Biografi Syekh Quro ( Syekh Quratul Ain)

 
Biografi Syekh Quro ( Syekh Quratul Ain)

Daftar Isi

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1  Riwayat Syekh Quro
1.2  Riwayat Keluarga Syekh Syekh Quro
1.3  Nasab Syekh Quro
1.4  Wafat

2.  Sanad Ilmu dan Pendidikan Syekh Quro

2.1  Guru-guru Syekh Quro

3.  Penerus Syekh Quro

3.1  Anak-Anak Syekh Quro
3.2  Murid-murid Syekh Quro

4.  Perjalanan Dakwah Syekh Quro

5.  Keteladanan Syekh Quro

7.  Referensi

 

1    Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1  Riwayat Syekh Quro

Syekh Quro Menurut naskah Purwaka Caruban Nagari, Syekh Quro adalah seorang ulama dari Campa. Beliau adalah putra Ulama besar Perguruan Islam dari negeri Campa yang bernama Syekh Yusuf Siddik. Beliau masih ada garis keturunan dari Syekh Jumadil Kubro dan kakeknya Syekh Jalaluddin, seorang ulama dari Mekkah. Dari garis nasab ibunya yang bernama Dyah Kirana.
Beliau juga mempunyai nama lain yaitu:

  1. Syekh Qurotul Ain
  2. Syekh Hasanudin
  3. Syekh Mursahadatillah

1.2  Riwayat Keluarga Syekh Quro

Beliau menikah dengan Ratna Sondari Putri dari Ki Gedeng Karawang,dan dikaruniai putra:

  1. Syekh Akhmad

1.3  Nasab Syekh Quro

  1. Nabi Muhammad Rasulullah SAW.
  2. Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib
  3. Al-Imam Al-Husain
  4. Al-Imam Ali Zainal Abidin
  5. Al-Imam Muhammad Al-Baqir
  6. Al-Imam Ja’far Shadiq
  7. Al-Imam Ali Al-Uraidhi
  8. Al-Imam Muhammad An-Naqib
  9. Al-Imam Isa Ar-Rumi
  10. Al-Imam Ahmad Al-Muhajir
  11. As-Sayyid Ubaidillah
  12. As-Sayyid Alwi
  13. As-Sayyid Muhammad
  14. As-Sayyid Alwi 
  15. As-Sayyid Ali Khali’ Qasam
  16. As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath
  17. As-Sayyid Alwi Ammil Faqih 
  18. As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan
  19. As-Sayyid Abdullah
  20. As-Sayyid Ahmad Jalaluddin
  21. As-Sayyid Husain Jamaluddin Al-Akbar
  22. Dyah Kirana
  23. Syekh Quro/ Syekh Qurotul Ain

1.4  Wafat

Syech Quro Karawang meninggal dunia dan dimakamkan di Pulo Bata Desa Pulo Kalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang. Lokasi makam penyebar agama Islam tertua, yang konon lebih dulu dibandingkan Walisongo tersebut, berada sekitar 30 kilometer ke wilayah timur laut dari pusat kota Lumbung Padi di Jawa Barat itu.

2   Sanad Ilmu dan Pendidikan Syekh Syech Quro

Syekh Quro dari kecil dibesarkan dan dididik oleh ayahanda beliau yaitu Syekh Yusuf Siddik seorang Ulama besar Perguruan Islam dari negeri Campa.

2.1 Guru Syekh Syekh Quro

  1. Syekh Yusuf Siddik.

3    Penerus Syekh 

3.1 Anak-anak Syekh Quro

  1. Syekh Akhmad

3.2 Murid-murid Syekh Quro

  1. Syekh Abdul Rohman
  2. Syekh Maulana Madzkur
  3. Nyai Subang Larang.
  4. Syekh Bentong

4.   Perjalanan Dakwah Syekh Quro

Sebagian cerita menyatakan bahwa pada Tahun 1409, Kaisar Cheng Tu dari Dinasti Ming memerintahkan Laksamana Haji Sampo Bo untuk memimpin Armada Angkatan Lautnya dan mengerahkan 63 buah Kapal dengan prajurit yang berjumlah hampir 25.000 orang untuk menjalin persahabatan dengan kesultanan yang beragama Islam. Dalam Armada Angkatan Laut Tiongkok itu rupanya diikutsertakan Syekh Hasanuddin dari Campa untuk mengajar Agama Islam di Kesultanan Malaka, Sebab  Syekh Hasanuddin adalah putra seorang ulama besar Perguruan Islam di Campa yang bernama Syekh Yusuf Siddik yang masih ada garis keturunan dengan Rasulullah SAW.Bahkan menurut sumber lain, garis keturunannya sampai kepada Sayyidina Husein bin Sayyidina Ali  KRW, menantu Rasulullah SAW.

Adapun pasukan angkatan laut Tiongkok pimpinan Laksamana Sam Po Bo lainnya ditugaskan mengadakan hubungan persahabatan dengan Ki Gedeng Tapa, Syahbandar Muara Jati Cirebon dan sebagai wujud kerjasama itu maka kemudian dibangunlah sebuah menara mercusuar untuk mempermudah dalam mengontrol Pelabuhan Muara Jati.Meski sempat lama singgah di Cirebon, tidak banyak petilasan Cheng Ho di daerah itu. Yang masih bisa dijumpai adalah bekas mercusuar di kawasan Muara Jati. Mercusuarnya sendiri roboh pada zaman Belanda. Kini satu-satunya landmark justru bangunan modern berupa replika kapal yang dibangun pengusaha Cirebon keturunan Tionghoa. Yakni restoran berupa replika kapal Cheng Ho.

Dikisahkan pula bahwa setelah Syekh Hasanuddin menunaikan tugasnya di Malaka, selanjutnya beliau mengadakan kunjungan ke daerah Martasinga, Pasambangan, dan Jayapura melalui pelabuhan Muara Jati. Kedatangan ulama besar tersebut disambut baik oleh Ki Gedeng Tapa atau Ki Gedeng Jumajan Jati putra bungsu Prabu Wastu Kancana, Syahbandar di Cerbon Larang (yang menggantikan Ki Gedeng Sindangkasih yang telah wafat). Ketika kunjungan berlangsung, masyarakat di setiap daerah yang dikunjungi merasa tertarik dengan ajaran Islam yang dibawa Syekh Quro, sehingga akhirnya banyak warga yang memeluk Islam.

Kegiatan penyebaran Agama Islam oleh Syekh Hasanuddin rupanya sangat mencemaskan penguasa Pajajaran waktu itu, yaitu Prabu Wastu Kencana atau Prabu Angga Larang yang menganut ajaran Hindu. Sehingga beliau diminta agar penyebaran agama tersebut dihentikan. Ketika utusan Prabu Angga Larang sampai di Pelabuhan Cirebon, maka utusan itu langsung memerintahkan kepada Syech Quro untuk segera menghentikan dakwah dan penyebaran Agama Islam di Pelabuhan Cirebon. Agar tidak terjadi pertumpahan darah, maka oleh beliau perintah yang dibawakan oleh utusan dari Raja Pajajaran Prabu Angga Larang itu disetujuinya, dan Syekh Quro seraya berkata kepada utusan Raja Pajajaran Prabu Angga Larang : “ Meskipun dakwah dan penyebaran ajaran Agama Islam ini dilarang, kelak dari keturunan raja Pajajaran akan ada yang menjadi Waliyullah meneruskan perjuangan penyebaran ajaran Agama Islam ”. Peristiwa ini sontak sangat disayangkan oleh Ki Gedeng Tapa dan para santri atau rakyat Cirebon, karena Ki Gedeng Tapa sangat ingin berguru kepada Syekh Quro untuk memperdalam ajaran Agama Islam. 

Suatu waktu Syekh Quro pamit kepada Ki Gedeng Tapa - Muara Jati Cirebon karena harus berdakwah ke Malaka dan Sumatera, . Sebagai sahabat, Ki Gedeng Tapa sendiri sangat prihatin atas peristiwa yang menimpa ulama besar itu karena Ki Gedeng Tapa sangat ingin terus berguru kepada Syekh Quro untuk memperdalam ajaran Agama Islam. maka Ki Gedeng Tapa Muara Jati Cirebon menitipkan anak kandung Putri kesayangannya yang bernama Nyi Subang Larang/ Nyai Subang Karancang, untuk ikut berlayar dan belajar Agama Islam bersama Syekh Quro ke Malaka.

Setelah beberapa waktu lamanya berada di Malaka, kemudian Syekh Hasanuddin membulatkan tekadnya untuk kembali ke wilayah Kerajaan Hindu Pajajaran. Dan untuk keperluan tersebut, maka telah mempersiapkan 2 perahu dagang yang memuat rombongan para santrinya termasuk Nyai Subang Larang.Sekitar tahun 1418 Masehi, setelah rombongan ini memasuki Laut Jawa, kemudian memasuki Muara Kali Citarum yang pada waktu itu ramai dilayari oleh perahu para pedagang yang memasuki wilayah Pajajaran. Selesai menyusuri Kali Citarum ini akhirnya rombongan perahu singgah di Pura Dalam atau Pelabuhan Karawang. Kedatangan rombongan ulama besar ini disambut baik oleh petugas Pelabuhan Karawang dan diizinkan untuk mendirikan musholla yang digunakan juga untuk belajar mengaji dan tempat tinggal.
 
Lokasinya terletak di Pelabuhan Bunut - Kertayasa ( Kampung Bunut, Kelurahan Karawang Kulon - Kecamatan Karawang Barat Kabupaten Karawang sekarang ini ). Maka di Karawang ini Syekh Hasanudin dikenal sebagai Syekh Quro karena dia adalah seorang yang hafal Al-Quran (hafidz) dan sekaligus qori yang bersuara merdu. Setelah beberapa waktu berada di pelabuhan Karawang, Syekh Hasanuddin menyampaikan dakwahnya di musholla yang dibangunnya dengan penuh keramahan. Uraiannya tentang agama Islam mudah dipahami, dan mudah pula untuk diamalkan, karena ia bersama santrinya langsung memberi contoh. Pengajian Al-Qur’an memberikan daya tarik tersendiri, karena ulama besar ini memang seorang Qori yang merdu suaranya. Oleh karena itu setiap hari banyak penduduk setempat yang secara sukarela menyatakan masuk Islam.

Berita tentang dakwah Syeh Hasanuddin (yang kemudian lebih dikenal dengan nama Syekh Quro) di pelabuhan Karawang rupanya telah terdengar kembali oleh Prabu Angga Larang, yang dahulu pernah melarang Syekh Quro melakukan kegiatan yang sama tatkala mengunjungi pelabuhan Muara Jati Cirebon. Sehingga ia segera mengirim utusan yang dipimpin oleh sang putra mahkota yang bernama Raden Pamanah Rasa untuk menutup Pesantren Syekh Quro.Namun tatkala putra mahkota ini tiba di tempat tujuan, rupanya hatinya tertambat oleh alunan suara merdu ayat-ayat suci Al-Qur’an yang dikumandangkan oleh Nyai Subang Larang. Putra Mahkota (yang setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi) itu pun mengurungkan niatnya untuk menutup Pesantren Quro, dan tanpa ragu-ragu menyatakan isi hatinya untuk memperistri Nyi Subang Larang yang cantik itu dan halus budinya.

Lamaran tersebut rupanya diterima oleh Nyai Subang Larang dengan syarat mas kawinnya haruslah berupa “Bintang Saketi”, yaitu simbol dari “tasbih” yang berada di Negeri Makkah. Sumber lain menyatakan bahwa hal itu merupakan kiasan bahwa sang Prabu haruslah masuk Islam, dan patuh dalam melaksanakan syariat Islam. Selain itu, Nyai Subang Larang juga mengajukan syarat, agar anak-anak yang akan dilahirkan kelak haruslah ada yang menjadi Raja. Semua hal tesebut rupanya disanggupi oleh Raden Pamanah Rasa, sehingga beberapa waktu kemudian pernikahan pun dilaksanakan, bertempat di Pesantren Quro (atau Mesjid Agung sekarang) dimana Syekh Quro sendiri bertindak sebagai penghulunya.

Pernikahan di musholla yang senantiasa menganggungkan asma ALLAH SWT itu memang telah membawa hikmah yang besar, dan Syekh Quro memegang peranan penting dalam masuknya pengaruh ajaran Islam ke keluarga Sang Prabu Siliwangi. Sebab para putra-putri yang dikandung oleh Nyai Subang Larang yang muslimah itu, memancarkan sinar IMAN dan ISLAM bagi umat di sekitarnya. Nyai Subang Larang sebagai isteri seorang raja memang harus berada di Istana Pakuan Pajajaran, dengan tetap memancarkan Cahaya Islamnya. 

Adapun kegiatan Pesantren Quro yang lokasinya tidak jauh dari pelabuhan Karawang, rupanya kurang berkembangnya karena tidak mendapat dukungan dari pemerintah kerajaan Pajajaran. Hal tersebut rupanya dimaklumi oleh Syekh Quro, sehingga pengajian di pesantren agak dikurangi, dan kegiatan di masjid lebih dititik beratkan pada ibadah seperti shalat berjamaah. Ketika usia anak Syekh Quro dan Ratna Sondari sudah beranjak dewasa, akhirnya Syekh Quro berwasiat kepada santri–santri yang sudah cukup ilmu pengetahuan tentang ajaran Agama Islam seperti: 

Syekh Abdul Rohman dan Syekh Maulana Madzkur di tugaskan untuk menyebarkan ajaran Agama Islam ke bagian selatan Karawang, tepatnya ke kecamatan Telukjambe, Ciampel, Pangkalan, dan Tegalwaru sekarang. 

Sedangkan anaknya Syekh Quro dengan Ratna Sondari yang bernama Syekh Ahmad, ditugaskan oleh sang ayah meneruskan perjuangan menyebarkan ajaran Agama Islam di Pesantren Quro Karawang atau Masjid Agung Karawang sekarang.

Sedangkan sisa santrinya yang lain yakni Syech Bentong ikut bersama Syech Quro dan Ratna Sondari istrinya pergi ke bagian Utara Karawang tepatnya ke Pulo Bata Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang sekarang untuk menyebarkan ajaran Agama Islam dan bermunajat kepada Allah swt. Di Pulo Bata Syech Quro dan Syech Bentong membuat sumur yang bernama sumur Awisan, kini sumur tersebut masih dipergunakan sampai sekarang.

Waktu terus bergulir usia Syech Quro sudah sangat uzur, akhirnya Syech Quro Karawang meninggal dunia dan dimakamkan di Pulo Bata Desa Pulo Kalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang. Maka penerus perjuangan penyebaran ajaran Agama Islam di Pulo Bata, diteruskan oleh Syekh Bentong sampai akhir hayatnya Syekh Bentong. Sebelum meninggal dunia Syech Quro berwasiat kepada santri – santrinya berupa : “Ingsun Titip Masjid Langgar Lan Fakir Miskin Anak Yatim Dhuafa”.

Dalam semaraknya penyebaran agama Islam oleh Wali Songo, maka masjid yang dibangun oleh Syekh Quro, kemudian disempurnakan oleh para ulama dan umat Islam yang modelnya berbentuk “joglo” beratap 2 limasan, hampir menyerupai Masjid Agung Demak dan Cirebon.Pengabdian Syekh Quro dengan para santri dan para ulama generasi penerusnya adalah “menyalakan pelita Islam”, sehingga sinarnya memancar terus di Karawang dan sekitarnya.

5    Keteladanan Syekh Quro

Syekh Quro yang bernama Asli Syekh Qurotul Ain dikarenakan lidah pribumi yag sulit mengucapkan nama tersebut maka berubah menjadi Syekh Quro untuk lebih mudahnya dan beliau juga adalah seorang yang hafal Al-Quran (hafidz) dan sekaligus qori yang bersuara merdu. 
Dalam menyampaikan ajaran Islam, Syekh Quro melakukannya melalui pendekatan yang disebut Dakwah Bil Hikmah, sebagaimana firman ALLAH dalam Al-Qur’an Surat XVI An Nahl ayat 125, yang artinya : “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan dengan pelajaran yang baik, dan bertukar pikiranlah dengan mereka dengan cara yang terbaik”.
Setelah beberapa waktu berada di pelabuhan Karawang, Syekh Hasanuddin menyampaikan dakwahnya di musholla yang dibangunnya dengan penuh keramahan. Uraiannya tentang agama Islam mudah dipahami, dan mudah pula untuk diamalkan, karena ia bersama santrinya langsung memberi contoh. Pengajian Al-Qur’an memberikan daya tarik tersendiri, karena ulama besar ini memang seorang Qori yang merdu suaranya. Oleh karena itu setiap hari banyak penduduk setempat yang secara sukarela menyatakan masuk Islam.
Penampilan yang sejuk tutur bicara yang santun ketika beliau menyampaikan dakwah hingga beliau dianggap tokoh yang dianggap mampu menentramkan situasi pada waktu itu. Perlahan tapi pasti, masyarakat kelas bawah mulai berbondong-bondong memeluk agama Islam, mengikuti ajaran Syekh Quro yang dengan bijak dan santun menyampaikan misi dalam dakwahnya.

6    Referensi

1.    Buku Atlas Wali Songo, Agus Sunyoto,
2.    Buku Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Agus Sunyoto, Jakarta: Transpustaka, 2011
3.    https://info.syekhnurjati.ac.id/profil/biografi-syekh-nurjati/
4.    https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.com/2015/05/syekh-quro-hasanuddin-bin-yusuf-pendiri-Pesantren-pertama-di-jawa-barat.html
 

 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya