Nabi Yusuf tak Hanya Sekedar Ganteng

 
Nabi Yusuf tak Hanya Sekedar Ganteng

LADUNI.ID - Di penghujung Surat Yusuf, Alqur'an mengabadikan kata-kata Nabiyullah Yusuf a.s., dihadapan kedua orang tua dan saudara-saudaranya.

...“Wahai ayahku! Inilah takwil mimpiku yang dahulu itu. Dan sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya kenyataan. Sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaku, ketika Dia membebaskan aku dari penjara dan ketika membawa kamu dari dusun, setelah setan merusak (hubungan) antara aku dengan saudara-saudaraku..." (Ayat 100).

Itulah akhir yang merangkum perjalanan kisah beliau yg penuh liku dan drama. Mulai dari beliau dibuang kedalam sumur oleh tangan-tangan hasad saudara-saudara tirinya, dibawa dan dijual layaknya sebuah barang dagangan oleh musafir yang menemukannya, digoda dan dipenjara oleh ibu asuhnya, sampai akhirnya menjadi orang penting di kerajaan Mesir saat itu.

Dari rangkain episode kisah tersebut, ditemukannya Nabi Yusuf oleh para musafir bisa dibilang sebagai bagian paling menentukan dalam kisah hidupnya.

Andai beliau meninggal di dasar sumur tersebut, tamatlah ceritanya. Beliau tak akan sampai ke istana, tidak menjadi orang penting, dan tidak bertemu dan kumpul kembali dengan keluarganya.

Tapi, kenapa beliau justru menyebut kebebasannya dari penjara sebagai fase penting perjalanan hidupnya?

Disinilah pelajaran berharga yang diselipkan untuk kita.

Ketika bertemu beliau, saudara-saudaranya mengungkapkan rasa bersalah yang mendalam. Beliau lalu menghibur mereka dengan menegaskan bahwa beliau tidak akan menyalahkan mereka. Beliau juga menegaskan bahwa Allah Yang Maha Rahim akan mengampuni mereka.

Beliau tidak ingin menambah rasa bersalah mereka. Oleh karena itu, beliau tidak menyinggung keselamatannya dari dasar sumur sebagai bagian penting kisah hidupnya.

Beliau sadar, kata "sumur" akan menghdirkan kembali memori silam yang yang kelam yang akan memperdalam rasa bersalah dan penyesalan mereka yang sudah kehilangan muka di hadapan beliau.

Padahal, sah-sah saja jika beliau menyinggung hal tersebut. Mengingat saudara-saudara tirinya tersebut begitu hasad kepada beliau dan telah sengaja bersekongkol memisahkan beliau selama puluhan tahun dari ayahanda tercinta yang kemudian buta karena sekian lama menangis menahan sedih dan pilu.

Tidak hanya itu, demi menjaga perasaan saudara-saudara tirinya Nabi Yusuf juga mengalihkan pelaku di belakang konflik beliau dengan mereka. Beliau menegaskan, syetanlah yang membuat keluarga besar mereka harus menanggung semua kesedihan dan kepiluan tersebut.

Ini pelajaran agung buat kita, bahwa menjaga perasaan saudara adalah akhlak luhur yang harus dijunjung tinggi.

Disini terselip pesan bahwa yang penting bukan bagaimana sikap orang kepada kita, tapi bagaimana kita sebaik mungkin bersikap kepada kepada orang.

Maka, setiap ucapan kepada orang lain harus kita bayangkan dahulu efek psikolgisnya. Sekiranya itu akan melukai perasaan, hendaknya tidak kita lontarkan. Walaupun mungkin itu pantas dalam rangka membalas perlakuan dan perkataan buruk kepada kita.

Oleh : Nasaruddin Idris Jauhar

Dosen UIN Surabaya 

Nabi Yusuf mengajari kita, bahwa ucapan itu tidak hanya harus benar, tapi juga harus tidak melukai hati yang mendengarnya.

 

 

Tags