalah orang yang tidak merasa bersedih atas ketaatan yang ditinggalkan dan tidak menyesal atas kemaksiatan yang terus dilakukan.

Secara psikologis, orang yang tertimpa istidraj, prilakunya sangat terlena dengan semua yang ia punya, sehingga lupa bahwa semuanya hanyalah titipan sementara. Dia lupa bersyukur atas nikmat yang diberikan, begitu juga ia gemar melakukan kemaksiatan tanpa merasa berdosa. Dan mengangggap nikmat yang Allah SWT berikan merupakan sebuah kebaikan untuknya.

Ketika hal ini terjadi, maka akan berakibat nantinya mendapatkan siksaan dari arah yang tidak disangka-sangka. Maka dari itu, perlu meminta pertolongan kepada Allah Swt dan juga mengasah keimanan agar terus meningkat sehingga menyadari hakikat nikmat dan siksaan.

Cara termudah untuk membedakan kesenangan yang datangnya dari kemurahan Allah dengan istidraj adalah ketakwaan. Jika orang tersebut taat dalam beribadah, bisa jadi nikmat yang diterima adalah kemurahan Allah. Begitupun sebaliknya, apabila orang tersebut lalai dalam ibadah bisa jadi itu merupakan istidraj.

Bagi siapa saja yang saat ini sedang diliputi kebahagiaan, sedang merasakan rezeki yang lancar, kenaikan jabatan atau pun kebahagiaan lainnya, perlu waspada. Bisa jadi saat ini ia sedang teridentifikasi mengalami istidraj.

Bagaimana cara mengenalinya? Berikut ini adalah ciri-ciri istidraj yakni:

1. Nikmat dunia yang semakin bertambah, namun keimanan kita semakin menurun.

2. Mendapat kemudahan hidup meski terus menerus bermaksiat.

3. Rizki selalu bertambah, meski terus lalai dalam ibadah.

4. Semakin kaya, namun semakin menjadi kikir.

5. Jarang sakit, namun kerap berlaku sombong.

Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan oleh Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam al-Hikam, yakni:

خِفْ مِنْ وُجُوْدِ إِحْسَانِهِ إِلَيْكَ وَدَوَامِ إِسَاءَتِكَ مَعَهُ أَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ اسْتِدْرَاجاً سَنَسْتَدْرِجُهُم مِّنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ  

“Takutlah pada perlakuan baik Allah kepadamu di tengah durhakamu yang terus-menerus terhadap-Nya. Karena, itu bisa jadi sebuah istidrâj, seperti firman-Nya, ‘Kami meng-istidraj-kan mereka dari jalan yang mereka tak ketahui.’”

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa ketika seseorang mendapatkan kenikmatan, baik nikmat materi maupun non materi, hendaklah ia bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh zat pemberi nikmat, dan bukannya lupa kepadaNya. Dan segera bersyukur kepada-Nya, baik secara lisan, perbuatan maupun keyakinan dalam hati. Realisasi syukur itu bisa berupa semakin rajin beribadah, bersedekah maupun perilaku-perilaku yang bermanfaat bagi orang lain.

Begitu bahayanya istidraj, sampai-sampai Umar bin Khaththab pernah berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu menjadi mustadraj (orang yang ditarik dengan berangsur-angsur ke arah kebinasaan).” (Al Umm, Imam Sayfi'i, IV/157)

Oleh: Rakimin Al-Jawiy, S.Pd.i., M.Si., Dosen Psikologi Islam Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Editor: Daniel Simatupang