Hukum Jama' dan Qsahar Shalat Bagi Musafir yang Belum Sampai Tujuan

 
Hukum Jama' dan Qsahar Shalat Bagi Musafir yang Belum Sampai Tujuan
Sumber Gambar: Foto Iurii Ivashchenko / Pexels (ilustrasi foto)

Laduni.ID, Jakarta - Dalam Islam terdapat rukhsah (keringanan) dalam hal pelaksanaan ibadah bagi orang-orang yang sudah memenuhi syarat secara tinjauan hukum syara'. Salah satu kelompok yang mendapatkan rukhsah adalah musafir (orang yang sedang dalam perjalanan jauh) yang sudah memenuhi syarat-syarat seperti jaraknya mencapai dua marhalah dan syarat lainnya.

Salah satu ibadah yang mendapatkan rukhsah bagi seorang musafir adalah shalat. Bagi seorang musafir diperbolehkan menjama dan mengqashar shalat dalam perjalanannya. Namun dalam kondisi tertentu semisal seorang musafir yang tengah dalam perjalanan, ditengah perjalanannya musafir ini singgah sebelum sampai ke tempat tujuannya lalu musafir ini menjama dan menqashar shalat di tempat singgahnya tersebut. Bagaimana hukum menjama dan menqashar shalat bagi musafir yang belum sampai tujuan?

Baca Juga: Rukhsah Ibadah bagi Orang yang Selalu Bepergian

Shalat yang dijama dan diqashar oleh seorang musafir yang belum sampai di tujuan yang dimaksud dan sedang singgah di suatu tempat, maka hukumnya boleh dan sah asalkan musafir tersebut tidak berniat untuk singgah lebih dari empat hari empat malam penuh. Hal ini sebagaimana jawaban dalam Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-8 di Jakarta pada tanggal 12 Muharram 1352 H/7 Mei 1933 M. Berikut jawaban lengkapnya:

"Boleh jamak dan qashar, asal tidak niat singgah sampai empat hari empat malam penuh (selain hari datang dan berangkat)"

Adapun keterangan yang dijadikan rujukan dari jawaban tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kitab Al-Minhaj Al-Qawwim

وَيَنْتَهِي أَيْضًا بِوُصُوْلِ مَوْضِعٍ نَوَى الْمُسْتَقِلُّ اْلإِقَامَةَ فِيْهِ مُطْلَقًا مِنْ غَيْرِ تَقْيِيْدٍ بِزَمَنٍ وَإِنْ لَمْ يَصْلُحْ لِلْإِقَامَةِ أَوْ نَوَى أَنْ يُقِيْمَ فِيْهِ أَرْبَعَةَ أَيَّامٍ بِلَيَالِيْهَا صَحِيْحَةً أَي غَيْرَ يَوْمَيْ الدُّخُوْلِ وَالْخُرُوْجِ

"Dan selesai pula (suatu perjalanan) dengan sampainya pada suatu tempat yang diniati oleh seorang mustaqil (orang yang tidak diatur orang lain, bukan seperti istri dan budak) untuk bermukim secara mutlak tanpa batas waktu, walaupun tempat tersebut tidak layak untuk dihuni atau ia niat mukim selama empat hari empat malam penuh, yakni selain hari masuk dan hari keluarnya dari tempat tersebut"

2. Kitab Fathul Wahhab dan Kitab Futuhat Al-Wahhab

(وَ) ثَالِثُهَا (قَصْدُ مَحَلِّ مَعْلُوْمٍ) وَإِنْ لَمْ يُعَيِّنْهُ (أَوَّلاً) وَعِبَارَةُ شَرْحِ م ر وَاحْتَرَزَ بِقَوْلِهِ أَوَّلاً عَنِ الدَّوَامِ فَلاَ يُشْتَرَطُ فِيْهِ حَتَّى لَوْ نَوَى مَسَافَةَ قَصْرٍ ثُمَّ بَعْدَ مُفَارَقَتِهِ الْمَحَلَّ الَّذِيْ يَصِيْرُ بِهِ مُسَافِرًا نَوَى أَنَّهُ يَرْجِعُ إِنْ وَجَدَ غَرَضَهُ أَوْ يُقِيْمُ فِيْ طَرِيْقِهِ وَلَوْ بِمَحَلٍّ قَرِيْبٍ أَرْبَعَةَ أَيَّامٍ فَإِنَّهُ يُتَرَخَّصُ إِلَى وُجُوْدِ غَرَضِهِ أَوْ دُخُوْلِهِ ذَلِكَ الْمَحَلَّ لاِنْعِقَادِ سَبَبِ الرُّخْصَةِ فِيْ حَقِّهِ فَيَكُوْنُ حُكْمُهُ مُسْتَمِرًّا إِلَى وُجُوْدِ مَا غَيَّرَ النِّيَّةَ إِلَيْهِ

"Syarat (shalat jama’ qashar) yang ketiga adalah di awal perjalanan menuju tempat yang telah diketahui, walaupun belum ditentukan. Dan redaksi Syarh Al-Ramli: Dengan ungkapan: Di awal perjalanannya. An-Nawawi mengecualikan setelah awal perjalanan, maka hal itu tidak disyaratkan. Sehingga bila ia berniat melakukan perjalanan semasafah al-qashr (perjalanan minimal yang membolehkan qashr shalat; 94 km). Lalu setelah melewati tempat yang membuatnya berstatus musafir, ia  berniat akan pulang bila telah memperoleh tujuannya, atau bermukim di tengah perjalanannya meskipun di dekat (tempat asal bepergiannya) selama empat hari dan empat malam, maka ia (tetap) mendapat rukhshah sampai menemukan tujuannya atau sampai masuknya ke tempat asal ia bepergian. Karena perkara yang menjadi sebab rukhshah telah ada baginya, maka hukum tersebut tetap berlaku sampai ia merubah niat bepergiannya"

Baca Juga: Hukum Mufaraqah Makmum Terhadap Imam dalam Shalat Berjamaah

3. Kitab Bughyah Al-Mustarsyidin

 

(مَسْأَلَةُ ب ش)

أَقَامَ الْحَاجُّ بِمَكَّةَ قَبْلَ الْوُقُوْفِ دُوْنَ أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ صِحَاحٍ لَمْ يَنْقَطِعْ سَفَرُهُ وَحِيْنَئِذٍ فَلَهُ التَّرَخُّصُ فِيْ خُرُوْجِهِ بِعَرَفَاتَ وَإِنْ كَانَتْ نِيَّتُهُ اْلإِقَامَةَ بِمَكَّةَ بَعْدَ الْحَجِّ إِذْ لاَ يَنْقَطِعُ سَفَرُهُ بِذَلِكَ حَتَّى يُقِيْمَ اْلإِقَامَةَ الْمُؤَثِّرَةَ عَلَى الْمُعْتَمَدِ

"Jama'ah haji yang bermukim di Makkah sebelum wukuf di Arafah selama kurang dari empat hari penuh, maka perjalanannya tidak putus, maka pada waktu tersebut dia tetap boleh mengambil rukhshah ketika keluar ke Arafah, walaupun ia niat bermukim di Makkah setelah pelaksanaan haji. Sebab hak perjalanannya tidak putus dengan mukimnya di Makkah tadi  sampai ia mukim dengan waktu yang bisa memutus perjalanannya (empat hari empat malam penuh). Demikian menurut pendapat mu’tamad"

Wallahu A'lam

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada tanggal 03 Agustus 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan


Referensi: Kitab Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam No. 139