Kisah Masa Kecil Syeikh Abdul Qadir Jailani

 
Kisah Masa Kecil Syeikh Abdul Qadir Jailani
Sumber Gambar: Syeikh Abdul Qadir Jailani (foto istimewa)

Laduni.ID, Jakarta - Bagi mayoritas umat Islam di dunia, sosok Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bukanlah sosok yang asing di telinga. Beliau menjadi demikian dikenal karena beliau terlahir sebagai ulama besar, ahli tasawuf dan menjadi panutan bagi segala penjuru. Posisi beliau sebagai “panutan” begitu terasa sempurna di hati sebagian besar umat Islam karena beliau secara ketat senantiasa mengamalkan ajaran-ajaran dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW dan menjadi dua peninggalan paling berharga setelah kepergian beliau Shallallaahu `alaihi wa Sallam.

Demikian pula dalam dunia tasawuf, nama Syaikh Abdul Qadir al-Jailani semakin terlihat cemerlang, melegenda, dan bahkan senantiasa tak bisa dilepaskan dalam setiap segi kehidupan spiritual yang selalu berkembang dalam sebagian besar masyarakat. Masyarakat luas senantiasa memandang beliau sebagai imam yang berbudi pekerti luhur dan seorang sulthanul Auliya’, yang berarti beliau merupakan pemimpin para wali dan kekasih Allah.

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani lahir pada tanggal 1 ramadhan tahun 471 Hijriyah atau 1077 Masehi di sebuah desa bernama Jailan Thabaristan. Adapun nama lengkap beliau adalah Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abu Shahih Musa bin Janka Dawsat bin Abdullah bin Yahya az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah bin Musa al-Juni bin Abdullah al-Mahdi bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian, dari pihak ayah, nasab beliau bersambung kepada Rasulullah SAW dari puteri beliau yang bernama Fatimah az-Zahra yang bersuamikan Ali bin Abi Thalib.

Sedangkan nasab dari pihak ibu adalah Abu Muhammad Abdul Qadir bin Fatimah binti Abdullah bin Abu Jamaluddin bin Thahir bin Abdullah bin Kamaluddin Isa bin Muhammad al-Jawwad bin Ali Ar-Ridha bin Musa al-Kadzim bin Ja`far as-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.

Kakek Syaikh Abdul Qadir al-Jailani yang bernama Abdullah merupakan seorang sufi agung, zahid, yang doanya senantiasa didengar oleh Allah. Syaikh Abu Abdilah Muhammad al-Qazwany berkata, “Syaikh Abdullah adalah seorang yang mustajab doanya. Apabila dia marah maka Allah akan segera menghancurkan yang dimurkainya. Dan apabila beliau menyenangi sesuatu maka Allah akan menjadikan sesuat tersebut sesuai dengan yang dikehendakinya.” Di balik kerapuhan badan dan kerentaan usianya beliau masih konsisten melaksanakan amalan sunnah dan berzikir. Kekhusyu’annya dapat dirasakan oleh semua orang. Beliau adalah sosok ulama yang sangat sabar dalam kekonsistenannya dan sangat menjaga waktunya. Beliau sering mengabarkan tentang sesuatu yang belum terjadi dan kemudian terjadi seperti apa yang beliau kabarkan.

Diriwayatkan tentang kisah kakek Syaikh Abdul Qadir al-Jailani ini sebagai berikut:

“Suatu saat ketika kami sedang melakukan perjalanan niaga, segerombolan perompak menyerang kami di padang pasir Samarkand. Saat itu ada yang berteriak memanggil Syaikh Abdullah dan berikutnya beliau muncul di tengah-tengah kami seraya mengucapkan ”Subbuhul Quddus, menjauhlah dari kami’. Gerombolan perampok itu bercerai-berai. Setelah selamat dari serangan itu kami mencari sang Syaikh dan tidak menemukannya. Beliau raib begitu saja. Setibanya kami di Jilan, kami menceritakan hal tersebut kepada orang-orang dan mereka berkata “demi Allah, Sang Syaikh tidak pernah hilang dari kami.”

Banyak sekali gelar yang diberikan oleh para ulama kepada sosok Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Diantaranya beliau mendapat gelar sebagai “imam pengikut madzhab Hanbali. Gelar ini diberikan oleh as-Sam’aani, seorang muhadist, hafidz, ahli Fiqh dan sastrawan yang meninggal sekitar tahun 510 hijriyah. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani juga mendapat gelar Syaikhul Islam, yang pertama kali diberikan oleh Adz-Dzahabi, seorang muhadist, syaikh, pemuka manusia di segala zaman, yang meninggal pada sekitar tahun 748 hijriyah. Sedangkan para sufi memberinya gelar sebagai al-Quthb wa al-Ghauts dan al-Baaz al-Asyhab.

Diriwayatkan bahwa saat mengandung Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, usia ibunda Syaikh adalah sekitar 60 tahun. Ada yang mengatakan bahwa tidak ada perempuan yang hamil pada usia 60 tahun kecuali wanita Quraisy dan tidak ada wanita yang dapat hamil pada usia 50 tahun kecuali wanita Quraisy. Syaikh Abdul Qodir berada dalam pengasuhan orang tuanya hingga sampai usia 18 tahun. Saat itulah bertepatan dengan tahun wafatnya At-Tamimi (448 hijriyah).

Dikisahkan, bahwa ibunda Syaikh Abdul Qadir al-Jailani pernah berkata, “Anak laki-lakiku, Abdul Qadir, dilahirkan di bulan Ramadhan yang mulia. Tidak peduli betapa kerasnya aku mencoba, dia menolak untuk menyusu di siang hari. Sepanjang masa bayinya dia tidak pernah makan selama bulan puasa.” Demikianlah, sebagian besar ulama berpendapat bahwa kewalian Syaikh Abdul Qadir al-Jailani telah didapat semenjak beliau lahir di muka bumi ini. Derajat ini menjadi derajat yang tidak setiap hamba dapat mencapainya, karena ia merupakan derajat orang-orang khusus yang telah dipersiapkan oleh Allah untuk menjadi khalifah fil Ardhi yang sempurna.

Dikisahkan pula, bahwa suatu hari masyarakat di sekitar tempat tinggal Syaikh Abdul Qadir tidak dapat melihat hilal untuk melihat awal masuk puasa. Mereka tidak tahu, apakah puasa telah dimulai atau belum. Karena itu kemudian mereka berbondong-bondong datang ke kediaman Syaikh abdul Qadir yang saat itu masih bayi dan bertanya kepada ibu beliau Ummu Khair Fatimah. Mereka menanyakan, apakah Abdul Qadir sudah makan atau belum hari itu? Karena Ummu Khair Fathimah menjawab bahwa Abdul Qadir belum makan, maka mereka menduga bahwa hari itu telah masuk bulan Ramadhan.

Diriwayatkan, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata, “Setiap kali muncul keinginan dalam diriku untuk bermain bersama anak-anak lain, aku mendengar suara yang berkata , “Kemarilah wahai Mubarak (orang yang diberkahi).” Aku ketakutan dan bersembunyi di kamar ibuku”.

Tatkala usia Syaikh Abdul Qadir mendekati masa baligh, beliau sangat gemar mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, mengunjungi para ulama yang mulia derajatnya lagi berpengetahuan tinggi, serta melaksanakan berbagai keutamaan. Dikatakan, bahwa langkah beliau dalam menuntut ilmu pengetahuan, dalam mengunjungi para ulama dan melaksanakan berbagai keutamaan lebih cepat daripada langkah burung merak jantan.”

Syaikh Abdul Qadir juga merupakan sosok waliyullah utama yang senantiasa menjunjung tinggi kejujuran. Mengenai hal ini, dikisahkan bahwa suatu hari Syaikh Abdul Qadir pergi ke ladang untuk membantu menggarap tanah. Selama beliau berjalan di belakang seekor lembu jantan, lembu tersebut selalu memalingkan kepalanya dan memandang beliau. Akhirnya lembu tersebut berkata, “Engkau tidak diciptakan untuk pekerjaan ini.”

Mendengar seekor lembu yang dapat berbicara Syaikh Abdul Qadir pun ketakutan. Beliau segera pulang ke rumah dan memanjat hingga ke atap rumah. Ketika sampai di atap beliau juga menemui keajaiban, di mana beliau melihat para jamaah haji yang tengah melakukan ibadah wuquf di Arafah. Beliau akhirnya segera menemui sang ibunda dan memohon izin kepadanya untuk pergi ke Baghdad guna menuntut ilmu pengetahuan kepada syaikh-syaikh besar di sana.

Ibunda Syaikh Abdul Qadir tentu saja heran mendengar permintaan dari anaknya yang begitu mendadak tersebut, ia kemudian bertanya, “Apa alasan permintaanmu yang tiba-tiba itu?”

Syaikh Abdul Qadir pun menceritakan tentang peristiwa yang baru saja dialaminya. Mendengar cerita tersebut ibunda Syaikh Abdul Qadir segera menitikkan air mata, menangis karena terharu, dan segera memberi izin kepada Syaikh Abdul Qadir untuk menuntut ilmu ke Baghdad. Sebelum Syaikh Abdul Qadir pergi, ibunda Syaikh memberi bekal berupa empat puluh batang emas yang dijahit pada bagian ketiak mantel sang Syaikh seraya menasehati beliau agar senantiasa berkata benar dan menjadi orang jujur dalam segala keadaan. ibunda melepas beliau seraya mengucapkan kata-kata, “Mudah-mudahan Allah SWT melindungi dan membimbingmu, wahai anakku. Aku memisahkan diriku sendiri dari orang yang paling mencintaiku karena Allah. Aku tahu bahwa aku tidak akann dapat melihatmu sampai hari pengadilan terakhir tiba.”

Dalam perjalanannya menuju kota Baghdad, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bergabung dengan sebuah kafilah. Tiba-tiba di tengah perjalanan, sekelompok perampok jalanan menyerang rombongan tersebut. Mereka dengan begitu kasarnya merampok harta benda yang dibawa oleh kafilah. Kemudian salah seorang dari perampok datang kepada Syaikh Abdul Qadir dan bertanya dengan kasar, “Hai anak muda, harta apa yang engkau miliki?”

Syaikh Abdul Qadir pun menceritakan tentang empat puluh batang emas yang dibawanya tersebut yang disimpan dalam jahitan di bagian ketiak mantelnya. Sang perampok yang mendengar pengakuan dari sang Syaikh hanya tertawa terbahak-bahak dan segera berlalu karena menyangka beliau sedang bergurau. Begitulah seterusnya, masing-masing dari perampok menanyai sang Syaikh, dan beliau menduga mereka pergi hendak mengadukan hal tersebut kepada pimpinannya, di mana mereka tengah membagi hasil rampasan yang di peroleh.

Akhirnya tibalah sang pemimpin perampok datang dan menanyai perihal harta yang dibawa oleh Syaikh Abdul Qadir. Dengan tenang beliau mengatakan kepada pemimpin rampok tersebut sesuai dengan apa yang telah beliau sampaikan kepada para rampok sebelumnya. Karena itu, untuk membuktikan perkataan beliau, sang pemimpin rampok meminta Syaikh Abdul Qadir untuk merobek bagian bawah ketiak beliau, tempat di mana harta tersebut berada. Dan benar saja, sang rampok mendapati empat puluh dinar di dalamnya.

Dengan penuh ketakjuban, sang pemimpin bertanya kepada Syaikh Abdul Qadir, “Uangmu telah aman, lalu apa yang memaksamu untuk menceritakan kepada kami bahwa engkau memilikinya dan memberitahukan tempat engkau menyembunyikannya?”

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dengan tenang menjawab, “Sesungguhnya ibuku berpesan kepadaku agar senantiasa jujur dan akupun berjanji untuk tidak mengkhianati pesan beliau tersebut.”

Setelah mendengar jawaban dari Syaikh Abdul Qadir, spontan pemimpin rampok tersebut meneteskan air mata, dan dengan penuh penyesalan ia berkata, “Aku telah mengingkari janjiku kepada siapa yang telah menciptakanku. Aku seringkali mencuri dan membunuh, lalu apa yang akan terjadi padaku?”

Melihat perubahan pada diri sang pemimpin yang begitu mengejutkan, para perampok lainnya berkata, “Engkau adalah pemimpin kami dalam merampok. Sekarang engkau pemimpin kami dalam bertaubat.”

Walhasil, seluruh rampok beserta sang pemimpin bertaubat di hadapan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan mengembalikan seluruh harta yang telah dirampas kepada para kafilah. Dan para rampok tersebut di kemudian hari dikenal sebagai murid pertama Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, padahal waktu itu beliau masih berumur sangat muda sekali.

Mengenai peristiwa ini Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menuturkan, “Keenam puluh orang itu (para perampok) memegang tanganku dan menyatakan penyesalannya serta keinginannya untuk mengubah jalan mereka. Keenam puluh orang itu adalah orang yang pertama memegang tanganku dan mendapatkan keampunan untuk dosa-dosa mereka.”


Sumber: Tasawuf Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani karya Kang Zeer El-Watsiy