Islam Nusantara Merupakan Corak Keislaman yang ada di Nusantara

 
Islam Nusantara Merupakan Corak Keislaman yang ada di Nusantara

LADUNI.ID -  Setelah membahas “jati diri” Nusantara yang beragam, karena pengaruh sejarah dan wilayah,  coba lah anda temukan “residu” dari pengaruh tersebut, baik dalam diri anda, masyarakat sekitar anda atau lingkungan sekitar. 

Nama orang Islam di Indonesia tidak selalu berbahasa Arab, bisa dari bahasa Sansekrit sebagai pengaruh era Hindu, dan berpendidikan secara modern, Soekarno contohnya. Seseorang juga tidak mudah melepaskan diri dari pengaruh dan budaya etnisnya. Intinya pada diri seseorang, apapun agamanya tidak pernah memiliki identitas yang tunggal, karena sejak lahir ia dibentuk—baik secara kesadaran, karakter dan budaya—dalam lingkungan yang dipengaruhi berbagai warisan dan budaya yang multikultural dan multihistoris. 

Kenyataan ini menunjukkan corak-corak keislaman yang beragama di Indonesia. Karena beragam, para sejarahwan dan peneliti pun berbeda pendapat terkait teori masuknya Islam ke Nusantara.   

Corak Keislaman Nusantara

Corak keislaman yang tidak tunggal di Nusantara, telah melahirkan sejumlah teori masuknya Islam dari asal-asal yang berbeda. Paling tidak ada 4 teori asal-usul masuknya Islam ke Nusantara seperti yang dirangkum oleh Agus Sunyoto dalam “Atlas Wali Songo”.

  1. Teori India (Gujarat, Malabar, Deccan, Coromandel, Bengal) hal ini berdasarkan asumsi persamaan madzhab Syafii, batu-batu nisan dan kemiripan tradisi dan arsitektur India dengan Nusantara. (Para peneliti yang mengajukan “teori India” seperti JP Mosquette, C. Snouck Hurgronje dan S.Q. Fatimy).
  1. Teori Arab (Mesir dan Hadramaut Yaman), berdasarkan persamaan dan pengaruh madzhab Syafii. (Para peneliti: John Crawfurd dan Naguib Al-attas)
  1. Teori Persia (Kasan, Abarkukh, Lorestan), berdasarkan kemiripan tradisi dengan muslim Syiah, seperti Peringatan Asyura (10 Muharram), mengeja aksara Arab jabar (fathah), jer/zher (kasrah), fyes (dhammah), pemuliaan terhadap keluarga Nabi Muhammad Saw (Ahlul Bayt) dan keturunannya. Penyebutan kata, rakyat (dari ra’iyyah), masyarakat (musyawarah), serikat (syarikah). (Para peneliti: Husein Djajadiningrat, Hasjmi dan Aboe Bakar Atjeh).
  1. Teori Tiongkok/Cina yang berdasarkan asumsi pengaruh budaya Cina dalam sejumlah kebudaaan Islam Nusantara, dan sumber kronik dari Klenteng Sampokong di Semarang (Para peneliti: De Graaf dan Slamet Muljana).

Keragaman teori masuknya Islam ke Nusantara ini bukan menunjukkan mana yang paling benar tapi keragaman itu sesuai dengan kenyataan keragamaan corak keislaman yang ada di Nusatara. Sehingga tidak ada satu teori yang monolitik yang bisa mewakili semua kenyataan yang ada. Pada kenyataannya, baik teori India, Arab, Persia, hingga Tiongkok bisa didukung dan dibenarkan adanya pengaruh budaya dalam masyarakat muslim di Nusantara. 

Meskipun dipercaya Islam sudah tiba di Nusantara sejak abad ke-7 M dan ditemukan makam-makam sultan yang merujuk pada abad ke-12, khususnya di Aceh, namun Islam belum menjadi agama yang mayoritas dipeluk di Nusantara ini. 

Dakwah Islam “Para Sufi Pengembara”

Gelombang Islamisasi baru tampak pada abad ke-15 di wilayah pesisir Jawa. Perubahan ini bukan karena motif ekonomi yang menjadi landasan pola perdagangan melalui jalur laut saat itu, atau bukan karena para penguasa sudah berubah agamanya maka rakyatnya ikut berubah, namun karena fenomena yang disebut sebagai “para sufi pengembara”. Para sufi menyajikan Islam dalam kemasan yang atraktif, menekankan kesesuaian dan kontinuitas Islam dengan kepercayaan dan praktik agama lokal ketimbang aspek perubahan. Kunci kesuksesan dakwah para sufi pengembara itu terletak pada subtansi dan karakter ajaran para sufi pengembara itu: tasawwuf. 

“Mereka (para sufi pengembara) berkelana ke seluruh dunia yang mereka kenal, yang secara sukarela hidup dalam kemiskinan; mereka sering berkaitan dengan kelompok-kelompok dagang atau kerajinan tangan, sesuai dengan tarekat yang mereka anut; mereka mengajarkan teosofi sinkretik yang kompleks yang umumnya dikenal baik orang-orang Indonesia; mereka menguasai ilmu magis, dan memiliki kekuatan yang menyembuhkan; mereka siap memelihara kontinuitas dengan masa silam, dan menggunakan istilah-istilah dan unsur-unsur kebudayaan pra-Islam dalam konteks Islam.” (Azra: 2005, 14-15).

Adhesi bukan Koversi: “Islamisasi Terbatas”

Dalam pengamatan lain Azra—dengan meminjam istilah Nock—menggunakan istilah “adhesi” daripada “konversi” sebagai fenomena Islamisasi masyarakat Nusantara pada periode ini. “Adhesi” yakni perubahan keyakinan pada Islam tanpa meninggalkan kepercayaan dan praktik keagamaan yang lama, sedangkan “konversi” mengisyaratkan perubahan yang total dan ketertundukan yang penuh pada Islam dengan menyingkirkan anasir-anasir lokal. Sebagai seorang “modernis” Azra menambahkan bahwa “Wali Sanga di Jawa mengenalkan Islam kepada penduduk lokal bukan dalam bentuk yang ekslusivitas profetik, melainkan umumnya dalam bentuk kompromi-kompromi dengan kepercayaan-kepercayaan lokal yang mapan yang banyak diwarnai takhayul atau kepercayaan-kepercayaan animistik lainnya. Dalam banyak kasus, mereka menarik banyak orang untuk memeluk Islam dengan menggunakan jimat, pesona ilmu kesaktian dan trik-trik supernatural lainnya. Azra: 2002, 20-21).

Wali Sanga, Islam Sufistik dan Nusantara

Menurut Agus Sunyoto kesuksesan islamisasi di tanah Jawa pada abad ke-15  H dengan kedatangan rombongan muslim dari Champa, Raden Rahmat (Sunan Ampel) sekitar tahun 1440 yang memiliki bibi yang diperistri Raja Majapahit. Selanjutnya Islamisasi dimulai melalui jaringan para juru dakwah (wali) secara terorganisir dan sistematis, mereka memanfaatkan jaringan kekeluargaan, kekuasaan, kepiawaian mereka merebut simpati masyarakat. Kekuatan gerakan ini terletak pada: (1) ajaran sufisme, (2) asimilasi dalam pendidikan, (3) dakwah lewat seni dan budaya dan (4) membentuk tatanan masyarakat muslim Nusantara. 

  1. Sufisme yang dimaksud adalah ajaran wahdatul wujud (kesatuan wujud) dan wahdatus syuhud (kesatuan pandangan) sehingga tidak terlalu asing dengan kepercayaan lokal yang mengakui banyak arwah di mana-mana, dan dalam memandang benda-benda alam terpengaruh aura ketuhanan. 
  1. Asimilisasi pendidikan adalah pembangunan pesantren yang mendidik generasi-generasi pelanjut dakwah Islam, dalam konteks Raden Rakhmat (Sunan Ampel) terlihat peran anak dan muridnya dalam perkembangan Islam di Jawa, seperti Sunan Bonang dan Raden Fatah sebagai sultan dari kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak. 
  1. Gerakan dalam seni dan budaya dalam bentuk wayang yang disesuaikan dengan kisah dan nafas Islam, juga keterlibatan para wali dalam menyusun tembang, kidung, musik, hingga permainan anak-anak yang bernafaskan Islam. Asimilasi juga tampak pada arsitektur, misalnya bentuk atap masjid yang berundak tiga (simbol: iman, islam, ihsan) merupakan perubahan terhadap atap berundak tujuh yang dikenal dalam bangunan Hindu. Arsitektur Hindu masih tampak pada gerbang-gerbang masjid, juga ornamen-ornamen yang berasal dari kesenian Tionghoa. 
  1. Tatanan masyarakat muslim dimulai dari kediaman wali yang menjadi pusat masyarakat, dengan masjid dan pesantren serta sebagai pemimpin dan sosok yang dituakan dan dihormati di masyarakat itu. Pengaruh wali yang nantinya terlihat pada kyai, tidak hanya pada dunia pesantren, namun juga pada masyarakat sekitarnya.

Selain sufisme Wali Sanga yang berpengaruh pada Jawa, sufisme juga sangat berpengaruh terhadap gerakan islamisasi di kawasan-kawasan lain di Nusantara. Pada abad 16, Buton menerima Islam yang toleran dengan tradisi lokal. Proses Islamisasi di Gowa (1602) yang dilakukan oleh Khatib Bungsu yang tasawwufnya bercorak wahdatul wujud. Demikian pula di Banjar, Kalimantan Selatan, Palembang, Sumatera Selatan (Miftah Arifin: 2015). 

“Sintesis Mistik”: Corak Awal Islam Nusantara

Proses islamisasi terbatas dan bukan arabisasi menjadi kunci sukses gerakan dakwah para Wali Sanga ini menghasilkan fenomena keislaman yang unik dan khas yang disebut oleh Ricklefs sebagai “Sintesis Mistik”. 

Ajaran Islam dan kepercayaan lokal tidak berhadap-hadapan dan bertentangan dalam pola kepercayaan lokal (tesis) dan ajaran Islam sebagai anti-tesis, namun ada upaya untuk menemukan sintesis dari keduanya, inilah cikal-bakal dari Islam Nusantara. 

Dalam menerangkan “Sintesis Mistik” ini, menurut Ricklefs ada tiga pilar utama

  1. kesadaran identitas Islami yang kuat: menjadi orang Jawa berarti menjadi muslim; 
  2. pelaksanaan lima rukun ritual dalam Islam: syahadat, shalat lima kali sehari, membayar zakat, berpuasa Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu; 
  3. terlepas dari kemungkinan munculnya kontradiksi dengan dua pilar pertama, penerimaan terhadap realitas kekuatan spiritual khas Jawa seperti Ratu Kidul, Sunan Lawu (roh Gunung Lawu yang pada dasarnya adalah dewa angin) dan masih banyak lagi makhluk adikodrati yang lebih rendah. Intinya telah terjadi adaptasi dan akulturasi antara kepercayaan terhadap ajaran Islam dan kepercayaan lokal yang terwujud juga dalam praktik sehari-hari. 

Meskipun ada perbedaan antara “Islam Pedalaman” dan “Islam Pesisir” namun “Sistesis Mistik” ini tetap dikenal dalam dua masyarakat itu, kepercayaan pada arwah dan makhluk-makhluk gaib misalnya, Ratu Laut Selatan dikenal oleh masyarakat Pantai Selatan dan tidak dikenal oleh Pesisir Utara, namun bukan berarti masyarakat Pesisir Utara tidak mengenal roh-roh di Laut Utara, mereka tetap meyakini ada. Peziarahan yang dikenal di Jalur Selatan adalah makam-makam yang tidak jelas identitas keislamannya, sementara tujuan-tujuan peziarahan di Pesisir Utara adalah para wali dan tokoh-tokoh yang dikeramatkan (Islam Pesisir, Nur Syam: 2005). 

Corak Kedua Islam Nusantara: “Neo-Sufisme”

Dalam perkembangan selanjutnya, mulai abad ke-17 M muncul fenomena pembaruan yang bisa dipahami semacam upaya pemurniaan terhadap “Sistesis Mistik” ini. Gejala ini berupa ortodoksi keislaman dalam bentuk “neo-sufisme” yang dipengaruhi telaah hadits, pengaruh ilmu syariat (dalam hal ini fiqih) yang merupakan bentuk lain dari “sintesis baru” antara tasawwuf dan syariat yang telah didamaikan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin setelah sebelumnya dua aspek ini (tasawwuf dan syariat) terjadi pertentangan dan pertarungan misalnya dalam kasus Al-Hallaj dan Suhrawardi al-Maqtul, dua tokoh sufi yang dihukum mati oleh para ulama fiqih dengan tuduhan melanggar syariat. Dan untuk kasus tanah Jawa, munculnya Syaikh Siti Jennar yang dikabarkan dihukum mati oleh para Wali Sanga karena mengajarkan tasawwuf yang bertentangan dengan syariat. 

“Sintesis Mistik” sebagaia corak pertama Islam Nusantara merupakan ajaran tasawwuf “falsafi” yang bersambungan dengan kepercayaan-kepercayaan lokal. Namun munculnya “neo-sufisme” yang bisa disebut tasawwuf “sunni” yang merupakan perkawinan silang antara tasawwuf dan syariat (fiqih)—bukan lagi kepercayaan lokal—yang tokoh-tokoh gerakan “Neo-Sufisme-Syariat” ini berasal dari para pelajar Nusantara yang baru datang dari Haramayn (Makkah dan Madinah). 

Meskipun para pelajar itu ke Haramayn membawa “sistesis mistik” alias corak pertama Islam Nusantara dari daerah masing-masing, akan tetapi di Haramayn telah menjadi semacam “melting pot” (panci pelebur) dari tradisi-tradisi “sintesis mistik” lama dan terbentuklah suatu “sistesis baru” yang condong pada “tradisi besar” (neo-sufisme: sintesis tasawwuf dan syariat). 

Salah satu dampak dari gerakan “neo-sufisme” ini, Nuruddin Ar-Raniri di Aceh mulai melarang ajaran-ajaran Hamzah Fansuri dan Abd Samad al-Sumatrani, demikian pula di Jawa Tengah pada kasus Kyai Mutamakkin yang diserang oleh Ketib Anom Kudus. Abd Shamad al-Palimbani “memurnikan” ajaran tasawwuf di Palembang, Muhammad Arsyad Banjari di Kalimantan Selatan, Yusuf al-Makassari di Sulawesi Selatan, dan Sayyid Alawi di Buton dan lain-lainnya.  

Namun yang perlu dicatat, perubahan dan pembaruan ini lebih banyak dalam proses damai, gradual, dan terbatas, tidak dalam konteks yang radikal, ekstrim dan menggunakan kekerasan (kecuali contoh kasus Syaikh Siti Jennar di Jawa dan Haji Abd Hamid di Kalimantan Selatan yang lebih kental karena alasan politik). 

Meskipun perubahan itu dilakukan oleh jaringan ulama dengan cara yang tidak radikal namun efektif, karena menggunakan pola relasi dan pengaruh kyai terhadap santri-santrinya (dalam pesantren dan masyarakat), antara syaikh dan para muridnya (dalam tarekat), dan yang lebih efektif lagi menjadikan dan mengajarkan kitab-kitab standar yang berhaluan mendamaikan tasawwuf dan syariat (neo-sufisme) yang dipelajari di pesantren-pesantren dan masyarakat dengan menyingkirkan kitab-kitab lama (kitab-kitab yang berhaluan tasawwuf wahdatul wujud). 

Polarisasi “Putihan” Vs “Abangan”

Fenomena ini berlangsung berabad-abad sehingga nantinya muncul polarisasi dua aliran dalam masyarakat, yang dikenal sebagai “putihan” dan “abangan”. Yang pertama, ingin terus melakukan perubahan dari yang bertahap hingga yang radikal, dan sering disebut kalangan santri. Sedangkan kedua tetap ingin menekankan kontinuitas dengan lokalitas dan bersikap longgar dalam bersyariat. Selain faktor di atas, sikap politik terhadap pemerintah kolonial Belanda menjadi salah satu tanda terpenting dari perbedaan dua golongan ini.

Kolonialisme Belanda ikut memperuncing polarisasi “putihan” dan “abangan” dengan kebijakan politiknya. Golongan yang sering disebut “priyayi” yang lebih dekat dengan kelompok “abangan” dari sisi kepercayaan dan tradisi, namun berbeda dalam kelas sosial (priyayi: elit, abangan: awam/jelata) memperoleh perlakuan-perlakuan yang istimewa dari Belanda. Sementara kalangan “putihan” yakni kalangan santri menunjukkan sikap yang bermusuhan terhadap Belanda. Perang Dipanegara dianggap sebagai perlawanan kaum “putihan”.

Fenomena polarisasi “abangan” dan “putihan” tidak khas Jawa saja, bisa ditemukan di luar Jawa dengan perbedaan istilah, misalnya kelompok “adat” yang semisal “abangan” di Jawa, dan istilah “santri” untuk kalangan “putihan”. Dalam banyak kasus di Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Aceh, Kalimantan, dan NTB, kalangan “adat” memiliki sikap politik, kalau tidak sampai berkolaborasi, mereka tidak menunjukkan sikap yang bermusuhan dengan pemerintah kolonial Belanda   

Golongan yang ingin melakukan perubahan ekstrim adalah Kaum Padri di Sumatra Barat yang dimulai dari Tuanku Nan Renceh yang mendapat dukungan dari tiga haji yang kembali dari Makkah pada 1218/1803: Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji Piobang. Perjalanan haji mereka bersamaan dengan dikuasainya Makkah oleh kaum Wahhabi. Karena itu cukup beralasan jika mereka dianggap dipengaruhi ajaran-ajaran Wahhabi yang menginginkan perubahan secara radikal di wilayah Minangkabau. 

Kelompok ini meneriakkan jihad pada kaum muslim lain yang tidak mau mengikuti ajaran mereka (persis seperti yang dilakukan Kaum Wahhabi di Najd dan Hijaz) akibatnya perang saudara meletus di tengah masyarakat Minangkabau, surau-surau yang dianggap kubu-kubu bid’ah diserang dan dibakar hingga rata dengan tanah, dan inilah yang memancing campur tangan Belanda. Pecahlah Perang Padri yang baru berakhir 1830 M. (Azra: 2005, 371). 

Peristiwa Perang Padri ini memberikan pelajaran bagi kita bahwa dampak dari gerakan pembaruan yang radikal dan ekstrim tidak menyebabkan Islam makin tersebar dan kuat, tapi malah memantik perang saudara antar sesama muslim.

Gus Dur: Empat Model Relasi Islam dengan Kekuasaan dan Budaya Lokal Nusantara

Sebagai penutup dari bagian ini, saya ingin mengutip pendapat KH Abdurrahman Wahid tentang model hubungan Islam dengan kekuasaan dan budaya lokal yang terbagi menjadi empat model di Nusantara:

Pertama, model Aceh yang mengenal kerajaan-kerajaan Islam yang kuat dan besar, di sana adat ditundukkan oleh syariat Islam yang ditafsirkan sesuai kitab-kitab fiqih yang diakui. 

Kedua, model Minangkabau, dalam hal kekuatan adat dan syariat sama-sama berimbang yang termaktub dalam falsafah di sana “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”. 

Ketiga model Jawa yang mengenal relasi multikratonik, terjadi keragaman pola kehidupan antara negara (kraton-kerajaan) dan pesantren. Selama pihak kedua mengakui kraton sebagai pusat kekuatan mereka dapat menjalankan progam-program seperti yang zaman sekarang disebut LSM (kelompok civil society). Pesantren basis santri sementara Keraton simbol Kejawen. 

Keempat, model Gowa yang merupakan asimilasi antara adat-adat pra-Islam dan Islam secara damai. Budaya-budaya lokal tetap menjadi identitas penting dalam berislam. 

Model pertama, syariat mengalahkan budaya (islamisasi total), model kedua, syariat dan budaya berdampingan dan otonom, ini ditunjukkan masih berlakunya prinsip matrilineal (keturunan dari garis ibu) di Minangkabau, model ketiga, “sintesis mistik” antara syariat dan budaya, model keempat, budaya yang berbalut syariat. 

Sumber: M Guntur Romli, Kader GP Ansor

#KitaIniSama