Wayang, Hukum Mubah dan Kekayaan Nusantara
Laduni.ID, Jakarta – Hampir sepekan jadi polemik, wayang telah menjadi target yang diharamkan oleh penceramah yang tidak punya kapasitas paham tentang hukum Islam (fikih). Asal vonis haram dan bid’ah, lalu urusan belakangan, tinggal minta maaf selesai sudah.
Kenapa mereka asal ucap, seoalah agama representasi dari dirinya? Karena mereka tidak dengan ilmu untuk paham agamanya, yang ada adalah hafal beberapa ayat dan hadis untuk disampaikan ke umat. Kebetulan umat disibukkan oleh dunianya masing-masing, urusan agama tinggal dengar yang ceramah.
Situasi inilah target orang yang tidak paham agama merangseg untuk menyampaikan. Intinya membodohi umat dengan target opini terbentuk. Apa itu? Yaitu menjauhkan sesuatu dari maknanya. Agar beragama hanya tampakan jenggot, cadar, sorban, jidat hitam dan celana cingkrang.
- Baca juga: Sejarah Dakwah Melalui Wayang
Mereka tidak mau tahu soal budaya, tidak peduli soal seni, tidak ingin mengenali falsafah hidup orang Nusantara, tidak ingin paham tradisi orang-orang pribumi. Sebab mereka pendatang yang tak tahu diri. Mereka ini makhluk yang dikirim oleh agen-agen Wahabi-Salafi dari Timur Tengah, di saat yang bersamaan Kerajaan Arab Saudi tengah memasuki arus liberalisasi, kemodernan, dan kehidupan beragama yang moderat.
Meski konsisten menjaga prinsip dasar negara monarki, karena hal prinsipil yang tidak boleh diganggu. Makhluk-makhluk cetakan imigran ini disokong dana besar, dipola dan dikemas menjadi yang menarik. Hingga artis-artis hijrah menjadikan mereka anutan, atas nama hijrah (entah hijrah kemana).
Wayang, satu diantara ribuan budaya Nusantara lainnya yang populer, sebab digemari, sebab juga ditonton dan dinikmati falsafah hidup yang disampaikan oleh sang dalang. Meski wayang kulit tumbuh di pulau Jawa, tapi orang se-Indonesia mengenalinya sebagai kekayaan budaya Nusantara. Lalu apa hukum wayang, apa pula hukum pagelaran wayang?
Wayang itu dihukumi mubah, sebab tidak ada ketentuan ayat Al-Qur'an yang melarangnya, baik itu nash ayat atau dhohirnya. Dalam hadis pun tidak ada sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam yang jelas melarang Wayang, baik manthuq ataupun mafhumnya, bahkan tidak ada pula hadis secara khitob mewajibkan adanya wayang.
Dengan demikian kita perlu kembali ke kaidah al-Ashlu fi al-asyya' al-Ibahah (asal dari sesuatu adalah kebolehan) sebelum ada dalil yang mengharamkannya atau mewajibkan. Kenapa hukumnya boleh (mubah)? Karena tidak ada illat yang menunjukan haram, illat yang mengarah pada wajib, illat yang mengarah pada Sunnah.
Ingat hukum bisa timbul ada setelah kebolehannya jika ada illatnya laa hukma Illa bi illatin (tidak ada hukum kecuali dengan adanya illat). Larangannya pun dikarenakan ada al-Mani'. Jadi jangan berani-berani menghukumi sesuatu jika tidak paham masailnya. Mengarah pada istidlal pun perlu proses bahasan. Intinya Wayang itu silahkan diramaikan sebagai hiburan sekaligus edukasi.
Sadar akan kekayaan budaya Nusantara, adalah keniscayaan untuk menjaga dan merawatnya. Hidup yang berarti adalah hidup dengan makna. Maka budaya selalu menyuguhkan makna-makna.
Carenang, 20 Februari 2022
Oleh: Gus Hamdan Suhaemi, Wakil Ketua PW GP Ansor dan Ketua PW Rijalul Ansor Banten
Editor: Daniel Simatupang
Kunjungi Juga
- Pasarkan Produk Anda dengan Membuka Toko di Marketplace Laduni.ID
- Profil Pesantren Terlengkap
- Cari Info Sekolah Islam?
- Mau Berdonasi ke Lembaga Non Formal?
- Siap Berangkat Ziarah? Simak Kumpulan Info Lokasi Ziarah ini
- Mencari Profil Ulama Panutan Anda?
- Kumpulan Tuntunan Ibadah Terlengkap
- Simak Artikel Keagamaan dan Artikel Umum Lainnya
- Ingin Mempelajari Nahdlatul Ulama? Silakan
- Pahami Islam Nusantara
- Kisah-kisah Hikmah Terbaik
- Lebih Bersemangat dengan Membaca Artikel Motivasi
- Simak Konsultasi Psikologi dan Keluarga
- Simak Kabar Santri Goes to Papua
Memuat Komentar ...