Pengertian dan Hukum Liwath atau Sodomi

 
Pengertian dan Hukum Liwath atau Sodomi
Sumber Gambar: id.pngtree.com (ilustrasi foto)

Laduni.ID, Jakarta - Liwath ialah pemakaian anus untuk bersenggama. Dalam ensiklopedi agama dan filsafat, Liwath dalam bahasa Arab artinya melakukan jima (persetubuhan) melalui lubang dubur yang dilakukan oleh sesama pria.

Liwath ialah melakukan persetubuhan di dubur, baik dubur laki-laki atau dubur perempuan walaupun dubur isterinya sendiri.

Melakukan persetubuhan di dubur hukumnya adalah haram dan sama seperti bersetubuh difaraj perempuan yang bukan isterinya, dan juga sama hukumannya dengan berzina. Mereka yang melakukan liwat, wajib dikenakan hukuman hudud, yaitu dirajam sehingga mati, jika orang yang berliwat itu muhsin. Dan dikenakan hukuman sebat 100 kali sebat dan buang negeri selama setahun, jika berliwat dengan bukan muhsin. (Kifayatul Ahyar juzuk 2 muka surat 111-112)

Dalam Al-Quran perilaku liwath disebut dengan kata fahisyah. Firman Allah surah al-A’raf : 80.

Dan (Kami juga Telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia Berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelum kamu?”

Menurut Muhammad Ali al-Shabuni, kata fahisyah diartikan pelampiasan nafsu seks laki-laki kepada sesama jenisnya melalui dubur. Pengertian ini sama dengan pengertian Liwath (Sodomi) dalam referensi yang sudah disebutkan.

Muhammad Ali al-Sabuni menjelaskan bahwa kaum yang pertama kali melakukan liwath (sodomi) adalah kaum Nabi Luth AS yang tinggal di daerah Sodom.

Keburukan paling besar dan tiada taranya dari kaum Nabi Luth as. setelah kemusyrikan adalah sodomi. Karena itu, Nabi Luth as mengecam mereka setelah menegaskan ketulusan dan kebebasan motivasinya dari segala kepentingan duniawi.

Kaum Nabi Luth as. itu diberi gelar oleh Nabi Luth as. dengan “qoumun adun ”. Kata ‘adun adalah bentuk jamak dari kata adiy yaitu yang melampaui batas haq/kewajaran dengan melakukan kebatilan, pelampauan batas yang menjadi penutup ayat ini mengisyaratkan bahwa kelakuan kaum Nabi Luth as. itu melampaui batas fitrah kemanusiaan, sekaligus menyia-nyiakan potensi mereka yang seharusnya ditempatkan pada tempatnya yang wajar, guna kelanjutan jenis manusia.

Diperbolehkan bagi seorang suami untuk bersenang-senang (istimta’) dengan istrinya dengan cara bagaimanapun selain dengan melakukan hubungan intim melalui dubur (liwath).

Termasuk diperbolehkan bagi suami untuk menjilat atau menghisap kelentit/ klitoris (bidhr) istrinya (begitu juga sebaliknya), asalkan tidak dilakukan saat istri sedang haid. Namun tetap diusahakan agar tidak sampai menjilat madzi yang biasanya keluar saat istimta’, karena madzi hukumnya najis.

ﻭَﻗَﺎﻝ ﺍﻟْﻔَﻨَﺎﻧِﻲُّ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌﻴَّﺔِ : ﻳَﺠُﻮﺯُ ﻟِﻠﺰَّﻭْﺝِ ﻛُﻞ ﺗَﻤَﺘُّﻊٍ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﺑِﻤَﺎ ﺳِﻮَﻯ ﺣَﻠْﻘَﺔِ ﺩُﺑُﺮِﻫَﺎ ، ﻭَﻟَﻮْ ﺑِﻤَﺺِّ ﺑَﻈْﺮِﻫَﺎ

Artinya: “Al Fanani dari golongan Syafi’iyyah berkata, ‘Diperbolehkan bagi suami bersenang-senang dengan istrinya dengan anggota manapun kecuali melalui duburnya, walaupun dengan cara menghisap alat kelaminnya.” (Kitab I’anatut Tholibin juz 3 hal 406)

Yang tidak diperbolehkan saat hubungan antara suami istri hanyalah hubungan badan melalui dubur (anus) yang disebut liwat.

ﻧﺴﺎﺅﻛﻢ ﺣﺮﺙ ﻟﻜﻢ ﻓﺄﺗﻮﺍ ﺣﺮﺛﻜﻢ ﺃﻧﻰ ﺷﺌﺘﻢ { ﻗﺎﻝ ﻳﻘﻮﻝ ﻳﺄﺗﻴﻬﺎ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ ﺷﺎﺀ ﻣﻘﺒﻠﺔ ﺃﻭ ﻣﺪﺑﺮﺓ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺫﻟﻚ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺮﺝ

Artinya: “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (QS.Al Baqarah :223)

Larangan Wathi Dubur

Dalam Al Qur’an dan Hadis Nabi sangat tegas melarangnya dan menghukuminya haram. Allah SWT mengutuk perbuatan ini dengan firmanNya :

Artinya: “Dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (ingatlah) tatkala Dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah (menjijikan) itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu? Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Al A’raf : 80 – 81)

Rasulullah SAW bersabda :

ﻣَﻠْﻌُﻮﻥٌ ﻣَﻦْ ﺃَﺗَﻰ ﺍِﻣْﺮَﺃَﺓً ﻓِﻲ ﺩُﺑُﺮِﻫَﺎ

Artinya: “Terlaknatlah orang yang menggauli istrinya di duburnya.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)

ﻟَﺎ ﻳَﻨْﻈُﺮُ ﺍَﻟﻠَّﻪُ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺟُﻞٍ ﺃَﺗَﻰ ﺭَﺟُﻼً ﺃَﻭْ ﺍِﻣْﺮَﺃَﺓً ﻓِﻲ ﺩُﺑُﺮِﻫَﺎ

Artinya: “Allah tidak akan melihat laki-laki yang menyetubuhi seorang laki-laki atau perempuan lewat duburnya.” (HR. Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Hibban)

Hukuman Bagi Pelaku Liwat (wati dubur)

  1. Jika pelakunya sudah menikah (muhson) yang berhubungan liwath dengan orang lain (zina) maka hukumannya dirajam (dikubur sampai sebahu kemudian dilempari batu) sampai mati.
  2. Jika pelakunya belum menikah (ghairu muhson) maka hukumannya di cambuk 100 kali dan diasingkan setahun.
  3. Jika melakukan liwat dengan istri sendiri atau berhubungan saat sedang haid maka hukumannya adalah ta’zir. (Kitab Nihayatuz Zain hal 349)
  4. Ta’zir adalah hukuman yang ditetapkan hakim atas pidana yang tidak mengakibatkan hukum had (rajam, potong tangan, cambuk, dll). Bentuk hukumannya bisa bermacam-macam, bisa dengan dipukul, dipenjara, diasingkan, digunduli, diarak, dll yang jenis dan kadarnya ditentukan hakim tergantung dari tingkat maksiatnya.

Referensi:

  1. Muhammad Ali al-Sabuni, Shofwah al-Tafasir , (Beirut Lebanon: Dar al-Fikr, t.th). Imam Muwafiquddin ibn Qudamah,
  2. Al-Mughni , (Beirut Lebanon: Darul Kutub al-Alamiyyah, t.th). Marzuki Salabah,
  3. Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas Kontemporer Umat Islam , (Jakarta: UII Press, 2001). Mochtar Efendy, Ensiklopedi Agama Filsafat , (Surabaya: Universitas Sriwijaya, 2001).​
  4. Kitab I’anatut Tholibin juz 3 hal 406
  5. Kitab Nihayatuz Zain hal 349