Mengenal Complex Problem Solving, Kompetensi yang Paling Dibutuhkan di Era Disrupsi

 
Mengenal Complex Problem Solving, Kompetensi yang Paling Dibutuhkan di Era Disrupsi

World Economic Forum pada akhir 2015 memberikan gambaran 10 keterampilan yang paling dibutuhkan sesuai perkembangan teknologi dan disrupsi di banyak bidang hingga tahun 2020. Prediksi ini bersifat global termasuk berlaku juga untuk Indonesia.

Kompetensi pertama yang paling dibutuhkan adalah Complex Problem Solving dan menyusul 9 kompetensi lainnya, seperti dalam grafik. Laduni sudah mencoba menjelaskan beberapa penjelasan tentang Problem Solving yang memiliki keterhubungan dengan Complex Problem Solving.

Kali ini, Laduni menyampaikan rangkuman wawancara Prof. Don Sadana tentang kompetensi Complex Problem Solving dengan Rumah MSDM beberapa waktu lalu.

Complex Problem Solving sangat erat berhubungan dengan situasi permasalahan yang tidak terstruktur atau biasa disebut juga sebagai Messy Situation.

Complex Problem Solving (CPS) adalah paradigma baru dalam menyelesaikan masalah atau permasalahan. Dalam hal ini masalah dimaksudkan sebagai problem, sedangkan permasalahan adalah problematics. Masalah biasanya dapat didefinisikan dengan jelas dan terukur, sedangkan permasalahan bersifat susah didefinisikan dan diukur. Jadi, kadang kita sering kurang jelas, menentukan penyebutan istilah, apakah istilah ‘masalah’ ataukah ‘permasalahan’ terkait sesuatu hal yang sedang kita alami.

Masalah umumnya bersifat kuantitatif yang dapat diukur dan past oriented atau sudah terjadi, sehingga sering kali dengan bantuan statistik dapat diperoleh jawabannya. Namun demikian banyak pula masalah masa lalu yang bersifat kualitatif, sehingga solusi alternatifnya tidak cukup dijelaskan dengan statistik.

Sementara permasalahan biasanya sulit didefinisikan, namun terasakan. Misalnya: kemacetan adalah contoh sebuah permasalahan (problematics), sedangkan karyawan datang terlambat adalah masalah (problem).

Menurut World Economic Forum, Complex Problem Solving (CPS) adalah salah satu dari 10 skill atau kompetensi utama yang dibutuhkan seorang profesional.

Sebenarnya istilah Complex Problem Solving sudah ada sejak tahun 1978. Patton menekankan cara pemecahan masalah Complex Problem Solving sebagai “a way of breaking down the complexity of the real world” yang kurang lebih diterjemahkan bebas sebagai sebuah metode untuk memperjelas sesuatu hal yang sangat kompleks di kehidupan nyata.

Ini sejalan dengan pemikiran Tom Peter sebagai pelopor Mckinsey dalam In Search of Excellence (1982) dengan 7S-nya. Konsep Mckinsey 7S Framework dikelompokkan menjadi:
1. Soft elements.
Soft Elements merupakan elemen yang lebih sulit dideskripsikan, less tangible (tidak terlihat), dan dipengaruhi budaya, yaitu element: Shared Values, Skills, Style, Staff.

2. Hard elements
Hard Elements lebih mudah didefinisikan dan ditentukan, manajemen dapat langsung mempengaruhinya, yaitu: Strategy, Structure, Systems. Namun demikian, systems dalam 7S yang dikategorikan hard ini telah mengalami perluasan dan pendalaman terkait erat dengan metodologi Complex Problem Solving.

Systems sebagai kata asal dapat menjadi kata dasar systematic dan systemic. Kata dasar systematic terkait erat dengan system dalam hard element menurut McKinsey, sedangkan systemic oleh Peter Checkland (1982 & 2006) diberi pengertian sebagai segala sesuatu terkait dengan Human Activity Systems (HAS) atau diartikan bebas sebagai aktivitas manusia yang disengaja dan memiliki maksud tujuan. Tom Peters dan Peter Checkland dapat dijadikan acuan untuk memicu pengetahuan Complex Problem Solving.

Langkah-langkah Complex Problem Solving yang telah dimulai oleh Peter Checkland pada 1982 merupakan siklus yang memiliki tujuh tahapan yang dikelompokkan menjadi dua bagian:
1. Bagian Real World

2. Bagian Serba Sistem (systems thinking about real world)

 

Langkah 1 dan 2 diperoleh melalui dialog, indepth interview, dan FGD sehingga menghasilkan gambaran yang kaya terhadap suatu permasalahan (rich picture).

Saat ini kita perlu penyadaran tentang real world dengan pendekatan serba sistem (systems thinking), artinya kompleksitas saat ini tidak dimaknai sekedar seperti mesin jet yang canggih (complicated), namun complex (messy situation) dengan multi sistem seperti sistem tubuh manusia atau alam semesta. Dari sisi proses pembelajaran, dapat dilakukan beberapa tahap proses perubahan pada langkah 1 dan 2.

Analisis pembelajaran pertama terkait dengan world of view dari stakeholder menghasilkan gambaran kaya (rich picture=RP). Penyadaran ini merupakan tahap pencarian (finding out) yang menghasilkan akar permasalahan (root definition=RD).

Jika tidak disepakati akar permasalahannya, maka dilakukan proses ulang secara dinamis melalui komunikasi (in depth interview, focus group discussion, dll.) agar ditemukan bagian yang dianggap bermasalah dari proses participative tersebut.

Bila Rich Picture dan Root Definition sudah diketahui, sampailah kita kepada langkah terpenting yaitu model konseptual (conceptual model=CM). Model konseptual adalah alat utama untuk memulai tindakan konfirmasi model (debating) serta perubahan yang diinginkan (desirable changes) dan dapat dilaksanakan (culturally feasible changes). Di sini terjadi lagi pembelajaran, sehingga proses double loop learning ini disepakati melalui pembandingan conceptual model dengan Rich Picture.

Model Konseptual adalah keunikan metode Complex Problem Solving, karena harus ditindaklanjuti, bukan berhenti sebagai suatu model yang perlu dibuktikan atau diuji. Pengujian melalui debating.

Hasil dari debating adalah kesepakatan perubahan. Debating diharapkan menjadi suatu proses radikal dan mendalam sehingga membuat rencana perubahan yang nyata sebagai solusi permasalahan kompleks (CPS). Sampai di sini solusi alternative pemecahan masalah kompleks (CPS) dapat diakhiri dengan menuliskan rencana tindakan nyata. Langkah terakhir adalah mengambil keputusan dalam situasi kompleks (Complex Decision Making) oleh segenap stakeholder.

Penggunaan Complex Problem Solving di atas adalah dengan menggunakan pendekatan dengan metode Soft Systems Methodology, yaitu sebuah metode pemecahan masalah dengan pencarian solusi alternatif pada situasi kompleks yang cenderung tidak terstruktur atau terprediksi (messy).

Profesor Hardjosoekarto menyatakan, “Soft Systems Methodoloy adalah proses mencari tahu yang berorientasi aksi atas situasi problematis dari kehidupan nyata sehari-hari, para penggunanya melakukan pembelajaran yang dimulai dari menemu-kenali situasi sampai merumuskan dan atau mengambil tindakan guna memperbaiki situasi problematis tersebut.”

Praktik Soft Systems Methodology selain bisa dilakukan untuk level kelompok dan organisasi, juga bisa dilakukan pada level individu. Misalnya dalam konteks personal balanced scorecard. Untuk mendapatkan gambaran strength typology seseorang, kiranya tidak mungkin menggunakan sudut pandang tunggal. World of view segenap pihak terkait perlu diperhatikan dalam menemukan anchor sebagai kompetensi pribadi (SDM) yang dapat dikembangkan sebagai jangkar pengembangan karir seseorang.

 

Tentang Dr. Don Sadana:

  • Dr. Don Sadana memiliki latar belakang pendidikan Doctor in Business Administration dan Magister Sains Administration and Human Resources Development, University of Indonesia.
  • Aktif di IICD, KNKG, National Certified Lecturer, Asosiasi Dosen Indonesia.
  • Berpengalaman sebagai Trainer & Consultant for human capital development di Perbanas Institute, public training, and national bank (Mandiri, BCA, BTN, BJB, Bank Jatim, dll). Pernah menjadi juri untuk Indonesia Human Capital Award 2015-2017, Anugerah Perbankan Indonesia 2013-2017, Indonesia Multifinance Award 2014-2017, Indonesia Insurance Award 2014-2017 Anugerah Perusahaan Terbuka 2014 & 2017.
  • Menjadi dosen (S2/S1/D3) Univ. Pelita Harapan, Lembaga Administrasi Negara, Universitas Terbuka, Perbanas Institute, UPN Veteran, Stikom Interstudi, Aksek Tarakanita, Aksek Interstudi, dll.