Hukum Shalat Tanpa Mengetahui Posisi Arah Kiblat

 
Hukum Shalat Tanpa Mengetahui Posisi Arah Kiblat
Sumber Gambar: Foto Yasir Gürbüz / Pexels (ilustrasi foto)

Laduni.ID, Jakarta - Dalam shalat terdapat tatacara dan aturan yang disebut sebagai syarat (syarat wajib dan syarat sah) dan rukun shalat. Salah satu syarat sah shalat adalah menghadap kiblat (ka'bah), kecuali bagi musafir yang melaksanakan shalat sunnah, orang yang dalam keadaan perang, dan orang yang buta arah atau isytibahul qiblah.

Arah kiblat adalah arah dari suatu tempat yang sejajar dengan Ka’bah di Masjidil Haram, Mekkah. Arah kiblat bisa berbeda dari satu daerah ke daerah atau negara ke negara lain. Karena tiap lokasi atau titik dimana kita berada memiliki posisi lintang dan bujur yang berbeda. Namun secara umum posisi negara Indonesia terhadap Ka'bah adalah sekitar 112 derajat arah barat laut menurut sebagian sumber dan ada yang mengatakan bahwa dengan menghadap tepat ke arah barat kita sudah dianggap sama dengan menghadap kiblat, hal masih menjadi perdebatan dikalangan ahli.

Baca Juga: Syarat dan Rukun Shalat yang Wajib Diketahui

Namun demikian, para ulama madzhab sepakat bahwa bagi orang yang shalat dengan melihat bangunan ka’bah secara langsung ia diwajibkan untuk menghadap fisik ka’bah tersebut (Ain Al-Ka’bah). Hal ini berdasarkan penjelasan dalam nash Al-Qur'an dan Hadits.

Al-Qur'an QS. Al-Baqarah ayat 150

وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهٗ ۙ لِئَلَّا يَكُوْنَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ اِلَّا الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْهُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِيْ وَلِاُتِمَّ نِعْمَتِيْ عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَۙ

"Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). Dan agar Ku-sempurnakan nimat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk"

Hadits Rasulullah SAW dari Ibnu Abbas RA yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim

 ان النبي صلى الله عليه وسلم دخل الكعبة ثم خرج فصلى ركعتين ثم قال هذه القبلة

"Sesungguhnya Nabi saw. memasuki ka’bah kemudian keluar lalu shalat dua rakaat (dengan menghadap ka’bah). Setelah itu, beliau bersabda: inilah (bangunan ka’bah) kiblat"

Lalu bagaimana jika  shalat bagi orang yang tidak melihat ka'bah secara langsung atau tidak mengetahui posisi arah kiblat?

Menyikapi persoalan ini, para ulama madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali) memiliki perbedaan pandangan.

A. Madzhab Hanafi
Imam Muhammad bin Abdillah Al-Timirsani dalam Kitab Tanwir Al-Abshar mengatakan bahwa "Bagi penduduk Makkah, kiblatnya adalah bangunan Ka’bah (Ain Al-ka’bah). Sedangkan bagi penduduk di luar Makkah, kiblatnya adalah arah Ka’bah (Jihat Al-Ka’bah)".

Al-Kurkhi dan Al-Razi berpendapat bahwa selama masih ada kemampuan untuk menghadapkan wajah ke bangunan ka’bah, ia diwajibkan melakukannya. Kemudian, jika seseorang tidak melihat bangunan ka’bah, karena faktor jarak atau sebab yang lain, maka ia diwajibkan menghadapkan tubuhnya sesuai dengan arah ka’bah (Jihat Al-Ka’bah), yakni ke dinding-dinding mihrab (tempat shalatnya) yang dibuat dengan tanda-tanda yang mengarah ke arah ka’bah, bukan menghadap ke bangunan ka’bah. Dengan kata lain, kiblat bagi orang yang tidak melihat banguna ka’bah adalah arahnya ka’bah, bukan bangunan ka’bah. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama Iraq.

Imam Al-Kasani dalam Kitab Bada’i al-Shanai’ fi Tartib al-Syarai’ berpendapat bahwa yang diwajibkan adalah menghadap kepada sesuatu yang mampu dilaksanakan (al-maqdur alaih). Sedangkan menghadap ke banguna ka’bah merupakan sesuatu yang tidak dapat dilakukan (ghairu almaqdur
alaih
). Oleh karena itu, menghadap ke bangunan ka’bah dalam hal ini tidak diwajibkan. Sebab, seandainya diwajibkan dengan ijtihad dan penelitian yang seksama, maka hukum shalatnya akan berkisar antara sah dan batal. Jika dengan seksama shalatnya tersebut bertepatan menghadap bangunan ka’bah, maka shalatnya sah, dan jika tidak bertepatan menghadap bengunan ka’bah, maka shalatnya tidak sah. Sebab ia benar-benar yakin bahwa ijtihad dan penelitiannya salah.

Berdasarkan beberapa pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa mayoritas Ulama Madzhab Hanafi berpendapat bahwa kiblat shalat bagi orang yang tidak dapat melihat bangunan Ka’bah adalah arah Ka’bah, bukan bangunannya.

B. Madzhab Maliki
Imam Al-Qurtubi dalam Kitab Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur'an menafsirkan potongan surat Al-Baqarah ayat 150 وَحَيْثُ مَا كُنْتُْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُْ شَطْرَه bahwa para ulama berbeda pendapat apakah orang tidak bisa melihat bangunan Ka’bah diwajibkan menghadap ke bangunan Ka’bah (ain al-ka’bah) ataukah ke arah Ka’bah (Jihat Al-Ka’bah). Di antara mereka ada yang menyatakan pilihan pertama, yakni menghadap ke bangunan Ka’bah.

Ibnu Arabi mengomentari pendapat Imam Qurtubi di atas dengan menyatakan bahwa pendapat ini tergolong lemah (dhaif), karena hal ini merupakan perintah (taklif) yang sulit untuk dikerjakan. Sementara itu, para ulama lainnya mengatakan bahwa kiblat untuk orang tersebut adalah arah Ka’bah (Jihat Al-Ka’bah).

Berdasarkan keterangan di atas bisa disimpilkan mayoritas Ulama Madzhab Maliki berpendapat orang yang tidak dapat melihat banguna Ka’bah, maka dalam shalatnya yang menjadi kiblat adalah arah Ka’bah, bukan bangunannya.

Baca Juga: Hukum Shalat tanpa Penutup Kepala

C. Madzhab Syafi'i
Dalam pandangan Ulama Madzhab Syafi'i terkait hal ini terbagi dalam 2 pandangan besar yaitu menghadap ke arah Ka’bah (Jihat Al-Ka’bah), dan menghadap ke bangunan Ka’bah (Ain Al-Ka’bah).

Imam Al-Syirazi dalam Kitab Al-Muhadzdzab berpendapat bahwa apabila seseorang belum memiliki petunjuk apapun ketika akan menentukan kiblat, maka dilihat dulu permasalahannya. Jika ia termasuk orang mengetahui tanda-tanda atau petunjuk kiblat, maka meskipun ia tidak bisa melihat bangunan Ka’bah, ia diwajibkan berijtihad untuk menentukan kiblat baginya. Karena ia memiliki cara untuk mengetahuinya melalui keberadaan matahari, bulan, maupun angin atau yang lainnya. Hal ini berdasar pada firman Allah SWT dalam surat An-Nahl ayat 16. Berdasarkan firman Allah SWT dalam surat An-Nahl ayat 16 ia memiliki hak untuk melakukan ijtihad dalam menentukan letak Ka’bah seperti orang yang faham dengan fenomena alam.

Dalam Kitab Al-Umm, Imam Syafi'i mengatakan bahwa yang wajib dalam berkiblat adalah menghadap secara tepat ke bangunan Ka’bah (Ain Al-Ka’bah). Kewajiban ini tidak membedakan apakan seseorang bisa melihat banguna Ka’bah secara langsung, ataukan orang yang berada jauh dari Ka’bah sehingga tidak bisa melihat wujud Ka’bah secara langsung.

Namun Imam Al-Muzanni (murid Imam Syafi'i) menyatakan hal yang berbeda dari pendapat Imam Syafi'i. Menurut Al-Muzanni yang wajib adalah menghadap ke arah Ka’bah (jihat al-ka’bah). Sebab, seandainya yang wajib itu adalah menghadap kepada bangunan Ka’bah, maka shalat berjamaah yang shafnya memanjang melebihi panjang atau pun lebar bangunan Ka’bah, maka shalatnya orangorang yang menghadap melebihi batas bangunan tersebut dihukumi tidak sah.

Sementara Imam Nawawi berpendapat bahwa dalil atau dasar hukum yang digunakan sebagai hujah para ulama yang mengatakan kiblat adalah bangunan Ka’bah adalah sebuah hadits dari Ibnu Abbas RA dan Usamah bin Zaid:

ان النبي صلى الله عليه وسلم دخل الكعبة ثم خرج فصلى ركعتين ثم قال هذه القبلة

"Sesungguhnya Nabi saw. memasuki ka’bah kemudian keluar lalu shalat dua rakaat (dengan menghadap ka’bah). Setelah itu, beliau bersabda: inilah (bangunan ka’bah) kiblat"

Sementara mereka yang berpendapat bahwa yang wajib adalah arah Ka’bah (Jihat Al-Ka’bah) berargumentasi dengan hadits Abu Hurairah RA bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:

ما بين المشرق والمغرب قبلة

"Arah antara timur dan barat adalah kiblat"

Dalam penilaian Imam Nawawi, ketika menarjih (memilih pendapat yang lebih kuat) antara dua pendapat mengenai kiblat ini, maka menurut beliau pendapat yang paling mendekati kebenaran dalam madzhab Syafii adalah wajib menghadap kepada bangunan Ka’bah (ain al- Ka’bah) dalam ibadah shalat. Pendapat ini diikuti juga oleh sebagian ulama madzhab Maliki dan satu riwayat dari Imam Ahmad. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa kiblat yang diperintahkan bagi orang yang tidak melihat bangunan Ka’bah secara langsung adalah arah Ka’bah.

Kemudian Syaikh Ibrahim Al-Baijuri dalam Kitab Hasyiyah Al-Baijuri memberikan komentar terhadap pendapat Syaikh Ibnu Qasim Al-
Ghuzzi tentang "menghadap kiblat". Menurut Al-Baijuri maksudnya adalah menghadap ke bangunan Ka’bah bukan kepada arah bangunan tersebut. Hal ini adalah pendapat yang dipegang dalam madzhab kami, dengan yakin melihat bangunan Ka’bah ketika dekat dengannya, dan dengan perkiraan (dzan) bagi yang jauh darinya.

Kemudian pendapat Imam Khatib As-Syarbini Mughni Al-Muhtaj Ila Ma’rifah Maa’ni Alfadz Al-Minhaj mengatakan seandainya ada suatu penghalang yang bersifat alamiah antara seseorang dan Makkah dan bangunan Ka’bah, seperti gunung-gunung atau bangunan-bangunan baru, maka ia boleh berijtihat untuk menentukan kiblat, karena ada esulitan untuk melihat Ka’bah secara langsung. Kemudian lanjut beliau, bahwa tidak boleh berijtihad dalam menentukan kiblat di mihrab Nabi SAW dan di masjid-masjid yang diketahui pernah disinggahinya, dan beliau pernah melakukan shalat di dalamnya. Sebab, dalam akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah Nabi Muhammad SAW adalah manusia ma’shum yang tidak pernah memutuskan sesuatu yang keliru. Seandainya orang paling cerdas sekali pun jika ingin mengoreksi keputusan Nabi, maka upayanya tersebut akan batal. Maksud dari mihrab-mihrab Nabi SAW di sini adalah tempat-tempat yang pernah dijadikan oleh beliau sebagai tempat shalat, karena pada zaman beliau belum ada istilah mihrab.

Imam Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf Al-Fairuzzabadi Al-Syairazi menerangkan dalam Kitab Al-Muhadzdzab fi Fiqh Al-Imam Al-Syafi’i sebagai berikut:

فإن كان بحضرة البيت لزمه التوجه إلى عينه... وإن لم يكن بحضرة البيت نظرت فإن عرف القبلة صلى إليها وإن أخبره من يقبل خبره عن علم قبل قوله ولا يجتهد …وإن رأى محاريب المسلمين في موضع صلى إليها ولا يجتهد لأن ذلك بمنزلة الخبر وإن لم يكن شيء من ذلك نظرت فإن كان ممن يعرف الدلائل فإن كان غائباً عن مكة اجتهد في طلب القبلة لأن له طريقاً إلى معرفتها بالشمس والقمر والجبال والرياح … فكان له أن يجتهد كالعالم في الحادثة

"Apabila ia berada di dalam bait (Masjidil Haram), maka wajib baginya menghadap ‘ain kiblat… Apabila ia tidak berada didalamnya, maka dilihat dulu, jika ia tahu arah kiblat, maka sholat menghadap arah tersebut, jika ada seorang terpercaya yang mengabarinya, maka terima kabar tersebut dan tidak perlu berijtihad lagi…jika ia melihat sekumpulan muslimin di suatu tempat shalat menghadap ke sebuah arah, maka ia tidak perlu ijtihad, karena hal itu sama saja seperti sebuah kabar. Jika tidak ada sesuatu pun, maka dilihat dulu, jika ia adalah seseorang yang bisa menangkap pertanda, sedangkan kondisinya jauh dari Makkah, ia mesti berijtihad mencari arah kiblat menggunakan metode bisa dari melihat matahari, bulan, bintang, atau arah angin bertiup…maka wajib baginya berijtihad sebagaimana orang alim berijtihad menyikapi persoalan fiqih terbaru"

D. Madzhab Hambali
Dalam Kitab Al-Mughni, Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi menjelaskan jika seseorang shalat dengan melihat Ka’bah secara langsung, maka kiblatnya adalah menghadap kepada bangunan Ka’bah (ain al-Ka’bah). Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat. Imam Ibnu Aqil melanjutkan; jika sebagian tubuhnya melenceng keluar dari garis lurus ke Ka’bah, maka shalatnya tidak sah. Sebagian ulama Hanabilah mengatakan bahwa keadaan orang-orang dalam menghadap ke Ka’bah terbagi menjadi empat, yaitu:

Pertama, orang yang sangat yakin, yakni orang yang melihat langsung bangunan Ka’bah, atau ia termasuk salah satu penduduk kota Makkah, atau
ia tinggal di Makkah tetapi berada di belakang penghalang buatan, seperti pagar. Maka kiblatnya adalah menghadap ke bangunan Ka’bah secara
yakin. Demikian pula ketika ia shalat di dalam masjid Nabawi, ia harus yakin bahwa kiblat di dalam masjid Nabawi tersebut adalah benar. Karena Nabi SAW tidak pernah memutuskan sesuatu yang keliru.

Kedua, orang yang mengetahui arah kiblat melalui kabar dari orang lain. Ia berada di Makkah, namun bukan penduduk kota Makkah dan ia tidak dapat melihat Ka’bah. Ia diberitahu orang lain tentang arah menghadap kiblat dengan penuh keyakinan bahwa yang memberi informasi tersebut telah melihat Ka’bah secara langsung. Misalnya, seseorang berada di tempat yang pandangannya terhalang dari Ka’bah, kemudian ada orang yang
memberitahukan arah kiblat kepadanya. Atau ia adalah orang asing yang sedang singgah di kota Makkah, kemudian penduduk kota tersebut memberitahukan arah kiblat kepadanya. Demikian pula jika seseorang berada di sebuah kota atau desa yang pandangannya tidak dapat menjangkau bangunan Ka’bah, maka ia wajib menghadap ke arah mihrab atau kiblat yang sudah dibuat. Sebab mihrab tersebut dibuat oleh orang yang ahli dan mengetahui arah Ka’bah. Maka kondisi semacam ini sama dengan mengetahui kiblat melalui berita orang lain. Makanya ia tidak perlu
lagi berijtihad. Jika seorang yang mengetahui kiblat menggambarkan kepadanya, baik orang itu penduduk asli ataupun tidak, maka ia harus
mengikuti kabar yang disampaikan orang itu, tanpa berijtihad untuk menentukannya. Sebagaimana seorang hakim yang menerima berkas dakwaan
dari orang yang terpercaya, maka ia pun tidak boleh berijtihad dalam menentukan status hukumnya.

Ketiga, orang harus melakukan ijtihad dalam menentukan kiblat. Ia adalah orang yang tidak sama kondisinya dengan poin satu dan dua di atas. Sementara ia adalah orang mampu untuk menentukan kiblat

Keempat, orang yang wajib taqlid. Ia adalah orang yang buta dan orang yang tidak mampu melakukan ijtihad. Ia adalah seseorang yang dalam kondisi selain ketiga poin di atas, karenanya ia wajib taqlid kepada mujtahid. Hal yang wajib dilakukan bagi orang dalam kondisi poin tiga dan empat ini, serta bagi orangorang yang berdomisili jauh dari Makkah adalah mencari tahu arah Ka’bah, bukan mengenai bangunannya.

Baca Juga: Hukum Membaca Surat Al-Fatihah dalam Shalat

Lalu bagaimana hukum orang yang sembahyang hanya menghadap lurus ke barat saja (tidak mengetahui pas atau tidak dengan arah kiblat), sah atau tidak?

Sebagai informasi tambahan dari beberapa keterangan di atas, kami lampirkan hasil keputusan Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi yang sudah dirangkum dalam Kitab ahkamul Fuqoha bahwa orang yang sembahyang hanya menghadap lurus ke barat saja hukumnya adalah sah. 

Hukumnya adalah sah sembahyangnya bagi orang yang tidak mengerti mencari tanda-tanda kiblat yang sah, juga sembahyang makmum yang meyakinkan imamnya demikian halnya. Sedang bagi orang yang mengerti mencari tanda-tanda kiblat, dan dapat menghasilkan maka tidak sah sembahyangnya kecuali menghadap ke Ka’bah, juga tidak sah sembahyang yang dilakukan makmum yang tidak mengerti ketidaksahnya imam.

Hal ini dijelaskan dalam Kitab Bughyah Al-Mustarsyidin karangan Sayyid ‘Abdur Rahman bin Muhammad bin Husain bin ‘Umar Ba ‘Alawi yang dikutip dari Kitab Ahkamul Fuqoha sebagai berikut:

مَحَلُّ اْلإِكْتِفَاءِ بِالْجِهَّةِ عَلَى الْقَوْلِ بِهِ عِنْدَ عَدَمِ الْعِلْمِ بِأَدِلَّةِ الْعَيْنِ إِذِ الْقَادِرُ عَلَى الْعَيْنِ إِنْ فُرِضَ حُصُوْلُهُ بِاْلإِجْتِهَادِ لاَ يُجْزِيْهِ اسْتِقْبَالُ الْجِهَّةِ قَطْعًا وَمَا حَمَلَ الْقَائِلِيْنَ بِالْجِهَّةِ ذَلِكَ إِلاَّ كَوْنُهُمْ رَأَوْا أَنَّ اسْتِقْبَالَ الْعَيْنِ بِاْلإِجْتِهَادِ مُتَعَذِّرٌ.

"Kondisi cukup menghadap arah (ka’bah ke barat saja misalnya) adalah saat tidak mengetahui tanda-tanda arah ka’bah. Karena orang yang mampu mengetahui ka’bah bila diandaikan bisa dihasilkan dengan berijtihad, maka ia tidak cukup menghadap arah saja secara pasti (tanpa khilafiyah). Tidak ada yang mendorong ulama yang membolehkan menghadap ke arah ka’bah melainkan mereka memandang bahwa menghadap ka’bah dengan berijtihad itu sulit dilakukan"

Dari keterangan di atas bisa kita simpulkan jika seseorang berada di dalam Masjidil Haram, maka yang dihadap olehnya haruslah benda Ka’bah itu sendiri. Jika ia berada di luar Masjidil Haram, seperti di Indonesia maka kita cukup menghadap arahnya saja seperti ke barat kalau di Indonesia jika kita tidak mengetahui tanda-tanda arah kiblat. Namun menurut Imam Abu Ishak kita ditekankan untuk melakukan ijtihad dengan berbagai cara jika kita tidak mengetahui arah kiblat sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Kemudian sah sembahyang hukumnya orang yang sembahyang hanya menghadap lurus ke barat saja (tidak mengetahui pas atu tidak dengan rah kiblat).  

Wallahu A'lam


Referensi:
1. Kitab Al-Muhadzdzab fi Fiqh Al-Imam Al-Syafi’i
2. Kitab Ahkamul Fuqoha No. 150
3. YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, IAIN Kudus, Vol. 5, No. 2, Desember 2014