Hal-hal yang Boleh Dilakukan di Masjid

 
Hal-hal yang Boleh Dilakukan di Masjid
Sumber Gambar: Pexels/Pixabay

Laduni.ID, Jakarta - Masjid adalah tempat ibadah umat muslim. Di Indonesia, selain masjid juga ada istilah musholla, surau, dan langgar. Selain menjadi tempat peribadatan, masjid juga digunakan untuk kegiatan belajar mengajar, mengaji Al Quran, bancaan, diskusi, perayaan hari besar, juga hal-hal lain. Bahkan dalam sejarah, masjid juga diperuntukkan sebagai pusat kegiatan sosial kemasyarakatan hingga kemiliteran (dalam menyusun strategi perang).

Masjid berasal dari bahasa Arab, yang tersusun dari huruf asli sin, jim, dan dal. Ini termasuk bentuk isim makan (isim yang menunjukkan tempat) dari sujud. Jika difathah (masjad) merupakan isim masdar. Kata yang serupa dengan wazannya misalnya maghrib (tempat/waktu terbenam) dan masyriq (tempat/waktu terbit). Namun menurut sebagian orang, masjid dan masjad sama maknanya, hanya saja kita tak pernah mendengar kata masjad. Di dalam kitab ash-Shohah disebutkan, masjad ialah kening seseorang ketika menempel di tempat sujud.

Menurut syara’, masjid ialah seluruh tempat di muka bumi. Pengertian ini berdasarkan sebuah hadir Rasul yang berbunyi:

جُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا

“Dijadikan untukku bumi sebagai masjid dan suci menyucikan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Ini salah satu keistimewaan umat Nabi Muhammad SAW. Karena umat sebelum kita tidak sah ibadahnya kecuali di tempat yang diyakini kesuciannya. Sementara kita bisa shalat di mana saja selain tempat yang diyakini najisnya.

Sujud merupakan posisi yang paling utama di dalam shalat, yang mana ada kedekatan antara hamba dan Tuhannya. Oleh karenanya, dipakai istilah masjid yang berakar dari kata sujud, tidak memakai istilah marka’ (tempat rukuk) atau istilah lainnya. Selain itu, kebiasaan orang menyebut masjid sebagai tempat yang disediakan untuk shalat, hingga muncul mushalla (yang maknanya tempat shalat) yang digunakan untuk memperingati perayaan hari besar dan kegiatan-kegiatan lain.

Masjid dan rumah Nabi saling berdampingan. Banyak kejadian-kejadian di masjid yang terdokumentasikan di dalam hadis-hadis mengenai hukum Islam. pada waktu itu, selain berfungsi sebagai tempat shalat, masjid juga digunakan untuk hal-hal lain. Sama seperti yang kita saksikan di masa kini. Berikut ragam kisah dalam hadis yang berbuah menjadi produk hukum tentang hal-hal yang boleh di lakukan di masjid.

Menyelesaikan urusan hak dan utang

Masjid punya peran besar dalam mendamaikan pertentangan, termasuk menyelesaikan urusan hak dan utang. Di sini masjid berfungsi sebagai mahkamah syar’iyyah. Disebutkan dalam Shahih Bukhari, hadis dari Abdullah bin Ka’b bin Malik dari Ka’b bahwa sesungguhnya ia berperkara soal utang dengan Abu Hadrad di masjid. Keduanya pun meninggikan suara, hingga Nabi yang rumahnya dekat pun mendengar. Lalu Nabi membuka tabir kamarnya lalu memanggil, “hai Ka’b, berikan potongan untuk utangnya.” Beliau berisyarat setengah. Ka’b membalas, “aku lakukan Ya Rasulallah.” Rasul berkata kepada Abu Hadrad, “Lunasi utangnya.”

Berprofesi dan mengerjakan pekerjaan

Jika terus-terusan hukumnya makruh. Namun apabila ia berniat untuk shalat dan i‘tikaf kemudian menjahit di sana, maka tidak masalah. Berbeda dengan pendapat Izzuddin yang berkata, “tidak baik bekerja di dalam masjid. Bukankah kau tahu, saat seseorang masuk ke rumah raja dan duduk di depannya, raja itu melihatnya dan apa yang dilakukan di rumahnya. Bagaimana mungkin ia bertindak seperti itu (bekerja).”

Membangun tempat bersuci

Diperkenankan membangun tempat bersuci atau tempat wudlu di dekat masjid. Diceritakan oleh Abu Ubaid dari Ibrahim an-Nakhai yang berkata, “kami bersuci dari tempat bersuci di masjid.” Hal itu didasarkan pada riwayat dari Ali dan Abu Hurairah.

Akad Nikah

Akad nikah di masjid hukumnya sunnah, berdasarkan hadits Aisyah ra yang berbunyi, “Rasulullah bersabda, ‘umumkanlah pernikahan, selenggarakan di masjid, dan ramaikan dengan rebana.’” (HR. at-Tirmidzi)

Membaca Al Quran

Sangat dianjurkan oleh ulama salaf maupun khalaf untuk meramaikan masjid dengan zikir. Dalam Shahih Muslim disebutkan dari Anas bin Malik. Suatu ketika kami di masjid bersama Rasulullah. Kemudian seorang badui datang dan kencing berdiri. Para sahabat pun langsung mengusirnya, “hus hus!” Nabi berkata, “jangan memotongnya, biarkan saja, tinggalkan saja sampai ia selesai kencing. Kemudian Nabi memanggil badui itu dan menasihati, “Sesungguhnya masjid itu tidak pantas untuk kencing dan kotoran. Masjid hanya untuk zikir kepada Allah, shalat, dan membaca Al Quran.” Rasul pun menyuruh seseorang untuk mengambil setimba air dan menuangkannya ke air kencing itu (agar masjidnya suci kembali).

Makan

Diperbolehkan makan roti maupun buah-buahan di dalam masjid. Ada baiknya jika ia menggelar alas agar makanan tidak mengotori masjid dan tidak menyebar sehingga mengundang binatang seperti semut. Ini pun jika makanan tidak memiliki bau tidak sedap. Jika makanannya seperti bawang putih, bawang merah, lobak, dll., maka hukumnya makruh makan di dalam masjid. Bahkan ada yang mengharamkan. Dalil diperbolehkannya makan di masjid ialah hadits riwayat Ibnu Majah dari Abdullah bin al-Harits bin Jaz’ az-Zubaidi yang menyampaikan pesan, “sesungguhnya pada masa Rasulullah kami makan roti dan daging di masjid.”

Mengalasi masjid dan menerangi dengan lampu

Disunnahkan memberi alas masjid dan memasang lampu untuk memberikan penerangan. Konon, orang pertama yang melakukan hal ini ialah Abu Hafsh Umar bin Khattab ra. Pada waktu Ali ra. melihat banyak orang di masjid shalat diterangi lampu yang bersinar terang, sementara kitab Allah dibacakan, ia bergumam, “engkau telah menerangi masjid kami. Semoga Allah menerangi kuburmu, wahai Ibnu Khattab.”


Sumber: Kitab Wadhifatul Masjid fil Mujtama’