Ahlan Wasahlan Dhuyufurrah­man, Semoga Mabrur

 
Ahlan Wasahlan Dhuyufurrah­man, Semoga Mabrur

LADUNI. ID, KOLOM- Beberapa saat yang lalu tepatnya 6 Juli 2019 Kementerian Agama Republik Indonesia melepas para dhuyufurrah­man (tamu-tamu Allah swt ) untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah, menyempurnakan rukun Islam.

Ragam haru dan kegembiraan menyelimuti para tamu-tamu Allah Swt tersebut begitu juga dengan keluarga yang ditinggalkan.

Prosesi ibadah haji yang menjadi bagian dari tradisi keagamaan umat Islam tidak dapat dipisahkan dari budaya dan nilai-nilai spritualitas, terutama bagi bangsa Indonesia, sebagai negara dengan jumlah kuota jamaah haji terbanyak setiap tahunnya.

Momen ini tentunya diwarnai ragam niat ma­sing-masing calon jamaah haji. Ada yang sungguh-sungguh namun tak jarang pula, menunaikan ibadah haji dimaknai sebagai peningkatan status sosial kemasyarakatan dengan bertam­bahnya gelar seseorang dengan sebutan Pak Haji atau Bu Hajjah.

Sesungguhnya Rasulullah telah mengajarkan dan mencontohkan dalam kehidupan, bagaimana seharusnya kita melatih, menginternalisasi dan mem­praktekkan niat dengan sebaiknya dan sunguh-sungguh melalui ajaran rukun Islam yang ke-lima, menunaikan ibadah haji.

Pelaksanaan ibadah haji sering dikatakan sebagai ibadah terbesar dan terberat bagi seorang muslim. Haji bukan sekadar mampu secara finansial namun yang lebih besar adalah bagaimana mampu secara spiritual dan secara ukhrawi untuk memenuhi panggilanNya.

Haji disebut dalam rangkaian terakhir dari rukun Islam yang wajib dijalankan oleh seluruh umat muslim yang beriman. Posisi perintah ibadah haji dalam rukun Islam kelima, tidak lain merupakan akhir dari puncak spiritualitas yang sarat dengan nuansa kepasrahan dan kepatuhan seseorang kepada Tuhan.

Fondasi awal penguatan iman seorang muslim yang telah dilalui dengan ritual syahadat, salat, puasa dan zakat pada akhirnya akan bertemu pada titik kulminasi paling tinggi dari keimanan yang diekspresikan melalui kegiatanhaji.

Menjadi tamu Allah Swt untuk berkunjung ke Baitullah adalah panggi­lan. Lebih dari sebuah panggilan istimewa dari Sang Khalik kepada makhlukNya.

Diibaratkan jikalau ada panggilan entah itu melalui surat atau telepon dari Presiden atau Raja sebuah negara, maka dapat dipastikan orang yang menerima panggilan itu akan sangat senang dan menunggu nunggu waktu bertemu dengan sang penguasa.

Begitu jugalah urgensi haji sebagai bagian dari perjalanan yang dicita citakan oleh umat Islam di seluruh dunia ini.

Berapa banyak orang yang sebe­narnya sudah mampu namun belum juga melaksanakan. Dan sebaliknya tidak jarang kita temui fenomena keajaiban dimana seseorang yang nampak tidak mungkin bisa melak­sanakan ibadah haji ternyata mendapat panggilan dari Allah SWT.

***Muhammad Hisyamsyah Dani, Penulis adalah Alumni Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN SU Medan