Perempuan di Tengah Gelanggang Masyarakat

 
Perempuan di Tengah Gelanggang Masyarakat
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Diskusi yang tidak pernah tuntas tentang perempuan adalah hukum seorang perempuan menjadi pemimpin dalam masyarakat. Ada banyak pendapat tentang masalah ini. Sebagian menyatakan bahwa, tidak masalah jika perempuan tersebut memang memiliki kemampuan (skill dan leadership) untuk menjadi seorang pemimpin seperti dikatakan di dalam al-Quran al-Taubah:71:

والمؤمنون والمؤمنات بعضهم أولياء بعض يأمرون بالمعروق وينهون عن المنكر ويقيمون الصلاة ويؤتون الزكوة ويطيعون االله و رسوله أولئك سيرحمهم االله ان االله عزيز حكيم

Artinya: “Dan orang beriman lelaki dan perempuan sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang makruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Taubah: 71)

Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin, jika yang dipimpinnya juga para perempuan, seperti bolehnya perempuan menjadi imam bagi perempuan yang lain. Artinya untuk organisasi keperempuanan sewajarnyalah dipimpin oleh seorang perempuan. Pendapat ketiga berperinsip bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, sebab ada ayat al-Qur’an dalam surah an-Nisa’ ayat 34 menyatakan:

الرجال قوموان على النساء بما فضل االله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم

Artinya: “Kaum lelaki adalah pemimpin atas perempuan oleh karena Allah telah melebihkan kaum lelaki di atas perempuan dan juga karena lelaki itu telah membelanjakan sebahagiaan harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34)

Ayat tersebut seakan disokong oleh hadis sahih:

خسر القوم الذين ولوا أمورهم امرأة

“Tidaklah akan bahagia suatu kaum yang mengangkat perempuan sebagai pemimpin mereka.”

Pendapat ketiga ini juga sesungguhnya melahirkan berbagai penafsiran, khususnya dalam memahami kata (قومون). Ibn Katsir menyatakan bahwa kata itu memang bermaksud lelaki yang harus menjadi pemimpin keluarga, sebab lelaki lebih baik daripada perempuan dalam mengemban tugas tersebut.

Sementara al-Tabari lebih menekankan kata tersebut sebagai pelindung dan pelaksana tugas. Pada sisi lain, al-Qaradawi lebih menitikberatkan penafsirannya terhadap ayat tersebut sebagai pengemban amanah dan tanggung jawab, bukan penguasa mutlak (tamlik) yang diskriminatif.

Apabila dilihat secara utuh, maka kepemimpinan di dalam Islam itu bukan berbentuk kekuasaan, akan tetapi justru beraroma amanah, tanggung jawab, dan perlindungan yang harus dilaksanakan. Jika dilihat dari aspek ini maka perempuan sesungguhnya berada pada posisi yang sangat mulia.

Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah di atas sebagian ulama melihat bahwa asbab al-wurud hadis di atas adalah, ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendengar berita pengangkatan putri penguasa Parsia sebagai pengganti ayahnya. Padahal sistem pemerintahan ketika itu sangat otoriter, sehingga tidak cocok berada di tangan perempuan.

Dalam kasus yang sama, Hamka secara khusus juga membicarakan permasalahan perempuan menjadi Sultanah di Aceh. Dia menjelaskan bahwa ulama Aceh dulu pernah membolehkan pemimpin dipegang oleh Sultanah, sebab di samping Sultanah ada majelis-majelis lain yang menjadi lembaga penasihat dan memberi pertimbangan kepada Raja atau ratu untuk memutuskan sesuatu. Artinya Raja dan Ratu tidak berkuasa mutlak. Dengan alasan ini, maka ulama-ulama Aceh menyetujui pengangkatan Sultanah Tajul Alam Syafiatuddin Syah memerintah Aceh selama 34 tahun (1644-1675), dan dilanjutkan oleh tiga Sultanah berikutnya.

Mungkin diskusi di atas terlalu panjang jika dibicarakan lebih lanjut. Namun yang paling sesuai dan tepat untuk diungkapkan adalah, peranan dan kiprah para perempuan Islam yang pernah mengukir namanya dengan tinta emas dalam lipatan sejarah.

Sebab, jika dieksplorasi sejarah Islam, sesungguhnya perempuan memiliki peranan luar biasa. Ada banyak tokoh yang namanya terpatri memiliki peranan penting dalam bidang-bidang tertentu yang selama ini seakan dimonopoli oleh pihak lelaki, seperti pendidikan, ekonomi, politik, pertahanan, arsitektur dan lainnnya.

Di antara tokoh tersebut ialah Khadijah binti Khuwailid, seorang konglomerat perempuan yang mampu mengembangkan usahanya ke level mancanegara. Fatimah binti Muhammad, seorang orator dan politikus yang konsekuen dan konsisten sampai akhir hayatnya. Asy-Syifa atau Ummu Sulaiman, seorang perempun yang menjadi penasihat ekonomi Khalifah Umar bin Khattab dan ditugasi sebagai menteri perdagangan.

Zubaidah, istri Harun al-Rasyid, seorang pakar pengairan. Dialah yang memerintahkan membuat saluran air dari Sungai Tigris di Bagdad sampai ke Arafah di Makkah dengan biaya 1.500.000 dinar. Dan dia pula yang merencanakan pembuatan waduk dan jemabatan-jembatan di wilayah Hijaz, Syam dan Irak. Ummu Musa, perempuan pertama menjadi Hakim di masa Khalifah al-Muqtadir. Pada mulanya diremehkan oleh masyarakat, namun akhirnya ulama terkenal Qadi Abu Hasan mengakui kealimannya. Dan masih banyak yang lainnya. Wallahu a’lam.

Oleh: Gus Salman Akif Faylasuf


Editor: Daniel Simatupang