Sunan Giri: Wali yang Muridnya Tersebar di Lintas Benua

 
Sunan Giri: Wali yang Muridnya Tersebar di Lintas Benua
Sumber Gambar: Sunan Giri (Dok. Laduni.ID)

Laduni.ID, Jakarta - Di awal abad 14 Masehi kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Menak Sembuyu salah seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit. Raja dan rakyatnya memeluk agama Hindu dan sebagian ada yang memeluk agama Budha.

Pada suatu hari Prabu Menak Sembuyu gelisah demikian permaisurinya, pasalnya putri mereka satu-satunya jatuh sakit. Selama beberapa bulan sudah diusahakan mendatangkan tabib dan dukun untuk mengobati, tetapi sang putri belum sembuh juga memang pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda wabah penyakit.

Patih Bajul Sengara bertemu dengan Syeikh Maulana Ishak yang sedang bertafakur di sebuah Goa. Syeikh Maulana Ishak mau mengobati putri Prabu Menak Sembuyu dengan syarat Prabu mau masuk atau memeluk agama islam.

Syeikh Maulana Ishak memang piawai di bidang ilmu kedokteran. Putri Dewi Sekardadu akhirnya sembuh setelah diobati oleh Syeikh Maulana Ishak dan wabah penyakit juga ikut lenyap dari wilayah Blambangan.

Sesuai janji Raja, maka Syeikh Maulana Ishak dikawinkan dengan Dewi Sekardadu kemudian diberi kedudukan sebagai Adipura untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan.

Tujuh bulan sudah Syeikh Maulana Ishak menjadi Adipati baru di Blambangan semakin hari semakin bertambah banyak penduduk setempat yang memeluk agama Islam. Sementara Patih Bajul Sengara tak henti hentinya mempengaruhi sang Prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya. Patih Prabu Menak jadi panas mengetahui hal ini.

Patih Bajul Sengara sendiri tanpa sepengetahuan sang Prabu sudah mengadakan teru pada pengikut Syeikh Maulana Ishak. Tidak sedikit penduduk Kadipaten yang dipimpin Syeikh Maulana Ishak diculik, disiksa, dan dipaksa kembali pada agama yang lama.

Syeikh Maulana Ishak sadar, apabila diteruskan akan terjadi pertumpahan darah yang seharusnya tidak perlu. Kasihan rakyat jelata yang harus menanggung akibatnya maka dia segera pamit kepada istrinya untuk meninggalkan Blambangan.

Akhirnya pada tengah malam dengan hati yang berat karena harus meninggalkan istri tercintanya yang sedang hamil 7 bulan, Syeikh Maulana Ishak berangkat meninggalkan Blambangan seorang diri.

Keesokan harinya pasukan besar prajurit Blambangan yang dipimpin oleh Patih Bajul Senggara menerobos masuk wilayah Kadipaten yang sudah ditinggalkan Syeikh Maulana Ishak.

Dua bulan kemdian dari rahim Sekardadu lahir bayi laki laki yang elok rupanya. Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan permaisurinya merasa senang dan bahagia melihat kehadiran cucunya yang rupawan itu.

Bayi itu lain daripada yang lain, wajahnya mengeluarkan cahaya yang terang. Lain halnya dengan Patih Bajul Sengara dibiarkannya bayi itu mendapat limpahan kasih sayang selama 40 hari sesudah itu dia menghasut Prabu Menak Sembuyu, kebetulan pada saat itu wabah penyakit berjangkit kembali ke Blambangan maka Patih Bajul Sengara berulah lagi, “bayi itu benar gusti Prabu cepat atau lambat bayi itu akan menjadi bencana kemudian hari”.

Sang Prabu tidak cepat mengambil keputusan dikarenakan dalam hatinya dia terlanjur menyukai kehadiran cucunya itu, namun sampai tiada bosannya menteror dengan hasutan dan tuduhan keji yang akhirnya sang Prabu terpengaruh juga walau demikian tiada tega juga dia memerintahkan pembunuhan cucunya itu.

Secara langsung bayi yang masih berusia 40 hari dimasukan kedalam peti dan diperintahkan untuk dibuang ke Samudra.

Pada suatu malam ada sebuah prahu dagang dari Gresik melintasi Selat Bali, ketika prahu itu berada di tengah-tengah selat Bali tiba tiba terjadi keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak maju dan mundur.

Nahkoda pun memerintahkan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab kemacetan kapal itu. Setelah diperiksa ternyata perahu itu hanya menambrak sebuah peti berukir indah, seperti peti milik kaum bangsawan yang digunakan menyimpan barang berharga.

Nahkoda memerintahkan mengambil peti itu, semua orang terkejut karena di dalamnya terdapat seorang bayi mungil yang rupawan. Nahkoda merasa gembira menyelamatkan jiwa si bayi mungil itu dan mengutuk orang yang tidak berkeprimanusiaan.

Nahkoda kemudian memerintahkan awak kapal untuk melanjutkan pelayaran ke Pulau Bali, tapi perahu tidak dapat bergerak maju, ketika perahu diputar dan digerakkan kearah Gresik ternyata perahu itu melaju dengan cepatnya.

Dihadapan Nyi Ageng Pinatih janda kaya raya pemilik kapal, nahkoda berkata sambil membuka peti itu, inilah yang menyebabkan kami kembali ke Gresik dalam waktu secepat ini. Kami tidak dapat meneruskan pelayaran ke Pulau Bali, kata sang Nahkoda.

Bayi siapa ini gumam Nyai Ageng Pinatih sembari mengangkat bayi itu dari dalam peti, “Kami menemukanya di tengah Samudera Selat Bali,” jawab nahkoda kapal.

Bayi ini kemudian mereka serahkan kepada Nyai Ageng Pinatih untuk diambil sebagai anak angkat, memang sudah lama dia menginginkan seorang anak. Karena bayi ini ditemukan di tengah Samudra maka Nyai memberi nama Joko Samudra.

Ketika berumur sebelas tahun Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samudra untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya. Menurut beberapa sumber mula pertama kali Joko setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik.

Sunan Ampel kemudian menyarankan agar anak itu mondok saja di Pesantren Ampel Denta supaya lebih konsentrasi dalam mempelajari agama Islam.

Pada suatu malam seperti biasanya, Raden Rahmat mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat tahajud mendoakan muridnya dan umat agar selamat di dunia dan akherat. Sebelum berwudhu Raden Rahmat menyempatkan diri melihat para santri yang tidur di asrama tiba-tiba Raden Rahmat terkejut ada sinar terang memancar dari salah satu santrinya selama beberapa saat beliau tertegun, sinar terang itu menyilaukan mata.

Untuk mengetahui siapakah muridnya yang wajahnya bersinar itu maka Sunan Ampel memberi ikatan pada sarung murid itu. Keesokan harinya sesudah shalat subuh Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu, siapakah diantara kalian yang bangun tidur kain sarungnya yang ada ikatan, “saya kanjeng Sunan” ujar Joko Samudra.

Melihat yang mengacungkan tangan adalah Joko Samudra, Sunan Ampel makin yakin bahwa anak itu pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan pada waktu itu Nyai Pinatih datang menjenguk Joko Samudera. Pada kesempatan itu digunakan oleh Sunan Ampel untuk bertanya lebih jauh tentang asal usul Joko Samudera.

Nyai Ageng Pinatih menjawab sejujur-jujurnya, bahwa Joko Samudera ditemukan di tengah Selat Bali ketika masih bayi dan peti yang digunakan untuk membuang bayi hingga sekarang masih tersimpan rapih di rumah Nyai Ageng Tinapih.

Teringat pada pesan Syaikh Maulana Ishak sebelum berangkat ke Negeri Pasai maka Sunan Ampel kemudian mengusulkan Nyai Ageng Pinatih agar menggati nama anak itu diganti menjadi Raden Paku. Nyai Ageng menurut saja apa kata Sunan Ampel dia percaya penuh wali besar yang dihormati masyarakat bahkan juga seorang Pangeran Majapahit itu.

Di Negeri Pasai banyak orang pandai dari berbagai negeri, disana juga ada ulama besar yang bergelar Syeikh Awwalul Islam, dialah ayah kandung yang nama aslinya Syeikh Maulana Ishak, pergilah kesana tuntutlah ilmunya yang tinggi dan tuntutlah keteladanan kesabarannya dalam mengasuh para santri dan berjuang menyebarkan agama islam. Hal ini akan berguna kelak dikehidupanmu di masa yang akan datang.

Pesan itu dilaksanakan oleh Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim, ketika sampai di negeri Pasai keduanya disambut penuh rasa gembira dan haru oleh Syeikh Maulana Ishak ayah kandung Raden Paku yang tak pernah melihat anaknya dari bayi.

Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai ilmu laduni yaitu ilmu yang berasal dari tuhan sehingga kecerdasannya seolah tiada bandingnya. Di samping belajar ilmu Tauhid mereka juga belajar ilmu Tasawuf dari Ulama Iran, Bagdad dan Hujarat yang banyak menetap di negeri Pasai.

Ilmu yang dipelajari itu berpengaruh dan menjiwai Raden Paku dalam sehari-harinya sehingga benar bila ia memiliki ilmu tingkat tinggi. Ilmu yang sebenarnya dimiliki oleh ulama usia lanjut dan berpengalaman. Dan gurunya memberinya gelar Syeikh Maulana Ainul Yaqin.

Sesudah pulang dari pengembaraannya atau berguru dari Pasai ia memperkenalkan diri ke Dunia kemudian berkedudukan di atas bukit di Gresik dan ia menjadi orang pertama yang paling terkenal dari Sunan-Sunan Giri yang ada. Di atas Gunung tersebut seharusnya ada Istana karena dikalangan rakyat dibicarakan adanya Giri Kedaton Kerajaan Giri.

Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari berbagai penjuru seperti Maluku, Lombok, Makasar,Madura, Hittu, dan Ternate.

Menurut Babat Tanah Jawa murid-murid itu justru bertebaran hampir diseluruh penjuru benua besar seperti Eropa, Rum, Arab, Cina, Mesir dan lain-lainnya. Semua itu adalah penggambaran nama Sunan Giri sebagai ulama besar dihormati orang pada zamannya.

Di samping pesantren yang besar ia juga membangun Masjid sebagai pusat ibadah dan pembentukan iman umatnya. Untuk para santri yang dari jauh beliau juga membuat asrama yang luas.

Disekitar bukit tersebut sebenarnya jarang dihuni penduduk karena sulitnya mendapatkan air. Dengan adanya Sunan Giri, air itu dapat diatasi dengan membuat sumur atau sumber air itu sangat aneh dan ghaib hanya beliau yang dapat melakukannya.

Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1412 M. Beliau memerintah kerajaan Giri kurang leih 20 tahun. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau bergelar Prabu Satmata pengaruh Sunan Giri sangatlah besar terhadap kerajaan islam di Jawa maupun luar Jawa. Sebagai buktinya adalah kebiasaan bahwa bila seorang hendak dinobatkan menjadi Raja haruslah mendapat pengesahan dari Sunan Giri.

Nasab Sunan Giri bersambung sampai kepada Rasulullah SAW, yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad an-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Ibrahim Zainuddin Al-Akbar As-Samarqandy (Ibrahim Asmoro), Maulana Ishaq, dan Ainul Yaqin (Sunan Giri).

Giri Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama 200 tahun, sesudah Sunan Giri Sunan Giri wafat pada malam Jumat, 24 Rabiul Awal tahun 913 Hijriah atau 1428 Saka atau 1506 Masehi dalam usia 63 tahun. Beliau dimakamkan di sebelah utara padepokan Giri Kedaton. Makam Sunan Giri terletak di Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik. Komplek makamnya terletak di tengah puncak bukit Giri.  beliau digantikan anak keturunannya yaitu:

Sunan Dalem, Sido Margi, Sunan Prapen, Sunan Kawis Guwa, Panembahan Ageng Giri, Panembahan Maswitana Sideng Rana, Pangeran Singonegoro (bukan keturunan Sunan Giri), Pangeran Singosari.

Pangeran Singosari ini berjuang gigih mempertahankan diri dari serbuan Sunan Amangkurat dua yang dibantu oleh VOC dan Kapten Jonker. Sesudah Pangeran Singosari wafat pada tahun 1679 habislah kekuasaan Giri Kedaton, meski demikian karisma Sunan Giri sebagai ulama wali terkemuka tetap abadi sepanjang masa.


Editor: Nasirudin Latif