Dicegah Berbuat Maksiat

 
Dicegah Berbuat Maksiat
Sumber Gambar: Ilustrasi?Islamidia.com

Laduni.ID, Jakarta – Namanya Abrahah (أَبْرَهَةُ), orang Nasrani. Sifatnya digambarkan riwayat sebagai orang yang ḥalim (الحَلِيْمُ) yakni sangat penyabar dan sanggup mengontrol emosi dengan baik. Gambaran beberapa tindakannya memberi kesan dia adalah penganut Nasrani yang baik, relijius dan pemaaf.

Dia seorang politisi, tepatnya semacam “Gubernur” bagi kerajaan Habasyah di Etopia/Afrika. Raja pada kerajaan ini bergelar Najasyi. Area kekuasaan Abrahah ada di Yaman.

Suatu saat Abrahah merasa cemburu dengan Ka’bah, dia semacam tidak terima Ka’bah lebih populer dan lebih diagungkan orang Arab. Diapun berambisi membangun tempat ibadah serupa untuk menyainginya, rumah ibadah itu dinamai al-Qullais (القُلَّيْسُ).

Tapi ada orang Arab yang tidak terima, malam hari diam-diam dia berak di sana. Abrahah murka. Karena pelakunya orang Arab yang mengagungkan Ka’bah, maka dia memutuskan datang ke Mekah untuk menghancurkan Kakbah. Niat dia bukan untuk membunuhi penduduk Mekah, dia hanya ingin menghancurkan Ka’bah saja.

Tapi ada yang aneh, ketika mereka tiba di sebuah tempat yang bernama lembah Muḥassir, di antara Muzdalifah dan Mina (kira-kira 9 Km dari Kakbah), tiba-tiba gajah-gajah Abrahah turun mendekam, tidak mau berjalan dan tidak mau bergerak. Mereka terus mendekam dan tidak mau bangkit. Pasukan Abrahah memukuli gajah itu, namun mereka tetap bergeming.

Mereka juga memukuli kepala gajah dengan besi, namun gajah-gajah itu tetap enggan berdiri. Demikian kesalnya, tentara itu mereka sampai menusuk-nusuk bagian bawah perut gajah itu hingga berdarah agar bangkit, namun kumpulan gajah itu tetap tak tergoyahkan.

Kemudian mereka mencoba mengarahkan gajah-gajah tersebut ke arah Yaman untuk pulang, ternyata spontan gajah-gajah itu mau berdiri dan berlari. Ketika di arahkan menuju Syam, mereka juga mau berdiri dan berlari. Ketika di arahkan menuju timur, mereka juga mau berdiri dan berlari. Tetapi ketika di arahkan ke Mekah, mereka terduduk mendekam kembali tidak mau bergerak.

Tentu saja, kebanyakan ibrah yang terlintas pertama kali ketika mengatahui mogoknya gajah-gajah Abrahah ini adalah kekuasaan Allah dalam melindungi Ka’bah. Itu tidak salah. Tapi marilah melihat dari sudut pandang Abrahah, sebagai pelaku niat penghancuran Ka’bah ini untuk mendapatkan ibrah lain.

Begini, sebenarnya Allah itu akan memberi tanda untuk “mencegah” hamba yang hendak melakukan perbuatan batil. Tanda itu adalah jenis rahmat dan kasih sayang Allah agar orang mau berfikir lalu membatalkan rencana jahatnya.

Niat Abrahah jelas batil, maksiat dan bukan niat yang didasarkan untuk memperoleh rida Allah. Niat awalnya membangun tempat ibadah sudah salah. Niatnya bukan karena Allah, tapi motif duniawi yakni megah-megahan dan kecemburuan karena Ka’bah lebih populer. Kemarahannya karena gerejanya di-tinja-i juga bukan kemarahan karena Allah, tapi kemarahan yang malah dijadikan justifikasi untuk melenyapkan pesaing yang selama ini membuatnya dengki.

Bisa jadi Abrahah termasuk Nasrani yang lurus seperti Waraqah bin Naufal, jika melihat Najasyi di zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam adalah Najasyi yang adil dan lurus. Tapi niatnya membangun tempat ibadah adalah salah dan niatnya menghancurkan Ka’bah juga batil. Mungkin jika Abrahah mau menyelidiki asal-usul Ka’bah, lalu tahu itu dibangun Nabi Ibrahim yang terhubung dengan Nabi Isa, maka dia seharusnya tidak berani menyentuhnya.

Tapi mungkin yang dilihat Abrahah hanya penampakan zahirnya, yakni bahwa orang-orang Arab, khususnya penduduk Mekah adalah masyarakat pagan penyembah berhala sehingga mereka dipandang kafir musyrik dalam ajaran Nabi Isa yang lurus.

Walaupun begitu, Allah masih sangat sabar dan memberi tanda kepada Abrahah bahwa perbuatannya batil. Allah memerintahkan gajah-gajah yang dibawanya ngambek dan mogok. Seandainya dia mau merenung dan megevaluasi niatnya dan senantiasa mencari petunjuk dari Allah, lalu membatalkan misinya, niscaya dia dan tentaranya tidak akan binasa dengan pasukan burung dari Allah.

Demikian pula kita, jika benar-benar mau merenungi setiap lekuk kehidupan kita dan semua peluang serta niat jahat kita, maka sebenarnya sangat sering Allah memberikan tanda untuk “mencegah” kita. Hanya saja tidak semua serius memperhatikan dan tidak semua menganggap itu sebagai ayat. Hanya saat Allah memberikan hukuman keras dan musibah berat atau bahkan kebinasaan, baru orang bisa sadar dan menyesali hal yang telah lewat.

Hamba yang sering bershalawat, yang sering beristirja’ ketika ditimpa musibah dan berusaha menjaga keikhlasan setiap beramal saleh, biasanya mendapatkan kemuliaan dicegah untuk berbuat maksiat (nikmat al-zajru ‘an al-ma‘ṣiyah). Tapi sayang tidak banyak yang sadar bentuk pemuliaan dari Allah ini. Sering kali diabaikan, sering tidak dianggap ayat, dan berpaling dari ayat tersebut (hum ‘an ayatiha mu’riḍun). Akibatnya, Allah-pun bisa jadi menghukumnya tiba-tiba, memurkainya, memberinya kesusahan, dan mencabut sebagian nikmat atau banyak nikmat yang pernah diberikan kepadanya.

Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M. R. Rozikin)
Dikutip dari unggahan FB Muafa pada 23 Maret 2022


Editor: Daniel Simatupang